![]() |
Oleh: Ridwan Arif, S.Fil.I., M.Ud., Ph.D, Tk. Bandaro
Asal-usul Keturunan dan Keluarga
Syekh Abdul Razak, Tuanku Mudo dilahirkan di Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 1917 dari pasangan Tuanku Shaleh dan Tirawi. Nama kecilnya ialah Abdul Razak, sedangkan “Tuanku Mudo” adalah gelar yang dianugerahkan oleh gurunya ketika menyelesaikan pendidikan di surau (pesantren). Ayahnya adalah seorang ‘alim yang menjabat sebagai qadhi di Nagari Pilubang, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman. Ia memiliki empat orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Saudara laki-lakinya ialah: Qadhi Juri; Aminuddin, Tk Sutan; Zainuddin (Buyung Surau); dan Abdul Wahab. Sedangkan saudari perempuan beliau ialah: Adam Suri dan Nurma.
Syekh Abdul Razak masyhur dengan panggilan “Buya Mato Aie” atau “Inyiak Mato Aie”. Mato Aie merujuk kepada nama surau (pesantren) yang dididirikan dan dipimpinnya yaitu Pondok Pesantren Luhur Surau Mato Aie. Bagi para muridnya dan masyarakat lokal, pesantren ini lebih dikenali dengan nama “Surau Mato Aie”.
Syekh Abdul Razak lahir dari keluarga ‘ulama. Ayahnya ialah Shaleh, Tk. Qadhi, kakeknya ialah Syekh Kamumuan dan kakek buyutnya ialah Syekh Aminullah yang masyhur dengan panggilan Syekh Mato Aie. Syekh Mato Aie adalah salah seorang ‘ulama terkemuka Minangkabau abad ke-19. Beliau tidak hanya dikenal sebagai ahli tasawuf/tarekat (tokoh ‘ulama Syathariyah), tetapi juga ‘alim dalam ilmu-ilmu keislaman (ilmu-ilmu syari’at). Syekh Mato Aie adalah murid ‘ulama besar Tarekat Syathariyah Minangkabau yang terpandang di masanya yaitu Syekh Tuanku Limopuluh, Malalo (1730-1930). Di antara ulama besar Minangkabau yang pernah menjadi murid Syekh Mato Aie ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek (pendiri Pondok Pesantren Sumatera Thawalib, Parabek, Kabupaten Agam).
Dalam hubungan dengan Syekh Mato Aie ini, Syekh H. Zubir Tuanku Kuniang Zubir pernah bercerita, “Pada masa kecil, Syekh Abdul Razak pernah dibawa oleh neneknya, Maimunah menghadap Syekh Mato Aie. Syekh Mato Aie bertanya “ini anak siapa?” “Anak ini cucu saya, ayah” jawab sang nenek. Syekh Mato Aie berkata, “Jaga dia baik-baik. Insyaallah nanti setelah dewasa dia akan menjadi bintang”. Jadi, bahwa Abdul Razak setelah besar nanti akan menjadi ulama dan tokoh terpandang telah diketahui jauh-jauh hari oleh kakek-buyutnya, Syekh Mato Aie. Inilah di antara karamah yang Allah anugerahkan kepada Syekh Mato Aie.
Lazimnya ulama Minangkabau zaman dulu yang memiliki banyak istri, Syekh Abdul Razak memiliki delapan orang istri:
Alif, berasal dari Kampuang Paneh, Nagari Pakandangan, memiliki tiga orang anak:
Syekh H. Nasruddin, Tuanku Sinaro; Razali, Tuanku Sutan dan; Nur Aini;
Aisyah, berasal Kampung Pandan, Nagari Pakandangan, memiliki sebelas orang anak: lima orang laki-laki dan enam orang perempuan yaitu: seorang laki-laki yang meninggal sewaktu bayi; Zalkhairi; Ashabal Khairi, Tuanku Mudo; Aslidar; Marni; Warni Yuli; Salmidiar; Wasmi; Abdul Rahman; Gustina dan; Abdul Hadi;
Syamsinar, berasal dari Tanjuang Aue, Nagari Pakandangan, memiliki seorang anak tetapi meninggal sewaktu bayi;
Piak Ande, berasal dari Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang;
Awi, di Korong Toboh Ketek, Nagari Toboh Ketek;
Nurullah, berasal dari Kampung Guci, nagari Lubuak Pandan, memiliki seorang anak laki-laki yaitu Amar, Tuanku Sutan;
Syamsidar, di Nagari Gadur, Kecamatan Enam Lingkung, memiliki seorang anak laki-laki: Anshar;
Nurhamni, di Kampung Pandan, Nagari Pakandangan, memiliki tiga orang anak laki-laki: Yusra; Azka Tuanku Imam dan; Atqa;
Seorang istri yang berasal dari Anak Aie, Pauh Kambar;
Deli, di Kamumuan, Kecamatan Sungai Limau, memiliki seorang anak yang meninggal dunia sewaktu bayi.
PENDIDIKAN
Syekh Abdul Razak menghabiskan masa kecilnya di kampung kakek beliau, Kamumuan, Kecamatan Sungai Limau, kemudian di kampung ayah beliau, Nagari Pilubang, juga di Kecamatan Sungai Limau. Kakek beliau, Buyuang Kandang, adalah seorang ulama terkemuka di daerah Padang Pariaman pada masanya yang masyhur dengan panggilan Syekh Kamumuan. Dengan demikian beliau mendapatkan pendidikan awalnya yaitu Sekolah Rendah (istilah untuk Sekolah Dasar pada waktu itu) di Pilubang. Begitu juga pendidkan awal keagamaan yaitu pelajaran membaca al-Qur’an.
Setelah menyelesaikan pendidkan sekolah rendah beliau diantar oleh orang tuanya ke sebuah surau di Kamumuan, Kecamatan Sungai Limau untuk belajar ilmu-ilmu keislaman. Pada masa dulu, Surau di Minangkabau memiliki dua pengertian: 1) bangunan yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat belajar membaca al-Qur’an bagi kanak-kanak dan remaja; 2) lembaga tempat mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (pada zaman modern istilah pesantren telah digunakan untuk lembaga ini). Dua jenis surau ini memiliki bentuk bangunan yang sama, hanya saja surau dalam pengertian kedua memiliki banyak bangunan seperti asrama dan pondok-pondok kecil tempat kediaman santri (dalam istilah pariaman dipanggil “pakiah” [dari istilah Arab fāqih]). Lembaga surau inilah yang bertransformasi menjadi lembaga pondok pesantren di Minangkabau pada era modern. Surau ini didirikan oleh kakek beliau yaitu Syekh Kamumuan.
Pada masa Syekh Abdul Razak belajar di Surau Kamumuan, lembaga ini tersebut dipimpin oleh paman beliau sendiri, Abuya Yusuf Angku Andah. Abuya Yusuf Angku Andah memimpin Surau Kamumuan setelah wafatnya ayah sekaligus guru beliau, Syekh Kamumuan. Di pesantren ini Syekh Abdul Razak belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Tafsir, Fiqih dan Ilmu Balaghah. Kemudian beliau mempelajari ilmu Nahwu-Sharaf, Ilmu Balaghah dan Sejarah Islam dengan Syekh Ungku Sidi Talue di Sampan, Kecamatan VII Koto Sungai Sarik. Syekh Ungku Sidi Talue adalah alumni Pondok Pesantren Luhur Kalampayan, Ampalu Tinggi, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, sebuah pesantren tua di Padang Pariaman yang terkenal melahirkan ‘ulama hebat seperti Syekh Muhammad Yunus, Tuanku Sasak, Pasaman (1879-1975 M); Syekh Ungku Shaliah Kiramat, Syekh Abdullah Aminuddin, Tuanku Shaliah (1908-1996) yaitu pendiri Pondok Pesantren Madrasatul Ulum, Lubuak Pandan. Syekh Ungku Sidi Talue sedikit di antara ulama Syathariyyah yang ‘alim dalam berbagai ilmu keislaman (‘ulūm syarī’ah) pada masanya. Ke’aliman beliau diakui oleh ulama kharismatik dan legendaris Aceh, Syekh Muda Wali. Abdul Halim, Lc. MA, Tuanku Sidi menceritakan, Syekh Muda Wali pada masa menuntut ilmu agama di Minangkabau pernah bertemu dan berdiskusi dengan Syekh Ungku Sidi Talue. Setelah diskusi tersebut Syekh Muda Wali menzahirkan pengakuan dan rasa kagumnya akan ke’aliman Syekh Ungku Sidi Talue.
Syekh Abdul Razak belajar dan mendalami Ilmu Tasawuf dengan Syekh Isma’il Kiambang yang memimpin Pondok Pesantren di Kiambang, Kecamatan 2X11 Sicincin dan Syekh Aluma, Koto Tuo, Kabupaten Agam. Dengan demikian dalam Tarekat Syathariyah syekh abdul razak bersilsilah kepada Syekh Isma’il Kiambang. Syekh Isma’il Kiambang menerima dari gurunya, Syekh ‘Aluma Koto Tuo. Pada masa mudanya, Syekh Abdul Razak adalah sosok yang cinta ilmu. Beliau tidak hanya mencukupkan belajar ilmu agama, tetapi juga giat menambah ilmu non-keagamaan. Tercatat beliau pernah terpilih untuk mengikuti Sekolah Kepemimpinan Residence Sumatera Barat pada tahun 1948.
PAHAM KEAGAMAAN
Sebagai seorang ulama Tarekat Syathariyah, dalam pandangan keagamaan Syekh Abdul Razak mengikuti paham keagamaan guru-guru beliau yang bersilsilah kepada Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh ‘Abdul Ra’uf al-Fanshuri al-Singkili yaitu mengikuti aliran Ahl Sunnah wal-Jama’ah dalam konsep Imam Abu Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dalam akidah, Mazhab Syafi’i dalam fikih dan, Tarekat Syathariyah dalam tasawuf. Syekh Abdul Razak sangat teguh dalam memegang dan mengamalkan paham keagamaan Ahlu Sunnah wal-Jama’ah dan Mazhab Syafi’i walaupun mendapatkan tantangan dari aliran lain di kalangan umat Islam. Ia juga berwasiat kepada para muridnya agar istiqamah berpegang teguh dengan paham keagamaan ini.
KEPRIBADIAN
Memiliki jiwa kepemimpinan
Syekh Abdul Razak memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Ini terlihat dari kemampuannya membimbing kader ulama muda seperti Syekh. H. Nasruddin, Tk. Sinaro; H. Aminullah, Tk. Mudo; Buya Abdurrahman, Tk. Sinaro; Syekh H. Zubir, Tk. Kuniang; Buya H. Mansur, Tk. Bandaro; Buya H. Ashabal Khairi, Tk. Mudo, dan lain-lain. Pembinaan yang dilakukan oleh Syekh Abdul Razak terhadap ulama muda ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya memikirkan kebesaran dirinya sendiri. Ia juga ingin kader-kadernya berkembang dan mencapai apa yang telah ia capai.
Mudah dan terbuka dalam pergaulan
Syekh Abdul Razak adalah pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan kalangan mana pun. Di kalangan ulama, ia aktif bergaul dengan para ulama lintas organisasi dan tarekat di Sumatera Barat. Dari kalangan ulama PERTI, Syekh Abdul Razak bersahabat baik dengan H. Mansur Dt. Nagari Basa (w. 1997), Kamang. Buya H. Mansur adalah ulama, akademisi dan politikus Indonesia. Ia pernah menjabat ketua Mahkamah Syar’iyah (kini Pengadilan Tinggi Agama) Sumatera Tengah pada tahun 1958-1960 dan Ketua Presidium Rektor IAIN (kini UIN) Imam Bonjol Padang pada Februari-Juli 1971. Di bidang pergerakan dan politik, buya Mansur dikenal sebagai tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan pernah menjadi anggota Konstituante pada 1956-1959. Dari segi tarekat, Buya Mansur adalah pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Abdul Razak juga menjalin hubungan baik dengan Syekh H. Jalaluddin, tokoh Tarekat Naqsyabandiyah dan pendiri Persatuan Pembela Tarekat Islam (PPTI). Keluasan pergaulannya dengan ulama di sumatera barat mengantarkannya dipercata sebagai salah seorang anggota dewan penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat pada masa kepemimpinan Buya H. Mansoer Daud, Dt. Palimo Kayo.
Syekh Abdul Razak juga menjalin hubungan baik dengan pihak partai politik dan pemerintah, baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi. Untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan pemerintahan ia dibantu oleh salah seorang keponakannya, Drs. H. Tk. Bagindo Muhammad Letter (w. Juni 2025).
Syekh Abdul Razak adalah pribadi yang hanya bergaul dengan kalangan elit, tetapi juga bergaul dengan baik dengan kalangan masyarakat awam walaupun berbeda paham keagamaan/ organisasi. Walaupun dalam paham keagamaan ia sangat tegas mengikuti paham ahl sunnah waljama’ah (yang sering disebut sebagai aliran tradisional) namun hal itu tidak menghalanginya untuk menjalin hubungan baik dengan warga Muhammadiyah (yang sering disebut sebagai kaum modernis). Kehebatan pergaulan Syekh Abdul Razak dengan kalangan awam beda paham keagamaan ditunjukkan oleh fakta, masyarakat Pakandangan pengikut Muhammadiyah ikut gotong royong dalam kerja pembangunan gedung pesantrennya yaitu Surau Mato Aie.
Teguh Pendirian
Sebagaimana telah disinggung di atas dalam pandangan keagamaan Syekh Abdul Razak mengikuti paham keagamaan guru-guru beliau yang bersilsilah kepada Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh ‘Abdul Ra’uf al-Fanshuri al-Singkili yaitu mengikuti aliran Ahl Sunnah wal-Jama’ah dalam konsep Imam Abu Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dalam akidah, Mazhab Syafi’i dalam fikih dan, Tarekat Syathariyah dalam tasawuf. Ia memegang teguh paham ini walaupun kadang-kadang mendapatkan pandangan dan komentar yang kurang baik dari aliran modernis. Ia senantiasa istiqamah dan tampil percaya diri mengamalkan ajaran yang ia terima dari guru-gurunya.
Bijaksana
Syekh Abdul Razak adalah seorang yang teguh memegang prinsip. Namun di sisi lain beliau memiliki sifat bijaksana. Salah satu contoh kebijaksanaan Syekh Abdul Razak ialah ketika warga Muhammadiyah pakandangan berkeinginan membangun masjid, masyarakat, terutama kalangan non-Muhammadiyah menentang rencana tersebut. ini karena di nagari pakandangan selama ini sudah ada sebuah masjid yaitu masjid nagari pakandangan yang dikenal juga dengan nama masjid pincuran tujuah. Dalam mazhab syafi’i, dalam satu kampung (nagari) hanya dibenarkan berdiri satu masjid. Akhirnya salah seorang warga mengusulkan untuk membawa masalah ini kepada Syekh Abdul Razak sebagai mufti Nagari Pakandangan. Sesampainya perwakilan warga Muhammadiyah di hadapan Syekh Abdul Razak, perwakilan ini ditanya “Apo mazhab awak?” (kalian mengikuti mazhab apa?). Perwakilan menjawab, “ndak ado mazhab tertentu nan kami ikuti doh” (kami tidak mengikuti mazhab tertentu). “Kalau mode tu taruihan lah rencana awak” (kalau begitu silahkan laksanakan rencana kalian). Syekh Abdul Razak berpendapat tidak bolehnya dua masjid dalam satu kampung hanya jika jama’ah kedua masjid tersebut mengikuti mazhab yang sama. Dalam kasus di Pakandangan ini, jama’ah yang berkeinginan membangun masjid tidak mengikuti salah satu dari mazhab yang empat secara khusus. Dengan demikian warga Muhammadiyah Pakandangan merasa lega dan lega, sehingga mereka bersiap-siap melaksanakan pembangunan Masjid Muhammadiyah Pakandangan.
AKTIVITAS DAN KONTRIBUSI
Sebagai Guru Umat
Setelah merasa mendapatkan cukup ilmu, tibalah masanya bagi Syekh Abdul Razak mengabdikan ilmunya kepada umat. Aktivitas pertama yang dilakukan beliau saat pulang ke kampung halaman adalah membuka majelis pengajian tasawuf di Surau kakek-buyut beliau (Syekh Mato Aie), Surau Mato Aie (sekarang dikenal dengan “Surau Mato Aie nan Lamo” yang terletak di seberang Pondok Pesantren Syekh Luhur Surau Mato Aie). Surau yang didirikan oleh Syekh Syekh Mato Aie ini adalah lembaga pendidikan surau (pondok pesantren) yang terletak di pinggir sungai Batang Tapakih, Korong Sarang Gagak, Nagari Pakandangan. Aktivitas memimpin kajian tasawuf di Surau Mato Aie nan Lamo ini dijalani oleh Syekh Abdul Razak dalam masa yang cukup lama yaitu dari tahun 1952 sampai tahun 1968.
Mendirikan lembaga pendidikan Pondok Pesantren
Untuk mengembangkan ilmu yang telah diterimanya dari beberapa orang guru, pada tahun 1970 Syekh Abdul Razak beliau mendirikan lembaga pendidikan Islam dengan nama “Pondok Pesantren Luhur Surau Mato Aie”. Pendirian pesantren ini juga bertujuan untuk mencetak kader ulama yang akan meneruskan estafet perjuangan para ‘ulama sepuh. Selain itu pesantren ini juga berfungsi sebagai majelis pengajian tasawuf, khususnya Tarekat Syathariyyah. Keharuman nama Syekh Abdul Razak sebagai seorang ulama telah menarik para pemuda untuk belajar agama di pesantren yang baru didirikannya. Para santri yang belajar di pondok-pesantren ini datang dari berbagai kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman, bahkan ada yang dari kabupaten tetangga. Murid angkatan pertama pesantren ini berjumlah lebih kurang lima puluh orang. Walaupun nama surau telah mengadopsi istilah dari jawa yaitu pondok pesantren, namun sistem pembelajaran di pesantren ini masih menggunakan sistem tradisional (sistem halaqah). Tidak ada sistem kelas, tidak ada iyuran pendidikan dan tidak ada ijazah. Kepada para santri diajarkan berbagai cabang ilmu keislaman seperti tafsir, ilmu hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh, ilmu balaghah (ma’ni, bayan dan badi’), mantiq, aqidah (ilmu kalam) dan tasawuf. Selain itu santri juga dilatih menjadi pendakwah/ penceramah. Di antara murid beliau yang kelak mendirikan pesantren ialah H. Aminullah, Tk. Mudo yang mendirikan pesantren “Surau Anak Aie” di Koto Mambang, Kecamatan Patamuan dan; H. Masri, Tk. Sidi yang mendirikan pesantren “Surau Lubuak Sungkai”di Nagari Pilubang, Kecamatan Sungai Limau. Mengembangkan Tarekat Syathariah.
Sebagaimana disinggung di atas, pesantren yang didirikan oleh Syekh Abdul Razak bukan hanya tempat mengkader calon ulama tetapi juga sebagai majelis pengajian tasawuf khususnya Tarekat Syathariyah. Dengan kata lain pesantren ini juga berfungsi sebagai pusat pengembangan Tarekat syathariyah di daerah Padang Pariaman khususnya, di Sumatera Barat umumnya. Disebabkan pengajian ini adalah pengajian Tarekat Syathariyah, maka yang diizinkan menghadiri majelis ini hanya jama’ah yang telah berbai’at dengan Syekh Abdul Razak atau dengan murid-muridnya. Bai’at adalah prosesi memasuki sebuah tarekat.
Syekh Abdul Razak adalah seorang ulama Syathariyah yang melakukan pembaruan dalam konteks majelis pengajian Tarekat Syathariyah. Biasanya majelis pengajian tarekat dilaksanakan pada malam hari, namun syekh abdul razak mengadakan majelis pengajian di pesantrennya pada siang hari di hari Sabtu. Hal ini memungkinkan bagi jama’ah tinggal berjauhan dengan pesantren surau mato aie untuk menghadiri majelis pengajian. Majelis pengajian tasawuf ini mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat sekitar. Jama’ah yang menghadiri majelis pengajian ini berasal dari:
Kabupaten Padang Pariaman: sekitar Nagari Pakandangan (Kecamatan Enam Lingkung), Toboh dan Sintuk (Kecamatan Sintuk Toboh Gadang), Pauh Kambar (Kecamatan Nan Sabaris), Lubuak Aluang dan Aie Tajun (Kecamatan Lubuk Alung), Katapiang (Kecamatan Batang Anai) Sicincin (Kecamatan 2X11 Sicincin), Koto Mambang dan Tandikek (Kecamatan Patamuan), Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan Kecamatan Sungai Limau.
Kota Padang
Kabupaten Pasaman
Provinsi DKI Jakarta (jama’ah asli Kabupaten Padang Pariaman yang berdomisili di Jakarta kebetulan sedang berada di kampung halaman atau sengaja pulang kampung untuk menghadiri majelis pengajian ini).
Pembaruan lainnya yang dilakukan syekh Abdul Razak dalam konteks majelis pengajian ialah banyaknya penceramah/ pemateri yang menyampaikan pengajian. Dengan kata lain, di majelis pengajian tersebut yang menjadi penceramah bukan Syekh Abdul Razak sendirian. Beliau mengajak ulama yunior yang berada di bawah bimbingannya untuk ikut serta. Untuk satu pertemuan narasumber yang menyampaikan ceramah di majelis pengajian tarekat Surau Mato Aie paling kurang ada empat orang. Di antara penceramah tersebut ialah: H. Aminullah, Tk. Mudo (putera Syekh Isma’il Kiambang); Syekh H. Zubir, Tk. Kuniang; Syekh H. Nasruddin, Tk. Sinaro (putera beliau sendiri); Zainuddin Tk. Bagindo (yunior beliau di Pesantren Kiambang); Abdurrahman, Tk. Sinaro; H. Ashabal Khairi, Tk. Mudo (putera beliau sendiri); H. Mansur, Tk. Bandaro.
Dari aspek materi pengajian, walaupun disebut majelis pengajian tasawuf (Tarekat Syathariyyah), namun materi yang disampaikan tidak khusus ilmu tasawuf/tarekat, tetapi juga mencakup ilmu akidah dan fikih. Metode pengajian yang dipakai oleh Syekh Abdul Razak ini yaitu penggabungan pembahasan akidah, fiqh dan tasawuf mewarisi pendekatan Syekh Abdul Ra’uf al-Fansuri al-Singkili yaitu keseimbangan dan harmonisasi antara tasawuf dan syari’ah.
Melalui majelis pengajian tasawuf ini Syekh Abdul Razak telah berjasa besar dalam mengembangkan Tarekat Syathariyah. Buya Syekh H. Zubir, Tk. Kuniang menyatakan, “Di tangan Syekh Abdul Razak Tarekat Syathariyyah mengalami perkembangan luar biasa di Kabupaten Padang Pariaman. Dalam hal ini keberhasilan Syekh Abdul Razak melampaui gurunya yaitu Syekh Isma’il Kiambang”.
Keterlibatan di Kemiliteran
Walaupun Syekh Abdul Razak berkecimpung di dunia santri sejak remaja, namun menarik untuk dicatat, beliau juga memiliki jiwa patriotisme. Ini terbukti dengan keterlibatan beliau menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada waktu Agresi Belanda yaitu dari tahun 1948 sampai tahun 1949 dengan pangkat Pembantu Letnan I. Namun, setelah kemerdekaan beliau tidak mau mengajukan permohonan untuk menerima uang pensiun.
Keterlibatan di Dunia Politik
Syekh Abdul Razak adalah seorang ulama multi talenta yang memiliki bakat di berbagai bidang. Beliau juga berbakat di bidang politik. Pada pemilu pertama tahun 1955, beliau terlibat dalam kepengurusan Partai Muslim Syatari Indonesia (PEMSYI), yang didirikan oleh guru beliau, Syekh Isma’il Kiambang. Dalam kepengurusan beliau ditunjuk sebagai ketua I, sedangkan ketua umum adalah Syekh Isma’il Kiambang sendiri. Ketua II ialah Luthan, Tuanku Mudo; Tuanku Bagindo Parit Malintang sebagai sekretaris. Namun, PEMSYI tidak berumur panjang karena pada pemilu tersebut, partai ini gagal mendapatkan kursi di parlemen.
Pada tahun 1971 sampai tahun 1977 Syekh Abdul Razak mendukung dengan partai Nahdlatul Ulama (Partai NU). Nahdlatul Ulama yang kini dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia pernah menjadi partai politik pada tahun 1952 setelah keluar dari MASYUMI karena perbedaan kepentingan politik dan ideologi dengan kelompok Islam modernis. Pada tahun 1983, NU memutuskan untuk kembali ke khittah 1926, yaitu menjadi organisasi keagamaan dan keluar dari politik formal.
Pada tahun 1977 Syekh Abdul Razak beralih mendukung Golongan Karya (sekarang Partai Golkar) sampai akhir hayat beliau. Beliau diberi kehormatan sebagai salah seorang Penasehat di kepengurusan Golkar tingkat Provinsi Sumatera Barat.
Organisasi Sosial Keagamaan
Syekh Abdul Razak adalah pribadi yang mudah dan senang bergaul dan karenanya memiliki pergaulan yang luas. Beliau aktif tidak hanya dalam partai politik, tetapi juga dalam organisasi sosial keagamaan. Beliau aktif mengikuti kegiatan ulama di Sumatera Barat terutama setelah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Di antara organisasi keagamaan yang beliau terlibat aktif di dalamnya adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada tahun 1978 beliau diberi kehormatan sebagai salah seorang anggota Dewan Penasehat MUI Sumatera Barat yang waktu itu diketuai oleh Buya H. Mansoer Daoed, Dt. Palimo Kayo.
Kunjungan Pejabat Negara
Kebesaran Syekh Abdul Razak juga dibuktikan oleh fakta beliau sering mendapat kunjungan dari pejabat pemerintah dan tokoh nasional mulai dari tingkat pemerintahan kabupaten sampai nasional. Bahkan setelah beliau wafat pun, masih ada pejabat pemerintah dan tokoh nasional yang berkunjung ke pesantrennya. Di antara pejabat pemerintah yang mengunjunginya ketika beliau masih hidup:
1. Prof. Dr. Emil Salim, sebagai Menteri Perhubungan, tahun 1978
2. K.H. Ahmad Sjaikhu, sebagai ketua PBNU dan ketua DPR RI
3. Ir. H. Azwar Anas, sebagai Gubernur Sumatera Barat dan Menteri Perhubungan
4. Prof. Dr. Harun Zain, sebagai Gubernur Sumatera Barat dan Menteri Tenaga Kerja
5. Anas Malik, sebagai Bupati Kabupaten Padang Pariaman
Pejabat Negara dan tokoh nasional yang berkunjung setelah beliau wafat di antaranya ialah:
1. Ir. Akbar Tanjung, sebagai Ketua Umum Partai Golkar
2. K.H. Hasyim Muzadi, sebagai Ketua Umum PBNU
3. Jenderal (Purn.) H. Wiranto, sebagai Ketua Umum Partai HANURA
4. Prof. Dr. Irwan Prayitno, S.Psi, M.Sc, sebagai Gubernur Sumatera Barat
5. Drs. H. Muslim Kasim, Akt., sebagai Bupati Kabupaten Padang Pariaman
F. WASIAT
Sebagai seorang ulama terkemuka dan memiliki banyak murid/ jama’ah Syekh Abdul Razak tentu banyak memberi nasehat/ wasiat kepada murid-muridnya. Di sini hanya dikemukakan dua wasiat beliau kepada para muridnya.
Menjaga persatuan
Syekh Abdul Razak sangat menekankan kepada para muridnya untuk senantiasa menjaga persatuan. Beliau berpesan “kok ndak dapek tuah kiramaik, saindak-indak e tuah sakato” (jika tidak mendapatkan keistimewaan berupa karamah, paling tidak dapatkan keistimewaan persatuan). Mungkin Syekh Abdul Razak sudah membaca potensi perpecahan di kalangan ulama dan umat. Karena itu ia berpesan kepada para muridnya untuk senantiasa menjaga persatuan. Tidak ada jaminan para murid yang berguru kepada guru yang sama senantiasa kompak dan bersatu. Selain itu ulama harus menjadi panutan bagi umat dalam hal menjaga persatuan.
Ikhlas dalam mengajar dan berdakwah
Syekh Abdul Razak berpesan kepada para muridnya agar senantiasa ikhlas dalam mengajar dan berdakwah. Beliau berpesan “jan jadikan agamo ka ganti kabau sikue padati ciek” (jangan jadikan agama bagaikan seekor kerbau dengan pedatinya). Maksudnya jangan jadikan aktivitas agama (mengajar dan berdakwah) sebagai profesi yang ketika melaksanakannya mengharapkan imbalan. Beliau mengajak para murid untuk meneladani para Rasul Allah yang tidak meminta upah (gaji, imbalan) ketika menyampaikan risalah kenabian, mengajak manusia ke jalan Allah SWT.
WAFAT
Syekh Abdul Razak wafat pada di pesantren beliau, Pondok Pesantren Luhur Surau Mato Aie, yang beralamat di Kampung Pandan, Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman. Para murid beliau, pengikut (jama’ah) Tarekat Syathariyah khususnya, masyarakat Padang Pariaman umumnya merasa kehilangan karena kepergiannya. Kebesaran beliau tercermin pada hari wafat beliau yaitu tumpah ruahnya umat yang datang melayat, mengungkapkan rasa belasungkawa dan mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Tidak hanya masyarakat biasa dan jama’ah Tarekat Syathariyah, bahkan kalangan pejabat pemerintahan menghadiri proses pemakaman beliau. Beliau dimakamkan di bagian belakang surau utama di pondok pesantren beliau. Kepemimpinan di Pesantren Luhur Surau Mato Aie dan majelis pengajian Tarekat Syathariyah diemban oleh salah seorang putera beliau yaitu Buya H. Ashabal Khairi, Tk. Mudo. Untuk mengenang jasa Syekh Abdul Razak, murid-muridnya menetapkan ziarah tahunan ke makamnya pada setiap hari Ahad terakhir di bulan Zulhijjah.
Sumber data:
Wawancara dengan Syekh H. Zubir, Tk. Kuniang pada Kamis, 22 September 2016.
Wawancara dengan H. Yunaidi, Tk. Simarajo pada 5 November 2016.
Wawancara dengan Dedi Edwar, SE, MM, Dt. Panduko Sirajo pada 14 Desember 2016.
Wawancara dengan Syamsul Bhari, Tk. Bandaro Sati pada 4 November 2016.