![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman
Pilihan judul di atas muncul mendengar ada suara dan video di medsos yang menyebut bantuan bencana sebagai sedekah. Patut diingatkan siapapun bahwa menyebutkan bantuan bencana sedekah tidak elok bahkan tercela. Bantuan bencana itu adalah kewajiban dari orang yang berpunya membantu saudaranya sedang kesusahan. Bantuan bencana adalah bahagian dari ikatan kemanusiaan dan tentu juga ikatan keruhanian sesama umat manusia yang wajib hukumnya.
Bencana banjir bandang yang melanda Sumatera Barat pada 27 November 2025 kembali menjadi cermin rapuhnya hubungan antara masyarakat, negara, dan alam. Ribuan rumah rusak, lahan pertanian hancur, saluran irigasi patah, akses jalan putus, serta korban jiwa berjatuhan. Di tengah derita tersebut, semangat gotong royong masyarakat tetap menjadi cahaya yang menghangatkan. Bantuan datang dari seluruh penjuru, dari individu hingga organisasi besar, dari masjid kecil hingga lembaga filantropi nasional.
Namun, seperti dalam bencana-bencana sebelumnya, muncul kekeliruan istilah yang terus berulang: bantuan-bantuan itu sering ada yang menyebut sebagai sedekah. Pada permukaannya istilah tersebut tampak sejuk dan religius. Akan tetapi, pada level konseptual, moral, dan fikih, istilah “sedekah” dalam konteks bencana besar adalah keliru dan dapat membawa implikasi sosial, teologis, serta politik yang merugikan korban dan melemahkan sistem penanggulangan bencana nasional.
Artikel ini menegaskan bahwa bantuan bencana tidak boleh diposisikan sebagai “sedekah”, tetapi sebagai kewajiban kemanusiaan, tanggung jawab negara, dan kewajiban syariat berdasarkan maqāṣid al-syarī‘ah.
1. Kekeliruan Istilah: Mengapa Bantuan Bencana Tidak Tepat Disebut Sedekah?
Dalam fikih Islam, sedekah (ṣadaqah) termasuk kategori amalan taṭawwu’, yaitu ibadah sukarela. Seseorang boleh bersedekah atau tidak; tidak ada dosa bila tidak melakukannya. Sedekah bersifat “personal charity”, berasal dari kelebihan harta, dan dilakukan atas dasar pilihan moral individual. Menggunakan istilah sedekah untuk bantuan bencana mengandung beberapa masalah akademik berikut:
Pertama, sedekah adalah tindakan sukarela—bukan kewajiban.
Sementara bantuan bencana, terutama dalam konteks menyelamatkan nyawa, adalah kewajiban syariat. Menolong orang dalam kondisi darurat termasuk fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, bukan amalan opsional.
Kedua, sedekah menempatkan korban pada posisi inferior.
Istilah sedekah membawa relasi sosial yang timpang: pemberi berada “di atas”, penerima berada “di bawah”. Padahal korban bencana bukan objek belas kasihan, tetapi warga negara yang memiliki hak atas perlindungan negara.
Ketiga, sedekah mengaburkan tanggung jawab negara.
Penyebutan sedekah dapat menormalisasi gagasan bahwa penanganan bencana adalah urusan “relawan dan orang baik”, bukan kewajiban struktural negara. Dalam banyak kasus, istilah ini bahkan dipakai untuk menutupi kelemahan koordinasi, minimnya mitigasi, dan buruknya respons cepat di tingkat pemerintahan.
Keempat, sedekah tidak memadai sebagai istilah untuk tragedi kemanusiaan.
Bencana berskala besar membutuhkan manajemen profesional, logistik, kehadiran negara, rekonstruksi infrastruktur, dan rehabilitasi sosial. Semua ini berada di luar cakupan sempit konsep sedekah. Dengan demikian, penggunaan istilah sedekah menciptakan distorsi moral dan epistemologis dalam memahami bencana dan penanganannya.
2. Kerangka Fikih: Kewajiban Menolong Korban Bencana
Dalam tradisi Islam, penyelamatan jiwa berada pada tingkat tertinggi dalam hierarki maqāṣid al-syarī‘ah. Perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs) merupakan tujuan fundamental hukum Islam, dan oleh sebab itu segala kewajiban sosial diarahkan kepada pemeliharaan kehidupan manusia.
Al-Qur’an menegaskan:“Barang siapa menyelamatkan satu nyawa, seakan ia telah menyelamatkan seluruh manusia.”(QS. Al-Māidah: 32). Ayat ini menjadi pilar argumen bahwa penanganan bencana tidak boleh diposisikan sebagai pilihan moral bebas.
Pandangan ulama klasik mendukung hal ini: Imam Nawawi menyatakan dalam Al-Majmū’ bahwa menolong orang yang dalam keadaan darurat adalah fardhu ‘ain bila tidak ada orang lain yang mampu. Ibn Taymiyyah menulis bahwa memenuhi kebutuhan orang-orang yang tertimpa musibah merupakan kewajiban syar‘i bagi yang mampu (Majmū‘ al-Fatāwā). Al-Ghazali menegaskan dalam Iḥyā’ bahwa mengabaikan keselamatan jiwa adalah dosa besar.
Fatwa MUI tentang kebencanaan menyatakan: Menolong korban bencana adalah fardhu kifayah. Negara memiliki kewajiban penuh untuk hadir dalam penanganan bencana. Dana zakat dapat dialokasikan untuk korban bencana, bukan karena sifat sedekahnya, tetapi karena korban termasuk kategori mustahiq seperti gharimin dan fi sabilillah. Dengan ini, fikih memberi landasan kokoh bahwa bantuan bencana adalah kewajiban sosial dan syariat, bukan tindakan kedermawanan opsional.
3. Etika Kemanusiaan: Martabat Korban sebagai Pemilik Hak
Dalam teori hak asasi manusia modern, korban bencana ditempatkan sebagai rights-holder—pihak yang berhak menuntut perlindungan, bantuan, dan pemulihan. Negara dan masyarakat adalah duty-bearer, yaitu pihak yang wajib memenuhi hak tersebut.
Konsep sedekah justru menggeser relasi ini menjadi hubungan antara “si kaya yang baik hati” dan “si miskin yang butuh belas kasihan”. Padahal, korban bencana kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan anggota keluarga bukan karena pilihan sendiri, tetapi karena faktor-faktor struktural: deforestasi, salah kelola ruang, lemahnya mitigasi, dan kegagalan kebijakan ekologis.
Dengan demikian, menjadikan bantuan bencana sebagai sedekah justru menambah lapisan ketidakadilan: menyalahkan korban secara simbolik melalui istilah yang tidak tepat.
Etika kemanusiaan dalam Islam memerintahkan solidaritas, bukan belas kasihan. Ukhuwah insaniyyah menuntut kita melihat korban sebagai saudara sesama manusia yang wajib ditolong, bukan objek penyaluran kelebihan harta.
4. Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Bencana
Dalam politik Islam, tanggung jawab negara atas rakyat bukan sekadar administratif, tetapi kewajiban moral dan religius. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Prinsip ini diperkuat oleh kaidah: “Tasharruf al-imām ‘ala ar-ra‘iyyah manūṭun bi al-maṣlaḥah.” (Setiap kebijakan pemimpin harus tertuju pada kemaslahatan rakyat.). Dalam konteks ini, penanganan bencana adalah: kewajiban konstitusional, kewajiban administratif, kewajiban moral, dan kewajiban syariat.
Negara wajib hadir dalam mitigasi dan peringatan dini; evakuasi dalam 24 jam pertama; penyediaan logistik dan layanan dasar; rehabilitasi dan rekonstruksi; memastikan tidak berulangnya penyebab bencana. Bila negara lemah, lambat, atau tidak terkoordinasi, tidak pantas kekurangan tersebut ditutupi dengan narasi “syukurlah masyarakat memberi sedekah”. Istilah ini menutup ketidaksiapan sistem, mereduksi tuntutan publik, dan merusak akuntabilitas kelembagaan.
5. Implikasi Sosial dan Psikologis dari Kekeliruan Istilah
Penyebutan “sedekah bencana” membawa dampak serius:
1. Merendahkan martabat korban. Seolah-olah mereka miskin yang harus berterima kasih, bukan warga negara yang berhak menuntut perlindungan.
2. Melemahkan partisipasi negara. Jika bantuan dianggap sedekah, maka peran negara menjadi sekunder. Padahal, justru negara yang paling bertanggung jawab.
3. Mengaburkan sumber masalah ekologis. Dengan menyebut bantuan sebagai sedekah, akar persoalan seperti kerusakan hutan, pembiaran usaha tambang ilegal, dan salah kelola DAS tidak pernah benar-benar disoroti.
4. Menormalisasi respons bencana yang lambat dan tidak professional. Karena yang dianggap utama adalah kemurahan hati masyarakat, bukan profesionalitas sistem.
5. Menyebabkan trauma tambahan bagi korban. Secara psikologis, korban merasa menjadi beban, bukan warga negara yang dihormati martabatnya.
6. Menawarkan Istilah dan Paradigma Baru
Untuk menjaga martabat korban dan memperkuat kesadaran publik, bantuan bencana seharusnya disebut: bantuan kemanusiaan, tanggung jawab sosial, penanganan darurat, dukungan pemulihan, atau respons kemanusiaan. Semua istilah ini menempatkan korban sebagai penerima hak, bukan penerima belas kasihan.
Kesimpulan
Bantuan bencana bukan sedekah. Ia adalah: kewajiban syariat berdasarkan maqāṣid al-syarī‘ah, kewajiban moral berdasarkan etik kemanusiaan, kewajiban negara berdasarkan hukum konstitusi, kewajiban sosial berdasarkan solidaritas insani.
Meluruskan istilah ini bukan sekadar perkara bahasa, tetapi tindakan untuk: memulihkan martabat korban, menguatkan struktur penanggulangan bencana, menegakkan akuntabilitas negara, dan memastikan tragedi seperti banjir bandang 2025 tidak terus berulang tanpa pembelajaran serius.
Bencana adalah ujian, tetapi tanggung jawab kita untuk menolong adalah perintah syariat. Dan menyebut kewajiban sebagai “sedekah” adalah mengurangi derajat perintah itu jauh di bawah martabat yang seharusnya.DS.06122025.
