![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Setiap kali bencana menimpa negeri ini—banjir bandang, longsor, gelombang pasang, atau runtuhnya infrastruktur publik—kita cenderung menenangkan diri dengan menyebutnya musibah. Kata itu terasa aman, netral, dan tidak menyalahkan siapa pun. Namun Al-Qur’an tidak selalu memakai istilah musibah untuk menggambarkan bencana. Ada istilah bala’, fitnah, dan azab, yang masing-masing mengandung bobot teologis dan sosial-politik berbeda. Di sinilah letak persoalan: apakah semua bencana adalah musibah, ataukah sebagian darinya merupakan teguran keras terhadap kezaliman struktural?
Tiga surat penting—Al-Baqarah, At-Taghabun, dan Al-Hadid—memberikan kerangka teologis bahwa musibah adalah bagian dari sistem Ilahi. Namun ayat-ayat lain mengungkap sisi lain dari bencana: sebagai konsekuensi moral atas kerusakan yang dibuat oleh manusia, terutama oleh elite penguasa yang lalai dan serakah.
Musibah: ujian, bukan pelarian moral
Surat Al-Baqarah (2:155–156) menegaskan bahwa manusia akan diuji dengan musibah: ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa. Ibn Kathir menafsirkan musibah sebagai imtihan, pendidikan Ilahi untuk meningkatkan kualitas iman. Namun pendidikan ini bukan untuk membuat umat menjadi pasrah atau menerima kesalahan manusia sebagai “takdir”.
Justru musibah mengandung tugas moral. Al-Qurthubi menekankan bahwa musibah harus dibaca sebagai momentum koreksi diri—individu dan masyarakat. Quraish Shihab menambahkan bahwa musibah dapat menjadi ruang refleksi untuk memperbaiki sistem sosial yang rusak.
Karena itu, menyebut bencana ekologis hari ini sebagai “musibah biasa” sebenarnya adalah cara halus untuk menghindari tanggung jawab. Ketika banjir bandang melanda daerah yang hutan dan DAS-nya dihancurkan oleh izin-izin korporasi, maka menyebutnya musibah saja adalah mengurangi kedalaman pesan Ilahi.
At-Taghabun: musibah sebagai petunjuk bagi hati yang sadar
Surat At-Taghabun (64:11) mengatakan bahwa musibah terjadi dengan izin Allah, tetapi Allah memberi petunjuk kepada hati orang beriman. Ibn Abbas menafsirkan ayat ini sebagai ajakan untuk membaca musibah dengan mata batin dan mata akal sekaligus. Hamba beriman tidak berhenti pada kalimat “ini takdir Allah”, tetapi justru mencari hikmah dan penyebab agar tidak mengulang kezaliman yang sama.
Jika musibah datang berulang di tempat yang sama, pertanyaannya bukan lagi “mengapa Allah menurunkan musibah?”, tetapi “siapa yang mengabaikan peringatan?” Ayat ini menggeser cara pandang: dari fatalisme menuju tanggung jawab kolektif.
Al-Hadid: musibah dan sistem sosial yang rusak
Surat Al-Hadid (57:22) menegaskan bahwa musibah sudah tertulis dalam ketetapan Allah. Tetapi tafsir Al-Qurthubi dan Fakhruddin ar-Razi mengingatkan bahwa ketetapan itu berjalan melalui hukum sebab-akibat (sunatullah). Jika DAS rusak, bukit digunduli, sungai disempitkan, dan korupsi menghancurkan tata ruang, maka musibah adalah konsekuensi logis dari perbuatan tangan manusia.
Di sinilah ayat Al-Qur’an yang paling keras bicara: “Tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41). Kerusakan ekologis bukan sekadar persoalan teknis, tetapi perintah moral bahwa manusia—lebih khusus lagi, mereka yang berkuasa—telah melakukan dosa sosial. Kebijakan salah, izin rakus, lemahnya penegakan hukum, dan pembiaran terhadap eksploitasi alam adalah faktor yang menjadikan musibah berubah menjadi tragedi kemanusiaan.
Bala’, Fitnah, dan Azab: dimensi politis bencana
1. Bala’ – ujian berat yang menampakkan kualitas kepemimpinan
Bala’ bukan hanya ujian bagi rakyat, tetapi ujian bagi pemimpin. Kisah Fir’aun dalam Al-Baqarah (2:49) menunjukkan bahwa bala’ dapat berupa bencana yang menguji apakah penguasa akan memperbaiki diri atau mempertahankan kezaliman.
Pemimpin yang gagal membaca pesan bala’—yang menyalahkan alam, takdir, atau masyarakat, tanpa memperbaiki kebijakan—sesungguhnya sedang menjalani ujian yang ia gagal lulus.
2. Fitnah – ujian kekuasaan yang menyesatkan
Fitnah bukan hanya godaan moral individu, tetapi juga godaan politik yang menjadikan kekuasaan sebagai alat eksploitasi. Ketika bencana dijadikan komoditas politik—misalnya melalui korupsi dana bantuan, proyek tanggap darurat fiktif, atau pencitraan—maka yang terjadi adalah fitnah kekuasaan sebagaimana disebut Al-Qur’an (QS. 8:28; QS. 64:15).
Fitnah kekuasaan ini jauh lebih berbahaya daripada bencana alam itu sendiri.
3. Azab – hukuman atas kezaliman struktural
Azab dalam Al-Qur’an tidak pernah turun tiba-tiba. Ia selalu datang setelah:
1. kezaliman menjadi sistem,
2. pemimpin menolak kebenaran,
3. masyarakat diam terhadap kerusakan.
Sayyid Qutb secara tegas menyebut bahwa azab adalah intervensi Ilahi untuk menghentikan kezaliman ketika manusia gagal memperbaikinya. Dengan kata lain, azab adalah “alarm terakhir” ketika bangsa terus mempertahankan struktur dosa sosial.
Jika sebuah negeri mengalami bencana berulang di tempat yang sama, akibat pola kesalahan yang sama, di bawah kebijakan yang sama buruknya, maka bencana itu mendekati sifat azab—bukan karena Allah murka pada rakyat, tetapi karena penguasa gagal menjaga amanah.
Dimensi politis musibah: Bencana tidak netral
Musibah bukan sekadar fenomena alam. Ia membawa pesan politik:
1. Menelanjangi ketidakadilan tata ruang
Bencana memperlihatkan siapa yang mati dan siapa yang selamat. Yang miskin tinggal di tepi sungai, kaki bukit, rumah darurat; yang kaya tinggal di dataran tinggi dan rumah kuat.
2. Mengungkap korupsi yang tak terlihat.
Jalan dan jembatan yang baru dibangun namun mudah runtuh adalah tanda bahwa anggaran habis dijarah.
3. Memperlihatkan kegagalan negara hadir dalam mitigasi
Negara yang gagal merawat lingkungan bukan negara yang lemah, tetapi negara yang melanggar amanat kekhalifahan.
Penutup:
Musibah sebagai teguran untuk rakyat, alarm untuk penguasa
Musibah dalam Al-Qur’an adalah pesan multidimensi: ujian bagi manusia beriman, tetapi juga peringatan keras bagi mereka yang mengatur negeri. Bencana bukan hanya tanda bahwa alam sedang rusak, tetapi bahwa sistem sosial sedang salah arah.
Tugas kita bukan hanya membaca doa ketika musibah terjadi, tetapi juga membaca ayat-ayat sosial yang menyertainya:
Bagaimana izin tambang diberikan?
Mengapa bukit digunduli?
Mengapa dana mitigasi dipotong?
Mengapa kebijakan pro-pengusaha menghancurkan keselamatan rakyat?
Musibah adalah panggilan spiritual untuk rakyat, tetapi tamparan moral untuk elite. Jika pesan ini tidak dibaca, musibah akan datang lagi—lebih besar, lebih keras, dan lebih memaksa.ds.12122025
