![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman
Judul tulisan ini hadir dipikiran saat diskusi di lapau selesai menyalurkan bantuan untuk korban bencana di daerah Padang Pariaman. Ada pertanyaan dan pernyataan mengelitik dari seorang ninik bahwa saat ini sulit menemukan intelektual yang mau membaur dan ikut merasakan penderitaan masyarakat, lebih lagi saat bencana?
Penulis tersentak mendengar kritik tajam yang dialamat pada intelektual dan cendikiawan di "menara gading" sibuk dengan ilmiah dan lupa membimbing masyarakat dengan ilmunya itu.
Apapun realitasnya akhir-akhir intelektual akademisi memang disibukkan oleh tagihan administrasi scopus, artikel di jurnal bereputasi, dampaknya pengabdian kepada masyarakat terabaikan.
1. Konteks Bencana di Sumatera Barat
Sumatera Barat merupakan wilayah dengan tingkat kerentanan bencana yang tinggi akibat kombinasi faktor alam dan sosial. Secara geografis, daerah ini berada di jalur Sesar Sumatera, memiliki topografi perbukitan, aliran sungai yang curam, serta curah hujan tinggi. Namun, kerentanan tersebut diperparah oleh faktor non-alam, seperti:
Alih fungsi hutan dan lahan ulayat, Pembangunan permukiman di bantaran sungai, lemahnya tata kelola lingkungan, Pengabaian kearifan lokal Minangkabau dalam penataan ruang.
Banjir bandang 28 November 2025 yang melanda Padang, Padang Pariaman, Agam, dan wilayah lainnya memperlihatkan bahwa bencana di Sumatera Barat bukan semata peristiwa alam, melainkan akumulasi kerusakan ekologis dan kelalaian kebijakan.
2. Tradisi Intelektual Organik dalam Kultur Minangkabau
Secara historis, Minangkabau memiliki tradisi intelektual organik yang kuat melalui figur:
Tuanku dan Syekh di surau,
Ninik mamak sebagai penjaga adat, Ulama dan cendekiawan sebagai pemimpin moral nagari.
Konsep “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menjadikan ilmu bukan sekadar pengetahuan, tetapi pedoman sosial dan etika kolektif. Dalam konteks ini, intelektual organik Minangkabau tidak hidup terpisah dari masyarakat, melainkan menyatu dalam struktur nagari dan surau.
Namun modernisasi, birokratisasi agama, dan depolitisasi adat menyebabkan peran ini melemah, sehingga pada saat bencana terjadi, masyarakat sering kehilangan figur rujukan moral dan intelektual.
3. Peran Konkret Intelektual Organik Saat dan Pasca Bencana
a. Meluruskan Narasi Teologis Bencana
Di banyak lokasi terdampak, bencana kerap dipahami secara fatalistik sebagai “takdir semata” tanpa refleksi struktural. Intelektual organik—khususnya ulama, akademisi lokal, dan tokoh adat—berperan meluruskan narasi ini dengan pendekatan nash dan rasionalitas ekologis.
Pendekatan yang digunakan antara lain:
Tafsir QS. Ar-Rūm: 41 tentang kerusakan akibat ulah manusia, konsep mīzān (keseimbangan) dalam QS. Ar-Rahman.
Intelektual organik yang berakar dari ilmuwan Islam, Tuanku dan cendikiawan muslim mesti aktif meluruskan narasi pasrah dan mengoper tanggung jawab pada aqidah. Masyarakat mesti diingatkan "sunnatullah" hukum Allah yang dititipkan pada alam, sebab bermula dari musabab. Hukum sebab akibat adalah sunnatullah. Izin Allah keluar terhadap bencana karena terpenuhi syarat yakni kedurhakaan pemimpinnya.
Kearifan lokal Minangkabau tentang larangan merusak alam (alam takambang jadi guru).
Narasi ini membantu masyarakat memahami bahwa bencana adalah peringatan kolektif, bukan hukuman individual.
b. Pendampingan Psikososial Berbasis Surau dan Nagari
Pasca bencana, trauma, kehilangan, dan disorientasi sosial sangat terasa, terutama pada kelompok rentan. Intelektual organik berperan menghidupkan kembali fungsi surau dan balai adat sebagai:
Ruang konseling kolektif,
Pusat distribusi informasi dan bantuan, tempat penguatan spiritual dan solidaritas.
Pendekatan ini terbukti lebih diterima masyarakat dibanding intervensi formal yang bersifat administratif dan teknokratis.
c. Kritik Struktural terhadap Kebijakan dan Tata Kelola
Intelektual organik di Sumatera Barat juga berperan sebagai penjaga nalar kritis publik, dengan:
Mengkritisi pembiaran tambang, sawit, dan pembukaan lahan di daerah hulu, Menyuarakan ketimpangan distribusi bantuan, Mendorong evaluasi tata ruang berbasis risiko bencana.
Peran ini seringkali tidak populer, namun krusial agar bencana tidak berulang.
d. Edukasi Mitigasi Berbasis Budaya Lokal
Pasca bencana, intelektual organik mendorong pendidikan mitigasi yang tidak semata teknis, tetapi kultural, seperti:
Menghidupkan kembali larangan adat membangun di alur sungai,
Pendidikan kebencanaan berbasis masjid dan pesantren, integrasi nilai agama, adat, dan sains dalam kurikulum informal nagari.
Pendekatan ini lebih berkelanjutan karena berakar pada identitas masyarakat sendiri.
4. Analisis: Intelektual Organik sebagai Faktor Resiliensi Sosial
Studi kasus Sumatera Barat menunjukkan bahwa keberadaan intelektual organik berkontribusi signifikan terhadap:
Ketahanan sosial (social resilience), Pemulihan psikologis kolektif, Penguatan solidaritas lintas kelompok, Kesadaran ekologis pasca bencana.
Sebaliknya, di wilayah yang miskin figur intelektual organik, pemulihan cenderung lambat, konflik sosial meningkat, dan ketergantungan bantuan berkepanjangan.
5. Implikasi Kebijakan dan Pendidikan
Pengalaman Sumatera Barat memberikan pelajaran bahwa:
1. Penanggulangan bencana harus melibatkan intelektual organik lokal.
2. Surau, pesantren, dan nagari perlu diposisikan sebagai simpul resiliensi.
3. Pendidikan kebencanaan harus berbasis budaya dan agama, bukan hanya teknokrasi.
Penegasan Sintesis
Dalam konteks Sumatera Barat, intelektual organik bukan aktor tambahan, melainkan pilar kebangkitan masyarakat pasca bencana. Mereka menjaga agar penderitaan tidak berakhir pada lupa, dan rekonstruksi tidak berhenti pada beton, tetapi berlanjut pada perubahan kesadaran dan keadilan ekologis.ds.13122025.
