![]() |
Oleh: Duski Samad
Refleksi ini hadir ketika mengikuti bacaan imam Shalat subuh Ahad, 14 Desember 2025. Surat al Fajar sepertinya berdialog langsung tentang bencana yang menimpa umat manusia, tak terkecuali di Sumatera akhir November 2025 ini.
Hati dan nurani tersentak betapa ayat-ayat al Qur'an yang memuat kisah umat masa lalu, terasa hadir hari ini yang kelak akan dicatat sejarah. Banjir di zaman Nabi Nuh as, Fir'aun karam di laut, bisa jadi itu Tsunami. Cuaca ekstrim, dan petir tidak jauh beda dengan kisah kaum Ad dan Tsamud. Gempa megatrust itu seperti kisah umat Nabi Luth.
Tenggelamnya Qarun di telan bumi juga terjadi di Palu beberapa waktu lalu. Belum lagi ayat Allah yang menjelaskan gunung dan hutan adalah pasak bumi. Ketika pasak dirusak, tentu bangunan roboh.
Ketika Air Datang Lebih Cepat dari Kesadaran
Dalam dua dekade terakhir, banjir telah menjadi bencana paling dominan di Pulau Sumatera. Hampir setiap musim hujan, wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan mengalami banjir dengan intensitas yang kian meningkat: rumah terendam, sawah rusak, infrastruktur lumpuh, dan korban jiwa berjatuhan. Fenomena ini tidak lagi dapat dipahami sebagai peristiwa alam yang netral.
Data kebencanaan menunjukkan bahwa mayoritas banjir di Sumatera bersifat berulang di lokasi yang sama, menandakan adanya masalah struktural: degradasi hutan, alih fungsi lahan, penyempitan daerah aliran sungai (DAS), serta lemahnya kepatuhan terhadap tata ruang berbasis ekologis. Dengan kata lain, air hanya menjalankan hukum alam; manusialah yang menyiapkan panggung bencana.
Dalam konteks inilah Surat Al-Fajr menjadi sangat relevan. Ia tidak berbicara tentang banjir secara eksplisit, tetapi berbicara tentang peradaban yang merusak keseimbangan, tentang kekuasaan yang pongah, dan tentang Tuhan yang tidak pernah lalai mengawasi kerusakan manusia.
Fajar sebagai Metafora Bencana: Kesadaran yang Terbit dari Genangan
Allah membuka Surat Al-Fajr dengan sumpah kosmik: “Demi fajar…” (QS. Al-Fajr: 1)
Dalam tafsir tematik, fajar bukan sekadar waktu, melainkan momen transisi dari gelap menuju terang. Dalam konteks banjir Sumatera, bencana justru sering menjadi “fajar kesadaran”—saat manusia dipaksa melihat akibat dari pilihan-pilihan ekologis yang keliru.
Secara empiris, sebagian besar wilayah banjir di Sumatera berada di:
kawasan hilir sungai yang hulunya mengalami deforestasi masif,
daerah dataran rendah yang berubah fungsi dari resapan menjadi permukiman dan perkebunan monokultur,
nagari dan desa yang secara adat dahulu dilarang didirikan rumah di sempadan sungai, tetapi kini diabaikan.
Banjir datang seperti fajar yang kasar: ia membangunkan manusia bukan dengan cahaya lembut, tetapi dengan air yang meluap.
“Fa Aktsarû Fîhâ Al-Fasâd”: Kerusakan yang Terlembagakan.
Surat Al-Fajr mengingatkan: “Lalu mereka banyak berbuat kerusakan di negeri itu.” (QS. Al-Fajr: 12)
Kata fasād dalam Al-Qur’an merujuk pada kerusakan yang melampaui kesalahan individual. Ia adalah kerusakan sistemik: kebijakan, ekonomi, dan budaya. Data empiris di Sumatera memperlihatkan bahwa banjir berkorelasi kuat dengan:
1. Penurunan tutupan hutan.
Beberapa provinsi Sumatera kehilangan ratusan ribu hektare hutan alam dalam 20 tahun terakhir, terutama akibat perkebunan skala besar dan pertambangan.
2. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Sungai-sungai besar seperti Batanghari, Musi, Kampar, dan batang-batang air di Sumatera Barat mengalami sedimentasi tinggi, penyempitan, dan pencemaran.
3. Alih fungsi lahan berbasis izin. Banyak wilayah rawan banjir justru memiliki kepadatan izin usaha yang tinggi—indikasi bahwa bencana bukan “takdir buta”, melainkan hasil keputusan manusia.
Inilah fasād yang dimaksud Al-Fajr: kerusakan yang dilegalkan, dinormalisasi, dan diwariskan.
Kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir‘aun: Cermin Peradaban Modern
Al-Fajr mengisahkan kehancuran peradaban besar:>“Yang belum pernah dibangun seperti itu di negeri-negeri lain.” (QS. Al-Fajr: 8)
Mereka bukan kaum primitif. Mereka kuat, maju, dan percaya diri—tetapi runtuh karena kesombongan ekologis dan sosial. Analogi ini relevan dengan Sumatera hari ini: kemajuan ekonomi sering dijadikan legitimasi untuk mengorbankan keseimbangan alam.
Empirisnya, korban banjir justru kelompok paling rentan: petani kecil, masyarakat pesisir sungai, perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sementara aktor kerusakan sering berada jauh dari genangan. Inilah ironi moral yang disorot Al-Fajr: yang berbuat, tidak selalu yang menanggung langsung—tetapi Tuhan tetap mengawasi.
“Inna Rabbaka Labil Mirshād”: Tuhan Tidak Lalai “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 14)
Ayat ini penting untuk meluruskan teologi bencana. Banjir bukan bukti Tuhan kejam, melainkan bukti bahwa hukum keadilan-Nya bekerja melalui sebab-akibat sosial dan ekologis.
Dalam banyak kasus banjir Sumatera: peringatan ilmiah sudah ada, kearifan adat sudah mengingatkan,
suara ulama dan tokoh lokal sudah disampaikan,
namun diabaikan oleh kepentingan jangka pendek. Maka banjir menjadi bahasa korektif ketika bahasa peringatan tak lagi didengar.
Banjir sebagai Musibah Penyadar, Bukan Azab Final
Al-Fajr mengkritik cara manusia membaca nikmat dan musibah (ayat 15–16). Kekayaan alam dianggap tanda kemuliaan, padahal ia adalah amanah yang diuji. Dalam kerangka teologi bencana, banjir Sumatera lebih tepat dipahami sebagai:
musibah edukatif (ta’dîbiyah), bukan azab pemusnah, dan bukan pula kebetulan alam. Ia menuntut pertobatan ekologis: perubahan cara berpikir, bukan sekadar pembangunan tanggul dan normalisasi sungai.
Menuju Nafs al-Muthmainnah: Rekonstruksi Peradaban Pasca Banjir. Surat Al-Fajr ditutup dengan visi agung: “Wahai jiwa yang tenang…” (QS. Al-Fajr: 27).
nafs al-muthmainnah bukan hanya kondisi spiritual individual, tetapi kondisi sosial-ekologis: ketika manusia, alam, dan kekuasaan berada dalam keseimbangan.
Dalam konteks Sumatera, ini berarti: pembangunan yang menghormati daya dukung alam, kebijakan yang adil bagi korban, penguatan kembali peran adat, surau, dan masjid sebagai pusat etika lingkungan.
Penutup
Banjir di Sumatera bukan hanya air yang meluap, tetapi nurani yang diuji. Surat Al-Fajr mengajarkan bahwa setiap bencana adalah fajar: apakah ia melahirkan kesadaran, atau sekadar berlalu sebagai luka yang akan terulang.
Jika teologi tidak mampu membaca air yang naik, maka agama kehilangan relevansinya.
Jika kebijakan tidak belajar dari Al-Fajr, maka banjir akan terus menjadi khotbah alam yang paling keras. Ds. 14122025.
