![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Di tengah hidup yang bergerak tanpa jeda, manusia kerap tersandung kenyataan pahit yang tak pernah diminta: kehilangan, penyakit, kegagalan, musibah, atau retaknya harapan. Banyak orang berhenti pada luka, memandangi hidup dari bingkai kesedihan yang sama, sampai-sampai realitas yang netral pun tampak mengancam. Di sinilah seni reframing menemukan tempatnya—cara mengubah bingkai pikiran agar luka tidak menjadi penjara, tetapi menjadi tenaga.
Reframing bukan memaniskan racun, bukan pula menutupi kenyataan. Ia adalah kemampuan spiritual dan psikologis untuk memaknai ulang suatu peristiwa sehingga manusia tidak tenggelam oleh tafsir negatif ciptaannya sendiri.
Dalam bahasa Qur’an, esensinya terletak pada kalimat sederhana namun dahsyat:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini mengajarkan bahwa hidup tidak bergantung pada apa yang terjadi, tetapi pada bagaimana manusia menafsirkan yang terjadi. Di sini letak kekuatan reframing: menggeser tafsir, bukan menolak fakta.
Ketika seseorang mengalami musibah, yang retak bukan hanya rumah, tetapi juga cara ia melihat dunia. Reframing bekerja mengembalikan “kacamata jiwa” agar seseorang mampu menemukan cahaya kecil di balik reruntuhan.
Dalam pendekatan sufistik, ini disebut “tabdîl an-nazhar”—mengganti cara memandang; dari keluhan menjadi kesadaran, dari marah menjadi tawakal, dari hancur menjadi harapan.
Reframing berjalan melalui tiga tanda sederhana. Pertama, pikiran mulai bergerak dari pertanyaan “mengapa ini terjadi pada saya?” menjadi “apa yang Allah sedang ajarkan kepada saya?” Kedua, emosi yang kusut mulai melonggar; marah berubah menjadi tenang, panik menjadi sabar.
Ketiga, perilaku menjadi lebih terarah; seseorang mulai melangkah, bukan membeku dalam ketakutan. Inilah indikator bahwa jiwa sedang disembuhkan.
Dalam praktik konseling dan terapi ruhani, metode reframing hadir melalui percakapan yang membuka pintu makna baru. Konselor memandu klien memindahkan fokus: dari apa yang hilang ke apa yang tersisa, dari luka ke pelajaran, dari bencana ke peluang membangun diri.
Para sufi mengajarkan hal yang sama melalui zikir, tafakur, dan dialog batin: “Apa yang Allah letakkan dalam ujian ini untuk mendekatkan aku kepada-Nya?”
Seseorang yang kehilangan rumah akibat bencana mungkin merasa dunia runtuh. Tetapi ketika ia melihat bahwa yang tersisa adalah nyawanya, keluarganya, dan tangan-tangan tetangga yang menguatkan, makna baru muncul. Kesedihan tetap ada, tetapi tidak menelan seluruh jiwa. Inilah reframing: mengubah pusat gravitasi dari luka ke daya hidup.
Secara ilmiah, reframing memperbaiki alur syaraf di otak: pikiran negatif yang otomatis berhenti mendominasi, diganti perspektif baru yang lebih adaptif. Secara spiritual, ia mengembalikan manusia kepada tauhid—bahwa tidak ada peristiwa tanpa hikmah dan tidak ada ujian tanpa pelajaran.
Reframing membuat manusia melihat bahwa hidup bukan rangkaian kebetulan yang kejam, melainkan kurikulum Ilahi yang selalu mengantar hamba menuju kedewasaan iman.
Dengan reframing, seseorang tidak lagi sekadar bertahan dari badai, tetapi tumbuh karenanya.
Pada akhirnya, reframing mengajarkan satu hal mendasar;Hidup tidak perlu ditakuti, hanya perlu dibingkai ulang. Dan ketika bingkai berubah, dunia pun ikut berubah.
DARI LUKA KE TANGGUH
Seminggu sudah kita lalui bencana banjir bandang 28 November 2025 lalu dengan segala dampak ikutannya. Kesedihan, penderitaan dan luka lahir batin, bahkan di antara saudara kita kembali pulang menghadap sang khaliq, innalilahi.... adalah kenyataan yang dirasakan semua pihak yang ini mesti dihadapi dengan pikiran positif.
Bencana dan luka kehidupan adalah bagian dari sunnatullah. Aqidah Islam menegaskan bahwa setiap musibah hadir dalam kendali Allah. “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami mewujudkannya” (QS. Al-Ḥadīd: 22). Ayat ini mengokohkan jiwa, apa yang terjadi bukan kebetulan, bukan hukuman semata, tetapi bagian dari rencana Allah untuk meninggikan derajat dan memurnikan hati.
1. Luka Jalan Ibrah dan Kekuatan
Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah hapuskan dengannya sebagian dari kesalahannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadis ini adalah fatwa nabawiyah bahwa musibah adalah pembersihan, bukan pematah semangat. Para ulama seperti Ibn Qayyim menegaskan bahwa ujian adalah tahdzīb nafs (pembinaan jiwa) yang menyiapkan seseorang kepada maqam kesabaran dan tawakkal.
2. Mengurai Luka, Menata Makna
Konseling dalam Islam berakar pada prinsip tafakkur, tadabbur, dan tazakkur terhadap diri dan takdir. Al-Qur’an memberi pendekatan psikologis yang lembut:
“Karena itu, janganlah kamu merasa lemah dan jangan bersedih hati, kamulah yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.” (QS. Āli ‘Imrān: 139).
Ilmu psikologi modern menyebut proses ini sebagai reframing, yaitu mengubah cara memandang peristiwa agar tidak merusak diri. Dalam kajian trauma healing, seseorang pulih ketika ia mampu memberi makna baru pada penderitaannya. Al-Qur’an lebih dahulu mengajarkan hal ini: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Dengan pendekatan konseling Islami, luka dinarasikan dengan jujur, tetapi diarahkan kepada nilai: apa hikmah, apa yang diperbaiki, dan apa yang diperkuat.
3. Terapi RuhanI; Jalan Pemulihan Jiwa yang Paling Dalam
Terapi ruhani memiliki tiga pilar utama:
a. Dzikir
Allah berfirman: “Ala bidzikrillahi tatma’innul qulub — Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Penelitian neurosains menunjukkan bahwa aktivitas repetitif berbasis spiritual seperti dzikir menurunkan hormon stres (kortisol) dan meningkatkan stabilitas emosi.
b. Shalat dan Doa
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al-Baqarah: 153).
Fatwa ulama klasik dan kontemporer menegaskan shalat sebagai terapi ruhani saat goncangan. Imam al-Ghazali menyebut shalat malam sebagai ghidha’ ar-rūh (nutrisi jiwa), merestorasi ketenangan batin.
c. Tawakkal dan Redha
“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. At-Thalaq: 3).
Dalam psikologi modern, sikap ini disebut acceptance, bagian dari terapi ACT (Acceptance and Commitment Therapy). Islam mendahuluinya sebagai prinsip surrender yang memperkuat ketahanan mental (resilience).
4. Resiliensi (Ketangguhan):
Kajian ilmiah menyebut resiliensi tumbuh dari:
• Makna spiritual
• Harapan dan optimisme
• Dukungan sosial
• Regulasi emosi
Semua unsur ini telah ditanamkan Islam lebih dari 1.400 tahun lalu. Ayat “In tansurullaha yansurkum wa yutsabbit aqdamakum” (QS. Muhammad: 7) menunjukkan bahwa komitmen pada nilai-nilai ketuhanan adalah sumber kekuatan terbesar manusia.
Penutup:
Luka yang Membentuk Tangguh
Dengan aqidah sebagai pondasi, konseling sebagai pemetaan jiwa, dan terapi ruhani sebagai obat batin, seorang mukmin tidak hanya pulih—tetapi bangkit sebagai pribadi lebih kuat. Luka menjadi guru, ujian menjadi sumber ibrah, dan hidup setelah bencana menjadi ruang baru untuk memperbaiki niat, amal, dan hubungan dengan Allah.
Luka tidak melemahkan seorang mukmin. Dengan iman dan terapi ruhani, luka justru menuntunnya menuju ketangguhan.
KESIMPULAN
Pada akhirnya, seluruh uraian ini mengajarkan bahwa luka bukan akhir dari perjalanan, tetapi bagian dari kurikulum Ilahi yang membentuk kedewasaan iman. Reframing—mengubah bingkai makna—adalah seni spiritual dan psikologis yang menuntun manusia melihat musibah bukan sebagai kehancuran, tetapi sebagai undangan untuk bangkit lebih kuat. Al-Qur’an dan Sunnah telah lebih dahulu memberi dasar bahwa setiap ujian menyimpan hikmah, setiap kesedihan membawa pembersihan, dan setiap kehilangan membuka pintu kedekatan baru dengan Allah.
Bencana banjir bandang yang melanda kita 28 November 2025 meninggalkan luka lahir batin, tetapi juga menghadirkan ruang luas untuk kembali menata diri, menata iman, dan memperbaiki hubungan sosial. Dengan aqidah sebagai pegangan, konseling sebagai pemandu makna, dan terapi ruhani sebagai peneguh jiwa, seorang mukmin mampu melihat peristiwa pahit sebagai jalan ibrah yang mengokohkan kesabaran dan tawakkal.
Resiliensi—ketangguhan jiwa—tumbuh ketika manusia mampu memaknai ulang penderitaannya, menemukan apa yang tersisa, dan bergerak dengan harapan baru. Islam menegaskan bahwa tidak ada musibah yang terjadi tanpa pengetahuan dan kasih sayang Allah. Karena itu, luka bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan kesempatan untuk kembali kepada kekuatan batin yang selama ini tertanam.
Dengan iman, reframing, dan terapi ruhani, luka berubah menjadi cahaya.
Ia tidak melemahkan, tetapi membentuk jiwa menjadi lebih tegar, lebih tawakkal, dan lebih siap menjalani amanah kehidupan. Dari luka kita belajar, dari sabar kita tumbuh, dan dari musibah kita menemukan ketangguhan.masjidulhuwahbalaikotapadang@05122025.
