![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin
“Bencana ini bukan bencana biasa. Dampaknya lebih luas, dan banyak wilayah terisolasi akibat infrastruktur yang rusak. Bantuan logistik belum mampu menjangkau seluruh titik pengungsian. Karena itu, masyarakat perlu memberikan bantuan secara berkelanjutan sampai kondisi benar-benar pulih.”
Pernyataan ini bukan sekadar kalimat formal; ia adalah cermin kenyataan pahit yang sedang kita hadapi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh sejak banjir bandang dan badai dahsyat meluluhlantakkan kehidupan masyarakat akhir November 2025.
Skala kerusakan yang terjadi saat ini jauh melampaui batas bencana biasa yang pernah kita hadapi sebelumnya. Ini bukan semata tentang air yang meluap atau sungai yang melampaui kapasitas. Bencana kali ini adalah kombinasi tragis antara curah hujan ekstrem, degradasi lingkungan, kesalahan tata ruang, dan lemahnya sistem mitigasi bencana di lapangan. Karena itu, dampaknya tidak berhenti pada rusaknya rumah warga atau terendamnya lahan pertanian. Bencana ini memutus hubungan antarkampung, mengisolasi ribuan jiwa, dan membuat akses bantuan terhenti di tengah jalan.
Terisolasi di Negeri Sendiri
Bagian paling menyedihkan dari bencana ini adalah kenyataan bahwa masih banyak wilayah yang belum tersentuh bantuan. Setelah jembatan ambruk, tebing longsor, dan jalan provinsi retak, banyak nagari dan kampung kecil seolah hilang dari radar. Masyarakat yang terjebak di daerah-daerah ini tidak hanya kekurangan logistik, tetapi juga kehilangan harapan karena suara mereka tak terdengar sampai pusat komando bencana.
Tim relawan mengakui bahwa ada lokasi yang baru ditemukan setelah berhari-hari bencana terjadi. Para pengungsi bertahan dengan persediaan seadanya: sebungkus mi instan yang dibagi untuk beberapa keluarga, pakaian basah yang dipakai berulang, serta tidur di lantai dingin tanpa selimut. Anak-anak mulai demam, lansia kelelahan, dan sebagian korban mengalami trauma mendalam akibat kehilangan anggota keluarga maupun harta benda.
Ini bukan gambaran dramatisasi. Ini kenyataan yang terjadi di banyak titik pengungsian yang terisolasi.
Ketimpangan Distribusi Bantuan
Dalam berbagai bencana besar, fase paling kritis adalah 24–72 jam pertama. Namun dalam kasus ini, batas waktu itu telah berlalu sementara sebagian pengungsi masih belum menerima bantuan memadai. Bukan karena tidak ada bantuan—relawan, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat berbondong-bondong mengirimkan logistik. Masalahnya adalah distribusi.
Ada lokasi yang dekat jalan besar mendapatkan bantuan melimpah, sementara lokasi yang jauh atau terhalang longsor tidak mendapat apa-apa. Sementara itu, koordinasi vertikal antara pemerintah daerah, provinsi, dan pusat tidak selalu berjalan mulus. Ketika infrastruktur lumpuh, komunikasi minim, dan tenaga bantuan terbatas, maka logistik tidak akan terdistribusi dengan adil.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting:
Apakah kita sudah benar-benar belajar dari bencana-bencana sebelumnya?
Apakah mitigasi, peringatan dini, dan manajemen risiko hanya menjadi dokumen indah yang jarang dipraktikkan?
Solidaritas Masyarakat: Nyala Harapan di Tengah Gelap
Di atas semua kelemahan struktural itu, ada satu cahaya kecil yang justru tampak paling terang: solidaritas masyarakat Sumatera. Warga yang selamat membantu tetangganya yang terjebak; pemuda nagari memasak nasi untuk 200 orang; komunitas masjid mengumpulkan pakaian dan selimut; ibu-ibu pengajian menyiapkan dapur umum; kelompok pemuda Minang di rantau menggalang dana sejak hari pertama.
Dalam sosiologi bencana, ada istilah emergent community—komunitas spontan yang muncul dari bawah ketika struktur formal kewalahan. Kita melihat itu di seluruh Sumatera hari ini. Dan karena itu pula, pernyataan bahwa bantuan masyarakat harus berkelanjutan menjadi sangat penting.
Bencana besar tidak selesai dalam seminggu. Masa tanggap darurat hanya membuka pintu bagi fase pemulihan panjang:
perbaikan rumah
pembangunan jembatan darurat, pemulihan lahan pertanian dukungan psiko-sosial bagi penyintas, penataan ulang tata ruang dan mitigasi risiko
Solidaritas masyarakat, ormas, dan jaringan relawan adalah kekuatan nyata yang dapat mengisi celah di mana negara masih kesulitan menjangkau.
Mengapa Bantuan Berkelanjutan Diperlukan?
Ada tiga alasan utama:
1. Kerentanan Meningkat Setelah Bencana Besar
Ketika aset hilang, penghasilan terputus, dan biaya hidup meningkat, masyarakat miskin menjadi kelompok paling rapuh. Bantuan jangka panjang mengurangi risiko mereka jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem.
2. Infrastruktur Pulih dalam Hitungan Bulan, Bukan Hari
Membangun kembali jembatan, jalan, dan rumah bukan pekerjaan sehari. Bahkan dengan bantuan pemerintah pusat pun, waktu proses bisa sangat panjang.
3. Trauma Tidak Hilang Ketika Air Surut
Anak-anak kehilangan rasa aman. Lansia kehilangan rumah yang menjadi sumber identitas kehidupannya. Dukungan psiko-sosial adalah kebutuhan nyata, bukan tambahan.
Karena itu, bantuan tidak bisa hanya berhenti pada fase darurat. Ia harus meluas menuju fase recovery dan rehabilitasi.
Belajar dari Bencana: Saatnya Refleksi Serius
Setiap bencana adalah peringatan. Namun bencana besar—apalagi yang mengisolasi ribuan orang—harus menjadi pintu perubahan struktural. Kita tidak bisa lagi bergantung pada keberuntungan atau solidaritas warga semata. Diperlukan:
early warning system yang benar-benar efektif
konservasi hutan dan sungai, pengawasan tata ruang ketat,pelatihan relawan desa, manajemen bencana satu pintu yang kuat pembangunan jembatan tahan bencana
Bencana kali ini telah membongkar banyak kelemahan sistemik. Jangan sampai ia berlalu hanya menjadi catatan duka tanpa pembelajaran.
Penutup:
Kemanusiaan Kita Sedang Diuji
Bencana ini memang bukan bencana biasa. Ia adalah ujian kemanusiaan, ujian solidaritas, dan ujian ketahanan sosial kita. Ketika banyak saudara kita masih terisolasi, tidur di tempat dingin, dan menunggu bantuan yang tak kunjung datang, maka seruan untuk memberikan bantuan berkelanjutan bukan hanya himbauan—tetapi kewajiban moral, kewajiban adat, dan kewajiban iman.
Dalam budaya Minang, kita diajarkan: “Berat samo dipikua, ringan samo dijinjiang.”
Bencana hari ini adalah beban bersama, bukan milik korban semata.
Selama kita menjaga solidaritas, memperbaiki sistem, dan tidak lelah membantu, maka Sumatera akan bangkit. Bukan sekadar pulih, tetapi pulih dengan lebih kuat dan lebih sadar akan apa yang harus diperbaiki ke depan.ds. 11122025.
