![]() |
Oleh: Ridwan Arif, S.Fil.I, M.Ud., Ph.D., Tk. Bandaro
Ulama Syathariah, khususnya di Padang Pariaman, kadang dipandang kurang menguasai ilmu-ilmu syariat. Ini karena mereka lebih menonjol di bidang tasawuf terutama Tarekat Syathariah. Penilaian ini mungkin ada benarnya. Namun faktanya ada beberapa ulama dari Tradisi Syathariah ini yang tidak kalah alimnya dari ‘ulama dari tradisi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Di antara ulama tersebut ialah Syekh Haji Musa Tapakis.
ASAL USUL KETURUNAN, PENDIDIKAN DAN KELUARGA
Nama kecilnya ialah Musa. Gelar Tuanku Sidi Basa adalah anugerah dari gurunya ketika ia menyelesaikan pendidikan di Surau (pondok pesantren) Dinul Ma’ruf, Ujung Gunung. Dalam tradisi adat Minangkabau ia menyandang gelar Rangkayo Tan Basa sejenis penghulu adat (datuak) yang merupakan salah seorang dari Rajo nan Sabaleh (raja yang sebelas orang) di kawasan Ulakan-Tapakis. Syekh H. Musa dilahirkan di Tiram Ulakan pada tahun 1907 dari orang tua Mansek, Rangkayo Majo Basa (ayah) dan Aminah. Pada masa kecilnya orang tuanya dan keluarga dari pihak ibunya pindah ke Kabun, satu kampung kecil di tepi sungai Batang Tapakis, Tapakis, Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman. Maka sejak itu beliau menetap di kampung ini.
Syekh H. Musa termasuk anak yang beruntung pada masanya. Ini karena beliau diberi peluang untuk mengenyam pendidikan umum yang tidak semua anak di zamannya bisa menikmatinya. Hal ini karena di zaman penjajahan Belanda hanya anak orang-orang penting, seperti pejabat pemerintahan, yang dibolehkan untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum milik Belanda. Syekh H. Musa mendapat peluang tersebut karena beliau termasuk anak seorang bangsawan yaitu pemimpin adat (ayahnya salah seorang raja yang sebelas yaitu rangkayo Majo Basa) sekaligus pemimpin pemerintahan nagari (wali nagari) yang pada masa itu dipanggil “Angku Palo” (Engku Kepala).
Syekh H. Musa mendapatkan pendidikan awal di Hollandsch-Inlandsche School (H.I.S), sekolah Belanda untuk bumi putera (setingkat Sekolah Dasar) di Tapakis. HIS termasuk sekolah rendah dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda yang berbeda dengan Inlandsche School (sekolah untuk pribumi) yang mengunakan bahasa daerah. Pendidikannya kemudian dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama zaman Belanda, di Lubuk Alung. Menurut cucu beliau, Ali Umar, Tk Sidi, sebenarnya ayah Syekh Musa berniat melanjutkan pendidikan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu Algemeene Middelbare School AMS (pendidikan menengah umum zaman Belanda, setara SMA), namun niat ini tak kesampaian karena tidak mendapat persetujuan dari paman Syekh. Sang paman berkeinginan keponakannya ini melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan Islam tradisional yang disebut “surau” (sejenis pesantren di Jawa. Waktu itu istilah pesantren belum digunakan secara nasional seperti sekarang). Akhirnya pamannya yang menang, maka Syekh Musa remaja diantar pertama kali ke Surau Tanjung Medan, Ulakan untuk “mengaji” (istilah yang digunakan untuk belajar ilmu agama) dengan Syekh Bistari (Syekh Bonta). Di sini beliau hanya belajar selama lebih kurang satu tahun.
Kemudian beliau pindah ke Surau Koto Tuo, di Nagari Koto Tuo, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam pimpinan Syekh Aluma. Syekh Aluma adalah tokoh ulama Syathariyah paling berpengaruh di Minangkabau pada abad ke-20. Disini beliau mengaji lebih kurang dua tahun. Di Koto Tuo inilah Syekh Musa diperkenalkan oleh gurunya dengan salah seorang murid senior beliau yang telah mendirikan surau di Ujuang Gunuang, Sungai Sarik, Kec VII Koto, Kabupaten Padang Pariaman, yaitu Syekh Haji Tk. Panjang.
Semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu serta keinginan untuk memperkaya diri dengan pengalaman mendorong Syekh H. Musa berkelana ke Sasak, Pasaman (sekarang Kabupaten Pasaman Barat) untuk berguru dengan seorang ‘alim yang masyhur yaitu Syekh Haji Muhammad Yunus (wafat 1975 M) yang popular dengan panggilan “Buya Sasak”. Buya Sasak adalah salah seorang tokoh terkemuka organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), sekaligus sahabat karib tokoh pendiri organisasi ini, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang). Buya Sasak dikenal sebagai seorang ‘alim besar di kalangan ulama PERTI yang sangat menguasai kitab-kitab besar berbahasa arab (kitab kuning) sebagai referensi ilmu-ilmu keislaman. Dalam bidang tasawuf Buya Sasak ini mengamalkan Tarekat Syathariyah dan Terekat Naqsyabandiah sekaligus. Di sini Syekh Musa mengaji lebih kurang dua tahun.
Entah kerinduan atau seruan batin dari Syekh Aluma, akhirnya Syekh H. Musa kembali ke Koto Tuo. Kali ini beliau hanya tinggal lebih kurang satu tahun. Ini karena beliau diperintahkan oleh Syekh Aluma untuk pindah ke Kec. VII Koto Sungai Sariak tepatnya ke Surau Ujuang Gunuang yang dipimpin oleh seniornya Syekh Haji Tk. Panjang. Disamping melanjutkan pelajaran, di sini beliau juga bertindak sebagai guru tuo (guru bantu). Setelah lebih kurang dua tahun di Surau Ujuang Gunuang, beliau diwisuda dan dianugerahi gelar “Tuanku Sidi Basa”. Penganugerahan gelar “tuanku” kepada Syekh H. Musa menunjukkan beliau dipandang telah memiliki ilmu yang memadai dan layak menyampaikannya kepada masyarakat. Ini juga merupakan simbol dari izin (ijazah) dari guru untuk mengajarkan dan menyebarkan dan ilmu yang telah dimiliki kepada masyarakat. Sekitar tahun 1932 beliau pulang ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Sebagaimana kebiasaan zaman dulu, ulama memiliki banyak isteri, Syekh H. Musa memiliki sembilan orang isteri:
1) Seorang istri di Kampng Aru, Kecamatan Nan Sabaris. Dengan isteri ini beliau dikurniai seorang anak yaitu zubaidah.
2) Tira’ali, di Kubu Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis. Dengan isteri ini ia dikurniai seorang anak yaitu Razali.
3) Seorang isteri di Nagari Gadur, Kecamatan Enam Lingkung. Dengan isteri ini dikurniai satu orang anak yaitu Joher.
4) Halimah, di Kasai, tidak jauh dari pesantren beliau. Dengan isteri ini ia tidak dikurniai anak.
5) Seorang isteri di Tanjung Medan, Kecamatan Ulakan Tapakis. Dengan isteri ini ia dikurniai dua orang anak: Amiruddin dan Mahyudin.
6) Seorang isteri di Katapiang, Kecamatan Batang Anai. Dengan isteri ini ia tidak dikurniai anak.
7) Aisyah (Nan Tongga), putri Syekh Isma’il Kiambang. Menurut Syekh H. Zubir, Tk. Kuniang, di sini Syekh H. Musa tidak memperoleh anak, tapi menurut Ali Umar, Tk.Sidi memperoleh satu orang anak yang meninggal dunia tidak lama setelah kelahiran.
8) Sima, di Simpang Tigo, Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis.
9) Seorang istri di Lubuak Tanah Pakandangan. Di sini Syekh Musa dikurniai Sembilan orang anak: dr. Mustafa; Nuraini; Asni; Yusna; Yarlis; Zubahar; Ridwan; Lukman dan; Ernawilis.
KONTRIBUSI
1. Mendirikan Pondok Pesantren
Tidak lama setelah kepulangannya, Syekh H. Musa mendirikan lembaga pendidikan Islam (surau/pondok pesantren) di kampung halamannya yaitu di Kabun, Tapakis. Kelak surau (pesantren) ini masyhur dengan nama “Surau Kabun”. Kealiman Syekh Musa menjadi magnet tersendiri bagi generasi muda. Ini terbukti tidak lama setelah pendiriannya, Surau Kabun telah menarik minat pemuda-pemuda dari berbagai penjuru Sumatera untuk datang mengaji ke surau ini. Tidak hanya dari daerah-daerah di Minangkabau (Sumatera Barat) seperti kabupaten Agam, Pasaman, Tanah Datar, Solok dan kabupaten Padang Pariaman sendiri, bahkan dari provinsi-provinsi tetangga seperti provinsi Bengkulu (dari Manak dan Muko-muko), Provinsi Sumatera Selatan, Taluak Kuantan (Provinsi Riau), Muara Bulian dan Kerinci (Provinsi Jambi). Menurut salah seorang santri Syekh Musa, H. Yunaidi Tk. Simarajo, pada masa dulu, Surau Kabun terletak di daerah terisolir. Belum ada jalan besar menuju ke surau. Yang ada hanya jalan setapak di pematang sawah. Namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi para pemuda untuk datang menuntut ilmu ke Surau Kabun. Ini disebabkan keharuman nama Syekh Musa yang terkenal dengan kealimannya. Seorang santri syekh H. Musa, Umar Ali, Tk. Sidi Basa bercerita, ketika ia belajar di pesantren ini (sekitar tahun 1977) jumlah santri di surau kabun mencapai lebih kurang 300 orang.
Di Surau Kabun, Syekh H. Musa mengajarkan berbagai cabang ilmu keislaman seperti nahwu, sharaf, tafsir, ilmu hadits, ushul fiqh, fiqh, tarikh (sejarah), manthiq, balaghah, tawhid dan tasawuf menggunakan kitab-kitab tutats (kitab kuning). Surau Kabun telah melahirkan ulama-ulama besar, pendiri pesantren dan tokoh-tokoh masyarakat. Di antara alumni Surau Kabun yang menjadi ulama besar di antaranya ialah: Syekh Ungku Sidi Bajai, Koto Bangko, Kec. Sungai Geringging; Buya Amir, Dt. Tan Putiah, Pendiri Pondok Pesantren Gaya Baru, Paingan, Kec. Batang Gasan; Syekh H. Nasruddin, Tk. Sinaro, Pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum, Pakandangan, Kec. Enam Lingkung; Syekh Ali Umar, Tk Labai, Pendiri Pondok Pesantren Jami’atul Mukminin Kec. Sungai Limau; Syekh H. Zubir, Tk. Kuniang, Pendiri Pondok Pesantren Darul Ikhlas, Pakandangan, Kec. Enam lingkung, Buya Azwar, Tk Sidi, Pendiri Pondok Pesantren Jami’atul Mukminin, Sintuk Toboh Gadang; Buya H. Ashabal Khairi Tk. Mudo, Khalifah dan Pemimpin Pondok Pesantren Luhur Surau Mato Aie, Pakandangan, Kec. Enam lingkung. Selain menjadi da’i dan ulama, banyak alumni Surau Kabun yang berprofesi sebagai guru agama, hakim dan profesi lainnya yang menebar manfaat bagi umat.
2. Sebagai Pendakwah (da’i) dan Guru Umat
Syekh Musa tidak hanya alim di kitab kuning, tetapi beliau juga terampil dalam menyampaikan ilmu agama ke masyarakat. Pada masanya beliau dikenal sebagai ahli pidato (orator ulung). Kepiawainan Syekh dalam berdakwah terbukti ketika beliau memenangkan lomba pidato (ceramah) yang diadakan di Surau Ujuang Gunuang ketika beliau masih menjadi santri. Postur tubuh yang tegap dan penampilan yang berwibawa menambah kharisma dirinya ketika berdakwah. Selain menyampaikan materi pengajian umum, dalam kajian-kajiannya beliau gigih mempertahankan pemahaman dan amalan kaum tua yang konsisten mengikuti Mazhab Syafi’i yang pada waktu itu mulai digoyang oleh “Kaum Muda”. Berbekalkan penguasannya dalam kitab-kitab turats tentu saja argumen (dalil, hujjah) yang beliau kemukakan sangat meyakinkan jama’ah. Menurut Umar Ali, Tk. Sidi Basa, Syekh H. Musa adalah ulama Syathariah pertama di daerah Padang Pariaman yang berdakwah dengan cara berdiri.
3. Memajukan Pendidikan Surau Syattariah
Salah satu sumbangan berharga Syekh Musa adalah memajukan sistem pendidikan surau di kalangan surau yang beraliran Tarekat Syathariah dengan mengajarkan semua disiplin ilmu keislaman secara lengkap dan mendalam. Hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman diajarkan di Surau Kabun dan ilmu-ilmu tersebut diajarkan sampai ke tingkat yang paling tinggi. Dalam bidang ilmu nahwu-sharaf misalnya, diajarkan sampai ke tingkat Kitab Khudri, ilmu usul fiqh diajarkan sampai ke tingkat kitab Jam’ul Jawami’. Pada umumnya surau-surau aliran Tarekat Syathariah waktu itu hanya mengajarkan pelajaran tafsir (terutama tafsir al-Jalalayn) dan fiqh. kalaupun ada mengajarkan ilmu-ilmu lain seperti nahwu-sharaf, hanya mengajarkan kitab-kitab kelas menengah pertama seperti Mukhtasar (untuk nahwu) dan al-Kaelani (untuk sharaf). Menurut Ali Umar Tk Sidi, hanya satu surau sebelum zaman Syekh H. Musa yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman secara lengkap dan mendalam yaitu Surau Ampalu Tinggi yang salah seorang pengasuhnya yang terkenal ialah Syekh Muhammad Yatim (murid Syekh Muhammad Yasin, Tanjung Ampalu, Sijunjung).
Upaya Syekh H. Musa dalam memajukan sistem pendidikan surau Syathariah ini sangat bermakna karena Surau Kabun nantinya akan melahirkan ulama-ulama yang tidak hanya alim di bidang tasawuf dan tarekat tetapi juga ahli dengan berbagai ilmu syari’at. Ini dapat dilihat contohnya pada sosok Syekh H. Nasruddin Tk. Sinaro dan Syekh H. Zubir Tk. Kuniang, dua tokoh ulama Syathariah terkemuka di Padang Pariaman di zamannya yang tidak hanya dikenal sebagai mursyid tarekat Syathariah tapi juga seorang yang ‘alim dengan berbagai cabang ilmu keislaman sekaligus pendakwah (da’i) ulung.
KE’ALIMAN, KEPRIBADIAN, HOBI/ KEMAHIRAN
Syekh H. Musa merupakan seorang alim yang jarang tandingannya pada masanya khususnya di Padang Pariaman. Sangat mungkin salah satu faktornya ialah beliau pernah berguru dengan Buya Sasak. Mengenai kealiman Syekh Musa, cucunya Ali Umar Tk. Sidi menceritakan, Syekh H. Musa hafal Matan Alfiyyah Ibn Malik (kitab yang berisi 100 syair tentang ilmu nahwu-sharaf), Matan Jauhar al-Maknun (ilmu balaghah), Matan Sullam Munawraq (ilmu mantiq). Penguasaan beliau terhadap kitab kuning dibuktikan oleh kepiawaiannya dalam memberikan penjelasan (mensyarah) terhadap kitab yang diajarkan kepada murid-muridnya, sebagaimana diceritakan oleh salah seorang santri beliau, H. Yunaidi Tk. Simarajo. H. Yunaidi menceritakan pengalamannya ketika mengaji dengan Syekh, “Seolah-olah penjelasan (pemahaman ) dari materi yang beliau ajarkan ditaruh ke dalam kepala murid -muridnya”. Begitulah kepiawaian beliau dalam menjelaskan materi pembelajaran, sehingga apa yang beliau jelaskan sangat dimengerti oleh murid-muridnya dan tidak seorangpun yang mampu mendebatnya.
Keharuman nama Syekh Musa sampai ke Buya Dalil, Dt. Maninjun (seorang alim di kalangan ulama PERTI dan khalifah dari Syekh M. Djamil Jaho di MTI Jaho). Menurut Ali Umar, Tk Sidi, Buya Dalil pernah mengutus anaknya untuk menjadi mustami’ di halaqah Syekh Musa. Karena itu tidak mengherankan jika Syekh Musa menjadi rujukan bagi ulama sezaman dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan yang dihadapi di masyarakat.
Sebagai seorang ulama, tentu Syekh Musa bukan hanya menguasai ilmu-ilmu syariat secara teoritis, tetapi beliau tampil menjadi teladan dalam mengamalkan ilmu-ilmu tersebut. Apalagi beliau merupakan seorang pengamal tasawuf/tarekat yang dituntut untuk banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah selain ibadah wajib. Menurut H. Yunaidi Tk. Simarajo, di suraunya Syekh selalu memimpin shalat berjama’ah, yaitu shalat fardhu lima waktu. Cucu beliau, Ali Umar Tk Sidi juga menuturkan bahwa ia sering menyaksikan Syekh beribadah di sepertiga malam terakhir. Beliau sering menghabiskan malam-malamnya dengan berzikir di atas anjuang (tingkat dua) suraunya.
Syekh Musa juga seorang yang sangat menghormati ilmu. Di antara adab beliau kepada ilmu, menurut H. Yunaidi Tk. Simarajo, beliau melarang meletakkan benda apapun di atas kitab-kitab, karena kitab-kitab tersebut mengandungi ilmu syari’at. Syekh juga seorang yang rajin dalam mengajar, disiplin, penyabar, bijaksana dan istiqamah. Beliau juga seorang yang zuhud, tidak gila jabatan dan tidak mencari popularitas. Syekh H. Nasruddin, Tk. Sinaro menceritakan, Syekh Musa pernah didatangi oleh pihak pemerintahan kabupaten Padang Pariaman, meminta beliau menduduki jabatan Kepala Kantor Pengadilan Agama kabupaten. Dengan halus, beliau menolak, “Yang lain sajolah. bialah ambo jo pakiah-pakiah lambok ko je” (Mohon tawarkan kepada yang lain saja. Saya biarlah di sini bersama para santri saya). Selain menunjukkan sifat zuhud, ini juga menunjukkan kecintaan beliau yang luar biasa kepada ilmu.
Syekh Musa juga seorang yang memiliki keikhlasan luar biasa. Ini dapat dilihat betapa beliau, dalam mendidik santrinya, tidak mengharapkan apa-apa kecuali hanya ridha Allah SWT semata. Buya H. Nasruddin Ungku Sinaro pernah menceritakan, ketika pertanian (padi) di serang hama, di mana Syekh yang memiliki sawah yang luas, pada waktu itu sempat membeli beras untuk keluarga. “Kami para santri merasa prihatin. Karena itu kami sepakat membantu Syekh dengan mengumpulkan beras kawan-kawan santri”. Setelah diserahkan kepada Syekh, dengan nada sedikit tinggi beliau berkata “Sangko ang den ndak punyo Tuhan? (Kamu pikir saya tidak punya Tuhan?)”. Artinya beliau menolak bantuan beras tersebut.
Syekh Haji Musa memiliki hobi main sepakbola. Suatu hobi yang tergolong unik pada zamannya. Ini karena di kalangan ulama pesantren Minangkabau masa itu permainan sepakbola adalah sesuatu yang terlarang. Syekh H. Nasruddin, Tk. Sinaro bercerita, ketika Syekh Musa belajar di Sasak, beliau pergi bermain bola dengan cara diam-diam karena takut ketahuan gurunya.
Syekh Haji Musa juga memiliki kepandaian bela diri silat. Sebuah kepandaian yang mesti dimiliki oleh lelaki Minang zaman dulu. Kemampuan silat yang dimiliki oleh Syekh Musa bukan biasa-biasa saja. Meneurut cerita Ali Umar, Tk. Sidi, dalam seni bela diri tradisional Minangkabau ini Syekh H. Musa telah mencapai level yang tinggi, yang mana tidak seorangpun pendekar silat di tapakis masa itu mampu meyamainya.
WAFAT
Syekh Haji Musa wafat di pesantrennya, di Kabun, Tapakis, Kec. Ulakan Tapakis pada hari Selasa, 10 Syawwal 1409/ 16 Mei 1989 dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di komplek pesantrennya.
Masyarakat Padang Pariaman berduka atas kepergian seorang tokoh ulama yang serba lengkap, multi talenta dan jarang tandingannya. Kepemimpinan di Surau Kabun dilanjutkan oleh cucunya (anak dari keponakan beliau) yaitu Ali Umar, Tk. Sidi. Surau Kabun pun diberi nama formal, “Pondok Pesantren Syekh Haji Musa” mengikuti istilah yang sebelumnya hanya digunakan di Pulau Jawa. Sampai saat artikel ini ditulis, Pondok Pesantren Syekh Haji Musa masih eksis mendidik para santri sebagai kader ulama masa depan.
Sumber data:
Wawancara dengan Ali Umar, Tk. Sidi di Surau Kabun (Pondok Pesantren Syekh Haji Musa), Tapakis, pada 13 Juli 2016.
Cerita-cerita yang penulis terima dari gurunya, Syekh H. Nasruddin, Tk. Sinaro ketika penulis belajar (nyantri) di Pondok Pesantren Darul Ulum, Kampuang Paneh, Pakandangan pada pada tahun 1994-2000.
Cerita-cerita yang penulis terima dari ayahnya, H. Yunaidi, Tk. Simarajo ketika penulis masih remaja.
Wawancara dengan H. Yunaidi, Tk. Simarajo, pada tahun 2016.
Wawancara dengan H. Umar Ali, Tk. Sidi Basa, pada 7 Agustus 2016