![]() |
Oleh: Ridwan Arif, S.Fil.I, M.Ud., Ph.D, Tk. Bandaro
ASAL USUL KETURUNAN DAN KELUARGA
Syekh H. Isma’il, Tk. Mudo dilahirkan di Nagari Sungai Asam, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 1901 dari pasangan Muhammad Hasan (ayah) dan Rabi’ah (ibu). Nama kecilnya ialah Isma’il. Gelar “Tuanku Mudo” dianugerahkan oleh gurunya ketika menyelesaikan pendidikan di surau (pesantren). Syekh Isma’il, memiliki dua orang saudara seibu-sebapak yaitu Sapar dan Ibrahim dan; dua orang saudara seibu yaitu Anwar dan Jawani. Syekh Isma’il memiliki 14 orang istri:
Piak Kong (Ladang Laweh, Sicincin)
Hasanah (Kiambang)
Jamaliah (Pakan Bareh)
Maraliah (Parit Malintang)
Sari Baganti (Lubuak Pandan)
Sarina (Sungai Asam)
Jaiar (Kiambang)
Nura’in (Sungai Asam)
Maran (Kampung Bonai)
Norma (Pakandangan)
Saribanun (Kiambang)
Dahniar (Kiambang)
(Penulis tidak mendapatkan nama dari dua orang lainnya dari istri-istri beliau). Dari beberapa orang istrinya, Syekh Isma’il memperoleh lima belas orang anak:
‘Aisyah
Siti Nurullah
Sa’adah
H. Aminullah, Tk. Mudo
Abdul ‘Aziz
Huzainah
Zubir
Ra’amah
Zulbaidah
Rabi’atul ‘Adawiyah
Marlis
Fatmawati
Yulidar
Ali Uzar
Aminah
PENDIDIKAN
Syekh Isma’il mendapatkan pendidikan awal keagamaan yaitu membaca al-Qur’an dari orang tua dan surau-surau di kampungnya. Setelah remaja beliau diantar oleh orang tuanya ke sebuah surau (pondok pesantren) di Bintungan Tinggi, Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Surau tersebut dikenal dengan nama “Surau Baru”. Guru yang mengajar di surau tersebut ialah Syekh Abdurrahman (w. 1923) yang dikenal dengan panggilan Syekh Bintungan Tinggi. Surau Bintungan Tinggi didirikan oleh Syekh Abdurrahman pada tahun 1864. Syekh Abdurrahman adalah seorang ulama Syathariyah terkemuka dan punya pengaruh besar di zamannya.
Setelah belajar lebih kurang dua tahun di Surau Syekh Bintungan Tinggi, ia diantar oleh sang guru untuk belajar kepada Syekh ‘Aluma Koto Tuo, di Nagari Koto Tuo, Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Agam, seorang tokoh ‘ulama Syathariyyah paling berpengaruh abad ke-20. Setelah dipandang memiliki ilmu yang memadai untuk diri sendiri dan disebarkan kepada umat, sang guru mengukuhkan gelar Tuanku Mudo kepada santrinya, Isma’il. Penganugerahan gelar tuanku merupakan simbol bahwa sang murid telah diberi izin (ijazah) untuk mengajarkan/ menyampaikan ilmu yang dimiliki kepada umat.
PAHAM KEAGAMAAN
Sebagai seorang ulama Tarekat Syathariyah, dalam pandangan keagamaan Syekh Isma’il mengikuti paham keagamaan guru-guru beliau yang bersilsilah kepada Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh ‘Abdul Ra’uf al-Fanshuri al-Singkili yaitu mengikuti aliran Ahl Sunnah wal-Jama’ah dalam konsep Imam Abu Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dalam akidah, Mazhab Syafi’i dalam fikih dan, Tarekat Syathariyah dalam tasawuf. Syekh Isma’il sangat berpegang teguh dalam meyakini dan mengamalkan paham ini. Ia juga berpesan kepada murid-murid dan jama’ahnya untuk senantiasa teguh pendirian dan istiqamah dalam meyakini dan mengamalkan paham tersebut.
KEPRIBADIAN
Syekh Isma’il adalah sosok yang rajin dan pekerja keras. Menurut penuturan puterinya, Hajjah Yulidar, sebelum mendirikan pesantren di Kiambang, ayahnya pernah bekerja sebagai tukang pecah batu dan menjadi petani di Buayan, Kecamatan Batang Anai. Fakta ini mematahkan tuduhan dari sebagian pengkritik tasawuf dan ahli sufi yang mengatakan bahwa tasawuf akan membawa seseorang kepada sikap pasif (pasrah dan pemalas).
Kepribadian Syekh Isma’il berikutnya ialah tegas dan pemberani. Gaya bicaranya dalam menyampaikan pengajian adalah tegas. Ini mencerminkan keyakinannya terhadap kebenaran ilmu yang disampaikannya yaitu paham Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab Syafi’i dan tasawuf/ Tarekat Syathariyyah. Gaya bicara yang tegas juga bertujuan meyakinkan para murid dan jama’ah agar tidak ragu-ragu tentang kebenaran ilmu yang disampaikannya.
Kepribadian lain dari Syekh Isma’il ialah bersih dan rapi. Ia adalah sosok yang suka kebersihan dan senantiasa berpenampilan rapi. Dalam hal ini mungkin ia meneladani gurunya, Syekh ‘Aluma Koto Tuo. Syekh H. Nasruddin, Tk. Sinaro pernah bercerita, Syekh Aluma Koto Tuo adalah seorang yang senantiasa berpenampilan rapi. Ia sering memakai kain sarung jenis Sarung Bugis. Kepribadian bersih dan kerapian adalah dua hal yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Kepribadian Syekh Isma’il yang suka kebersihan dan senantiasa tampil rapi disamping sebagai bentuk dakwah bil-hal juga mematahkan tuduhan sebagian pengkritik tasawuf yang mengatakan tasawuf identik dengan kekotoran. Dalam bayangan mereka sufi adalah orang yang berpenampilan kumuh dan memakai pakaian kumal. Syekh Isma’il juga suka memakai barang yang berkualitas. H. Yunaidi, Tk. Simarajo bercerita, ketika Syekh Isma’il berbelanja di pasar dan menanyakan harga barang yang akan ia beli, beliau bukan menawarnya, malahan beliau berkata, “Yang lebih mahal dari ini ada ga?”
PENGABDIAN DAN KONTRIBUSI
Mendirikan pondok pesantren
Pada tahun 1935 Syekh Isma’il mendirikan surau (pondok pesantren) di Kiambang berdekatan dengan sungai. Surau ini juga berada di tepi jalan raya Padang-Bukittinggi. Di pesantren ini Syekh Isma’il mendidik dan mengajar para santri sebagai kader ulama yang akan mengembangkan ilmu agama kepada masyarakat. Para santri diajarkan berbagai cabang ilmu keislaman seperti nahwu, sharaf, tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, fiqh, mantiq, balaghah, tawhid dan tasawuf. Di samping ilmu tasawuf secara umum, Syekh Isma’il mengajar para santrinya Tarekat Syathariyyah secara khusus. Dengan demikian para santri juga disiapkan sebagai kader guru (mursyid) Tarekat Syathariyyah yang akan melanjutkan estafet penyebaran Tarekat Syathariyyah kepada masyarakat. Di antara alumni pesantren ini yang kelak menjadi ulama besar pada masanya ialah Syekh Abdul Razak, Tk. Mudo (Buya Mato Aie), Syekh Muhammad Rukun, Tk. Marajo (Buya Surau Cubadak), Syekh Buya Pulau, Tk. Sutan (Pendiri dan Guru Pondok Pesantren serta mursyid Tarekat Syathariyyah di Koto Bangko, Kecamatan Sungai Geringging), Buya Ungku Manjoran dan lain-lain.
Sebagai Guru Umat dan Pengembang Tarekat Syathariyah
Surau (pondok pesantren) yang didirikan oleh Syekh Isma’il bukan hanya berfungsi sebagai tempat mendidik kader ulama (santri) dengan berbagai cabang ilmu keislaman, tetapi juga berfungsi sebagai majelis pengajian tasawuf khususnya Tarekat Syathariyyah. Syekh Isma’il membuat dua jadwal pengajian tarekat syathariah di suraunya yaitu pada malam jum’at dan malam sabtu. Yang pertama adalah untuk jama’ah tingkatan pemula (yang baru ikut bai’at), sedangkan yang kedua untuk jama’ah tingkatan lanjutan (yang sudah ikut kurrah). Majelis pengajian Tarekat Syathariyah Surau Kiambang mendapat sambutab luar biasa dari masyarakat. Mereka berdatangan dari berbagai kampung untuk menyimak uraian pengajian dari Syekh Isma’il. Jama’ah yang menghadiri pengajian berasal bukan hanya berasal dari kecamatan 2X11 Enam Lingkung seperti Gantiang, Sungai Asam, dan Pasir Laweh; tetapi juga dari kecamatan tetangga yaitu Kecamatan 2X11 Kayu Tanam, Kecamatan Patamuan (Pucung Anam) dan Kecamatan Batang Anai (Pasar Usang).
Sebagai Tokoh Penggerak: Mendirikan Masjid
Syekh Isma’il bukanlah seorang ulama yang mencukupkan diri dengan mengajar dan da’wah bil-lisan. Beliau juga aktif dalam da’wah bil-hal. Di antara da’wah bil-hal yang beliau lakukan ialah menginisiasi berdirinya Masjid Kiambang. Syekh Isma’il mengajak masyarakat untuk bekerja sama bahu-membahu membangun masjid tersebut. Masjid ini didirikan berdekatan dengan surau (pesantren) beliau. Setelah wafatnya, untuk mengenang jasanya, masyarakat menabadikan namanya untuk nama masjid ini yaitu “Masjid Syekh Ungku Kiambang”. Upaya Syekh Isma’il dalam menginisiasi pembangunan masjid membuktikan bahwa beliau memberikan perhatian terhadap aspek syari’at ajaran Islam. Ini juga meruntuhkan tuduhan dari sebagian pengkritik tasawuf/tarekat yang mengatakan ulama dan pengikut tasawuf kurang memberi perhatian kepada syari’at.
Sebagai Pejabat Birokrasi Pemerintahan: Menjadi Wali Nagari
Salah satu yang unik dari Syekh Isma’il ialah keterlibatan beliau di birokrasi pemerintahan. Beliau dipercaya sebagai Wali Nagari Pakan Baru yang meliputi Korong Lubuak Pandan, Gantiang dan Sungai Asam pada tahun 1950-an. Ini menunjukkan adanya jiwa kepemimpinan dan keahlian (skill) kepengurusan (management) dalam diri beliau. Menurut H. Yunaidi, Tk. Simarajo, majunya Syekh Isma’il menjadi wali nagari karena tidak ada yang layak mengemban amanah tersebut pada waktu itu.
Keterlibatan di Dunia Politik
Dalam pandangan sebagian orang keterlibatan ulama, apalagi ulama tasawuf/tarekat, dalam politik praktis adalah sesuatu yang tabu. Pandangan ini didobrak oleh Syekh Isma’il. Walaupun beliau seorang ulama tasawuf/tarekat, beliau pernah terjun ke politik praktis. Sebelum pemilihan umum (pemilu) 1955, beliau menginisiasi berdirinya Partai Muslim Syathari Indonesia (PEMSYI). Partai ini berhasil masuk dalam daftar partai peserta pemilu tahun 1955. Dalam kepengurusan beliau sendiri menjabat sebagai ketua umum. Ketua I adalah murid beliau, Syekh Abdul Razak, Tk. Mudo; Ketua II ialah Luthan, Tuanku Mudo; Tuanku Bagindo Parit Malintang sebagai sekretaris. Namun, PEMSYI tidak berumur panjang karena pada pemilu tersebut, partai ini gagal mendapatkan kursi di parlemen.
KARAMAH
Diriwayatkan oleh cucu beliau, H. Salman Alfarisi, Tk. Mudo, yang ia terima dari Awis, Tk. Kuniang, pada waktu belajar di surau Bintungan Tinggi, Syekh Isma’il sudah mendapatkan karamah (kejadian luar biasa). Ceritanya ketika Syekh Isma’il maulang kaji (menghafal pelajaran) pada dini hari (sepertiga malam terakhir) ia menemukan kesulitan dalam membaca dan memahami kitab yang sedang ia telaah sehingga ia menangis. Sebagiamana jamak diketahui bahwa ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di surau (pesantren) menggunakan kitab berbahasa Arab tanpa syakal (kitab kuning). Saat ia menangis sesengukan, Syekh Isma’il mendengar ada bunyi percikan air di luar surau, seperti bunyi yang ditimbulkan oleh seseorang yang sedang mengambil wudhu’. Tidak lama berselang sosok serba putih duduk bersila di hadapannya sambil bertanya, “Bagian mana yang sukar? Biar saya kasih tahu”. Syekh Isma’il menceritakan, ia melihat sosok yang berada di depannya itu sangat bersih, bahkan sampai ke bagian kakinya yang terlihat tanpa debu. Sejak peristiwa itu Syekh Isma’il mengalami futuh, yaitu diberi kemudahan dalam membaca dan memahami kitab kuning. Karamah lainnya ialah ketika beliau naik haji, beliau tertidur di Masjid Nabawi. Dalam tidur tersebut ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw.
WAFAT
Syekh Isma’il Kiambang wafat pada tahun 1966 dalam usia lebih kurang 65 tahun. Para murid beliau, pengikut (jama’ah) Tarekat Syathariyah khususnya, masyarakat Padang Pariaman umumnya merasa kehilangan karena kepergiannya. Masyarakat dan jama’ah memadati komplek suraunya mengungkapkan rasa belasungkawa dan mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Ramainya pelayat yang hadir mencerminkan kebesaran beliau. Syekh Isma’il dimakamkan di bagian mihrab surau (pesantren) beliau. Untuk mengenang jasanya para muridnya menetapkan ziarah tahunan ke makam beliau pada setiap hari Ahad setelah tanggal 10 Rajab.
Sumber data:
Wawancara dengan Hajjah Yulidar pada 31 Desember 2018.
Wawancara dengan H. Salman Alfarisi, Tk. Mudo pada 25 Juni 2025
Damanhuri Ahmad, “Jejak Keilmuan Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi”, kompasiana.com, 22 Februari 2022, diakses pada 2 Juli 2025.
Cerita-cerita yang penulis dapatkan dari ayahnya, H. Yunaidi, Tk. Simarajo ketika penulis masih remaja.