![]() |
Oleh: Duski Samad
Penulis Buku Konseling Sufistik
Artikel ini mengkaji konsep tawakal dalam konteks mitigasi bencana dengan memadukan pendekatan nash Qur’an–hadis, fatwa ulama, konseling sufistik, dan kearifan lokal Minangkabau. Tawakal sering disalahpahami sebagai kepasrahan pasif, padahal dalam perspektif Islam dan budaya Minang, tawakal adalah sikap spiritual yang aktif, rasional, dan bertanggung jawab, yang menjadi fondasi kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana. Pendekatan ini penting mengingat meningkatnya frekuensi bencana di Sumatera Barat dan deviasi pemahaman keagamaan yang kerap menghambat tindakan preventif.
Narasi integratif, artikel ini menjelaskan bahwa tawakal bukanlah alasan untuk menghindari mitigasi, tetapi energi spiritual untuk memperkuat ikhtiar teknis, ketenangan emosional, dan kesadaran ekologis.
Bencana banjir bandang, longsor, dan gempa yang menimpa Sumatera Barat beberapa tahun terakhir memunculkan kembali perdebatan klasik tentang hubungan iman, tawakal, dan usaha manusia dalam menghadapi ancaman alam. Masyarakat sering berada pada dua kutub ekstrem: satu sisi menyebut mitigasi sebagai bentuk kekurangan iman, dan sisi lain memandang tawakal sebagai hambatan rasionalitas manusia dalam menyusun tindakan penyelamatan.
Padahal, sejarah Islam dan budaya Minangkabau menyimpan jejak panjang bagaimana manusia diperintahkan untuk berusaha secara maksimal sekaligus berserah diri secara spiritual. Dalam konteks kebencanaan, kedua dimensi ini tidak boleh dipertentangkan. Tawakal adalah dinamika jiwa yang meneguhkan langkah teknis manusia dalam melindungi diri, keluarga, dan komunitasnya.
Tawakal yang Aktif
Al-Qur’an secara konsisten menampilkan tawakal sebagai sikap spiritual yang hadir setelah usaha yang matang. Ayat “fa idza ‘azamta fatawakkal ‘alallah” (QS. Ali Imran: 159) memerintahkan Rasulullah untuk bertindak berdasarkan analisis, musyawarah, dan strategi—kemudian, barulah berserah kepada Allah.
Dalam konteks mitigasi bencana, ayat ini mengandung pesan bahwa perencanaan ruang, perlindungan alam, dan langkah-langkah penyelamatan adalah bagian dari ‘azm, yaitu tekad yang diiringi tindakan. Tawakal hadir sebagai ketenangan spiritual setelah usaha dilakukan.
Nabi Muhammad SAW menegaskan prinsip yang sama melalui hadis populer: “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi). Pesan ini, bila diterjemahkan dalam konteks bencana, berarti: bangun turap, tata ulang pemukiman, tebang pohon secara bijak, edukasi masyarakat, buat jalur evakuasi—lalu bertawakal.
Hadis tentang larangan memasuki wilayah wabah (HR. Bukhari) menunjukkan bahwa Rasulullah membangun manajemen risiko yang sangat kuat. Tawakal tidak pernah menghilangkan akal dan tindakan; ia memperkuat dan menstabilkannya.
Mitigasi Kewajiban Syariat
Ulama klasik dan kontemporer tidak pernah memahami tawakal sebagai alasan untuk mengabaikan usaha menyelamatkan diri.
Al-Ghazali menegaskan bahwa meninggalkan sebab-sebab keselamatan atas nama tawakal adalah bentuk ghurur, yaitu tertipu oleh pemahaman agama yang dangkal. Ibn Qayyim menambahkan bahwa menjaga jiwa (hifz an-nafs) adalah salah satu tujuan utama syariat. Karena itu, tindakan apa pun yang memperbesar risiko kematian atas dasar pasrah dianggap bertentangan dengan prinsip maqashid syariah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menegaskan bahwa mitigasi bencana adalah fardhu kifayah bagi masyarakat, pemerintah, dan lembaga keagamaan. Artinya, langkah-langkah teknis seperti evakuasi, peringatan dini, edukasi risiko, dan pemetaan kawasan rawan adalah bagian dari kewajiban agama.
Fatwa ulama memperlihat kan dengan jelas bahwa tawakal harus berjalan seiring dengan mitigasi, bukan menggantikannya.
Konseling Sufistik:
Tawakal sebagai Terapi Trauma dan Kekuatan Batin
Konseling sufistik memandang tawakal sebagai tahap puncak dari penyucian jiwa: takhalli, tahalli, dan tajalli. Dalam kebencanaan, tiga proses ini membantu masyarakat mengelola kecemasan, trauma, dan ketidakpastian hidup.
1.Takhalli (membersihkan diri dari ketakutan destruktif)
Bencana menimbulkan kecemasan akut, rasa tidak aman, dan kehilangan kontrol. Takhalli menuntun manusia untuk mengosongkan hati dari ketakutan yang melumpuhkan dan menggantinya dengan rasa kedekatan kepada Allah.
2.Tahalli (menghias jiwa dengan keberanian dan harapan)
Dalam fase ini, nilai-nilai kesabaran, ketabahan, tawakal, dan optimisme Qur’ani ditanamkan. Doa Nabi Yunus, Nabi Ayyub, dan doa-doa keselamatan menjadi alat terapi spiritual bagi korban.
3.Tajalli (munculnya kejernihan dan keteguhan sikap).
Tajalli melahirkan kemampuan mengambil keputusan cepat, sikap tenang saat evakuasi, dan daya tahan mental pascabencana. Psikologi modern menyebut proses ini sebagai religious coping positif—sebuah strategi adaptif yang meningkatkan resiliensi.
Dengan demikian, tawakal memiliki fungsi psikoterapeutik: ia mengurangi trauma, menurunkan kecemasan, dan memperkuat keberanian.
Kearifan Lokal Minangkabau: Adat sebagai Guru Mitigasi
Minangkabau memiliki tradisi panjang memaknai alam sebagai sumber kebijaksanaan. Pepatah “alam takambang jadi guru” mengajarkan bahwa bencana adalah sinyal alam yang harus dibaca dengan cermat. Longsor, banjir bandang, dan patahnya jembatan tidak sekadar kejadian fisik, tetapi pesan ekologis bahwa manusia telah mengganggu keseimbangan alam.
Prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menunjukkan bahwa adat Minang selaras dengan ajaran Islam: menjaga alam, menghormati ruang hidup, dan melindungi nyawa. Mitigasi bencana dalam perspektif ini bukan sekadar urusan teknis, tetapi bagian dari pengabdian spiritual kepada Allah dan tanggung jawab sosial kepada nagari.
Kearifan saciok bak ayam, sadanciang bak basi menegaskan pentingnya solidaritas sosial, koordinasi nagari, dan gotong royong dalam menghadapi ancaman. Tawakal dalam konteks Minang bukan menjauh dari ikhtiar, tetapi memperkuat musyawarah, mufakat, dan aksi bersama dalam melindungi nagari.
Simpulan
Tawakal dalam mitigasi bencana bukanlah kepasrahan buta, tetapi energi spiritual yang meneguhkan ikhtiar manusia dalam menghadapi ancaman alam. Nash Qur’an dan hadis menempatkan tawakal setelah usaha; fatwa ulama menegaskan mitigasi sebagai kewajiban; konseling sufistik memandang tawakal sebagai terapi jiwa; dan kearifan Minangkabau mengajarkan hubungan harmoni antara manusia dan alam.
Ketika empat pilar ini dipadukan, terbentuklah konsep tawakal yang berakar kuat pada iman, berjiwa sufistik, berakal sehat, dan berpijak pada kearifan lokal. Inilah fondasi bagi masyarakat Sumatera Barat untuk membangun ketangguhan menghadapi bencana yang makin sering dan kompleks. Tawakal tidak menggantikan mitigasi. Tawakal menguatkan mitigasi. Mitigasi tanpa tawakal adalah kecemasan; tawakal tanpa mitigasi adalah kecerobohan. ds.10122025.
