![]() |
صَوْتُ الْفَسَادِ وَدَمْعَةُ الْأَرْضِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Di tengah kesedihan menyaksikan masyarakat kita yang terdampak banjir bandang di sejumlah kawasan Sumatera, muncul pertanyaan-pertanyaan yang saling bersambung dalam hati. Banjir ini tidak hanya membawa air bah, tetapi juga kayu-kayu gelondongan yang menghantam rumah, masjid, dan perkampungan. Tumpukan kayu itu menggunung, sulit dipindahkan, seakan menjadi monumen bisu bagi sesuatu yang lebih besar: kerusakan yang telah lama kita biarkan membusuk di dasar nurani.
Kayu-kayu itu tentu berasal dari hulu. Dan hulu berarti pegunungan, tempat-tempat tinggi yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi perkampungan di bawahnya. Namun tanah ketinggian itu tak lagi mampu menahan air, karena telah digunduli oleh manusia-manusia rakus.
Mereka merampas kayu-kayu itu, seringkali tidak dengan cara yang halal dan tidak pula legal, demi menumpuk keuntungan pribadi. Padahal hutan adalah penjaga bumi. Ia benteng keamanan, penahan air, dan napas kehidupan.
Allah subḥānahu wata‘ālā berfirman:
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41)} [الروم: 41]
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan yang telah mereka lakukan, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rūm: 41)
Kerusakan itu tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari kerakusan. Dari ketamakan yang merusak fasilitas umum demi kemakmuran pribadi dan kelompok. Dan benar pula firman Allah:
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ (12)} [البقرة: 11، 12]
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ketahuilah, sesungguhnya merekalah para perusak, tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 11-12)
Betapa banyak yang merusak, tetapi mengaku sebagai pembawa maslahat.
Lalu kita merenung:
Apakah mereka tidak takut hisab?
Apakah mereka mengira bahwa dosa besar ini hanya berakhir di dunia?
Dari Abu Barzah Al-Aslamī, ia berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya apa yang ia amalkan dengannya; tentang hartanya dari mana ia peroleh dan pada apa ia belanjakan; serta tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan hingga menjadi lusuh.” (HR. At-Tirmidzī, no. 2417)
Maka celakalah mereka yang mengumpulkan harta dari sumber yang merusak alam, menzalimi masyarakat, dan membahayakan nyawa.
Namun ketika memikirkan semua ini, kadang muncul bisikan putus asa di hati:
"Bagaimana menghentikan rantai kerusakan ini? Korupsi terasa seperti budaya. Dari hulu sampai hilir kekuasaan. Kejujuran dimusuhi, kedustaan dianggap kebutuhan untuk tetap bertahta dan berharta."
Pertanyaan itu wajar. Tetapi jangan sampai ia memadamkan harapan.
Allah tidak meminta kita memperbaiki segalanya sekaligus. Allah meminta kita memperbaiki diri, lalu perbaikan itu menyebar seperti cahaya dari satu rumah ke rumah lain.
Tobat adalah solusi.
Mengingat mati adalah kewajiban. Dan dari kesadaran bahwa usia ini tersisa sedikit, kita menata ulang langkah-langkah kaki sebelum semuanya terlambat.
Biarlah banjir ini menjadi air mata bumi yang mengingatkan manusia.
Biarlah kayu-kayu itu menjadi suara kerusakan yang menggugat hati kita.
Dan biarlah musibah ini menjadi titik tobat, titik kembali, titik kesadaran.
Semoga Allah memperbaiki negeri ini melalui hamba-hamba-Nya yang masih mau kembali kepada-Nya.
Pariaman, Rabu, 14 Jumadil Akhir 1447 H / 3 Desember 2025 M
Zulkifli Zakaria
