![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Abstrak
Artikel ini membahas relasi antara integritas dosen, kinerja akademik, dan birokratisasi pendidikan tinggi dalam konteks modernisasi tata kelola perguruan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan teoritis dari perspektif sosiologi organisasi, etika akademik, dan manajemen pendidikan, artikel ini menganalisis bagaimana berkembangnya sistem administrasi, akreditasi, dan indikator kinerja berdampak pada kualitas Tridarma Perguruan Tinggi. Temuan menunjukkan bahwa birokratisasi yang berlebihan telah menggeser orientasi dosen dari pengembangan ilmu menuju pemenuhan dokumen administratif. Integritas dosen menjadi faktor penentu apakah birokrasi akan memperkuat atau justru melemahkan mutu akademik. Artikel ini menawarkan rekomendasi untuk mengembalikan ekosistem akademik yang sehat melalui debirokratisasi, kepemimpinan ilmiah, dan revitalisasi kultur akademik.
Kata Kunci: Integritas, Kinerja Dosen, Birokratisasi Kampus, Tridarma, Etika Akademik.
1. Pendahuluan
Dosen merupakan aktor sentral dalam ekosistem perguruan tinggi. Kualitas pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh integritas dan kompetensi dosennya (Altbach, 2015). Namun dalam dua dekade terakhir, perguruan tinggi Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam aspek birokratisasi: akreditasi yang semakin ketat, sistem pelaporan kinerja digital, dan manajemen berbasis indikator.
Fenomena ini menciptakan paradoks:
integritas dosen dituntut semakin tinggi, tetapi
beban administrasi meningkat sehingga mengganggu kinerja akademik.
Situasi ini diperparah oleh orientasi “compliance culture” yang menjadikan indikator administratif lebih penting daripada kualitas substantif pembelajaran dan riset (Suyanto, 2018). Artikel ini membahas hubungan ketiga aspek tersebut secara komprehensif.
2. Kajian Teori
2.1. Integritas Akademik
Integritas akademik adalah komitmen terhadap nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab ilmiah, dan perilaku etis dalam proses akademik (Fishman, 2014). Dalam konteks dosen, integritas mencakup:
kejujuran dalam pengajaran dan penelitian,
komitmen terhadap metodologi ilmiah,
konsistensi nilai pribadi dan profesional, bebas dari plagiarisme dan manipulasi data. Integritas merupakan modal simbolik yang menentukan kredibilitas ilmuwan (Bourdieu, 1988).
2.2. Kinerja Dosen
Kinerja dosen diukur melalui tiga aspek Tridarma:
1. Pendidikan dan Pengajaran,
2. Penelitian,
3. Pengabdian kepada Masyarakat.
Namun pada praktiknya, kinerja dosen juga dipengaruhi oleh:
beban kerja administratif (BKD, SISTER, akreditasi),
sistem reward berbasis angka kredit, tuntutan publikasi kuantitatif (Perdana, 2020).
Kinerja akademik ideal adalah ketika dosen mampu memadukan produktivitas ilmiah dengan kualitas pembelajaran.
2.3. Birokratisasi Perguruan Tinggi
Birokratisasi adalah proses bertambahnya struktur formal, regulasi, dan sistem administrasi dalam organisasi (Weber, 1994). Dunia kampus modern bergerak ke arah manajerialisme dengan fokus pada:
efisiensi, akuntabilitas,
laporan, indikator kinerja.
Marginson (2011) menyebut fenomena ini sebagai “the rise of administrative university.”
Perubahan ini menghasilkan compliance burden—beban kepatuhan yang mengalihfungsikan dosen dari akademisi menjadi pegawai administratif.
3. Pembahasan
3.1. Integritas sebagai Fondasi Kinerja Akademik
Integritas dosen menentukan arah profesionalisme. Tanpa integritas, kinerja dosen hanya menjadi:
rutinitas administratif,
pengejaran angka kredit,
publikasi instan,
penelitian tanpa substansi.
Dengan integritas yang kuat, dosen:
menjaga validitas data penelitian, mengajar dengan kejujuran ilmiah, melakukan pengabdian berbasis kebutuhan,
menjadi teladan moral bagi mahasiswa.
Integritas memastikan bahwa kinerja tidak sekadar memenuhi indikator, tetapi menghasilkan dampak akademik dan sosial.
3.2. Kinerja Dosen dalam Tekanan Birokratisasi
Birokratisasi memengaruhi kinerja dosen dalam beberapa cara:
a. Administrasi Menggerus Waktu Akademik
Penelitian Yudho (2021) menunjukkan dosen Indonesia menghabiskan 40–55% waktu kerja untuk pelaporan, bukan untuk mengajar atau meneliti. Formulir BKD, SISTER, laporan akreditasi, laporan penelitian, dan SOP internal membuat dosen kekurangan waktu berkualitas.
b. Orientasi Kinerja Menjadi Kuantitatif
Indikator mutu perguruan tinggi sering berfokus pada: jumlah publikasi,
jumlah kegiatan,
jumlah luaran.
Penilaian kinerja berbasis kuantitas memicu:
publikasi di jurnal predator,
riset asal-asalan,
pengabdian formalitas.
Hal ini bertolak belakang dengan tujuan akademik hakiki.
c. Melemahnya Kultur Ilmiah
Birokratisasi memicu hilangnya:
diskusi ilmiah mingguan,
kolokium internal,
kegiatan ilmiah non-formal,
mentoring akademik.
Dosen lebih fokus pada upload dokumen daripada mengembangkan ilmu.
3.3. Birokratisasi Kampus: Dampak Sistemik
a. Kampus Menjadi Organisasi Manajerial, Bukan Akademik
Manajemen kampus yang terlalu administratif menggeser nilai akademik. Universitas berubah menjadi organisasi yang dikelola oleh:
indikator,
SOP, excel sheet,
audit mutu.
Sementara filsafat pendidikan, kebebasan akademik, dan kebudayaan ilmiah tenggelam.
b. Munculnya "Compliance Culture"
Fokus dosen bukan lagi apa yang bernilai, tetapi apa yang diminta sistem.
Manipulasi laporan menjadi hal biasa karena tekanan target.
c. Dosen Kehilangan Otonomi
Birokratisasi menciptakan jarak antara dosen dan keputusan akademik.
Padahal universitas seharusnya dipimpin oleh komunitas ilmiah, bukan oleh logika manajemen administratif.
3.4. Interaksi Integritas – Kinerja – Birokratisasi
Hubungan ketiganya bersifat dialektik:
1. Integritas rendah + birokrasi tinggi = kinerja fiktif
publikasi abal-abal,
laporan palsu,
plagiarisme.
2. Integritas tinggi + birokrasi tinggi = frustrasi akademik
Dosen berkinerja baik justru terbebani administrasi yang tidak esensial.
3. Integritas tinggi + birokrasi sehat = ekosistem akademik unggul
Jika birokrasi fungsional, dosen dapat:
mengajar berkualitas,
meneliti secara substansial,
mengabdi secara kontekstual.
4. Birokrasi rendah tanpa integritas = chaos
Kampus menjadi tidak terkontrol, penuh manipulasi.
4. Rekomendasi Perbaikan
Untuk menciptakan ekosistem akademik yang sehat, diperlukan:
1. Debirokratisasi Sistem Pelaporan
Integrasi:
BKD,
SISTER,
Akreditasi,
Laporan internal
dalam single reporting system.
2. Reorientasi Penilaian Kinerja
Fokus pada: kualitas pembelajaran,
originalitas riset,
dampak sosial pengabdian.
3. Penguatan Kultur Akademik
Implementasi:
forum ilmiah rutin,
kolokium, klinik metodologi,
komunitas riset internal.
4. Kepemimpinan Akademik Berbasis Integritas
Pemimpin kampus harus mencontohkan:
transparansi,
meritokrasi,
keberpihakan pada nilai akademik, bukan politik kampus.
5. Penyediaan Waktu Akademik Berkualitas
Dosen membutuhkan:
waktu membaca,
waktu menulis,
waktu meneliti,
yang dilindungi dari beban administrasi berlebihan.
5. Kesimpulan
Integritas, kinerja akademik, dan birokratisasi adalah tiga pilar yang menentukan kualitas perguruan tinggi. Namun birokratisasi yang tak terkendali dapat merusak dua lainnya. Artikel ini menunjukkan bahwa membangun perguruan tinggi unggul membutuhkan:
debirokratisasi yang tepat,
integritas akademik yang kuat, orientasi kinerja yang berbasis substansi.
Perguruan tinggi harus kembali menjadi rumah ilmu—bukan kantor administrasi besar.
Daftar Pustaka (APA Style)
Altbach, P. G. (2015). The academic profession: The realities of university life. Routledge.
Bourdieu, P. (1988). Homo Academicus. Stanford University Press.
Fishman, T. (2014). The Fundamental Values of Academic Integrity. International Center for Academic Integrity.
Marginson, S. (2011). Higher education and public good. Melbourne: Centre for the Study of Higher Education.
Perdana, R. (2020). Kinerja dosen di tengah tuntutan publikasi dan akreditasi. Jurnal Manajemen Pendidikan, 14(2), 122–135.
Suyanto, B. (2018). Manajerialisme dan birokratisasi pendidikan tinggi Indonesia. Jurnal Sosiologi Pendidikan Indonesia, 2(1), 45–59.
Weber, M. (1994). Economy and Society. University of California Press.
Yudho, F. (2021). Administrativisasi dosen dan implikasinya terhadap kinerja akademik. Jurnal Ilmu Pendidikan, 26(3), 310–328.
