![]() |
مجلس الحديث النبويّ الشريف
MAJELIS KAJIAN HADITS BERSAMA ZULKIFLI ZAKARIA
DI RUMAH SAKIT TAMAR MEDICAL CENTRE (TMC)
Jl. Basuki Rahmat No.1 Pariaman
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Bahasan Hadits tentang Mengimani Azab Kubur
Rabu, 21 Jumadil Ula 1447 H / 12 November 2025 M
Teks Hadits:
2053 - أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، عَنْ لَيْثِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بَالُ الْمُؤْمِنِينَ يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ إِلَّا الشَّهِيدَ؟ قَالَ: «كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً»
Telah mengabarkan kepada kami Ibrāhīm bin Al-Ḥasan, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Ḥajjāj, dari Laits bin Sa‘d, dari Mu‘āwiyah bin Shāliḥ, bahwa Shafwān bin ‘Amr telah menceritakan kepadanya, dari Rāsyid bin Sa‘d, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, bahwa seorang lelaki berkata:
“Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang mukmin diuji (dengan fitnah) di dalam kubur mereka, kecuali orang yang mati syahid?”
Beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam menjawab:
«كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً»
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya menjadi ujian baginya.”
(HR. An-Nasā-ī, no. 2053)
Pelajaran dari Hadits ini:
Syarah dan Penjelasan
Fitnah kubur adalah pertanyaan dua malaikat, Munkar dan Nakīr, kepada setiap mayit: “Man Rabbuka? Mā Dīnunka? Wa mā taqūlu fī rajulilladzī bu‘itsa fīkum?”
Pertanyaan ini adalah ujian terakhir sebelum menuju kenikmatan atau azab barzakh. Orang beriman akan dimudahkan menjawab karena Allah meneguhkan hatinya.
Namun sebagian hamba Allah dikecualikan dari fitnah kubur, di antaranya orang yang mati syahid — sebagaimana dijelaskan dalam hadits ini.
Hikmah Dikecualikannya Syahid dari Fitnah Kubur
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam menjawab:
«كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً»
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya menjadi ujian baginya.”
Maksudnya: orang yang mati syahid telah melewati ujian paling berat di dunia — menghadapi maut di jalan Allah, dengan kesabaran dan keikhlasan penuh. Saat pedang musuh terhunus di depan kepalanya, hatinya tetap mantap kepada Allah dan ridha dengan takdir-Nya. Itulah fitnah terbesar yang telah ia menangkan. Maka Allah subhānahu wata‘āla tak lagi mengujinya di alam kubur.
Keistimewaan ini sejalan dengan ayat-ayat yang menegaskan kedudukan tinggi para syuhadā’ di sisi Allah subhānahu wata‘āla, sebagaimana firman-Nya:
{وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169)} [آل عمران: 169]
“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dan diberi rezeki.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan barzakh bagi para syuhadā’ berbeda dengan orang beriman lainnya. Mereka hidup dalam kenikmatan ruhani tanpa henti. Karena itu, mereka tidak lagi melewati fitnah kubur — sebab ruh mereka langsung berada dalam kemuliaan dan rezeki Allah.
Dalam ayat berikutnya Allah subhānahu wata‘āla menegaskan:
{فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170)} [آل عمران: 170]
“(Mereka, yaitu para syuhada,) bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang belum menyusul mereka dari belakang mereka (yaitu yang masih hidup di dunia), bahwa tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 170)
Gembira di sini bukan sekadar perasaan, tetapi tanda bahwa mereka telah selamat dari rasa takut dan kesempitan alam barzakh. Tidak ada fitnah, tidak ada tanya. Hanya ketenangan yang sempurna.
Dalam ayat lain Allah subhānahu wata‘āla berfirman:
{الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (20)} [التوبة: 20]
“Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, mereka itulah yang lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. At-Taubah [9]: 20)
Kata “a‘zhama darajah” menandakan bahwa derajat syahid adalah puncak kemuliaan setelah kenabian. Mereka memperoleh keamanan penuh dari fitnah dunia dan akhirat, termasuk fitnah kubur.
Simbolik “Barīq as-Suyūf”
Ungkapan بَارِقَةِ السُّيُوفِ (“kilatan pedang”) menggambarkan momen paling genting dalam jihad. Saat cahaya pedang berkilat di depan kepala, nyawa di ujung senjata, namun hati tetap tenang dan ikhlas karena Allah. Itulah ujian keimanan yang tak tertandingi. Bagi yang sabar di momen itu, fitnah kubur menjadi tidak perlu — karena barīq as-suyūf telah menjadi ujian final yang menyingkap kadar keimanan sejati.
Pelajaran Akidah dan Hikmah
1. Iman kepada fitnah dan azab kubur adalah bagian dari iman kepada yang ghaib. Ia wajib diyakini sebagaimana sabda Nabi dan dalil-dalil Al-Qur’an.
2. Syahid sejati hanya yang berjuang karena Allah.
3. Ujian dunia menjadi penebus fitnah akhirat. Semakin berat ujian yang dihadapi seorang mukmin dengan sabar dan ikhlas, semakin ringan hisab dan fitnahnya setelah mati.
4. Derajat syahid adalah cita-cita kaum beriman sejati. Bukan untuk mencari kematian, tapi untuk mencari keridaan Allah yang menjanjikan kehidupan abadi tanpa fitnah kubur.
Hadits ini, bila dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, menegaskan keistimewaan syuhadā’: Mereka hidup di sisi Allah, bergembira dengan karunia-Nya, dan bebas dari fitnah kubur. Sedangkan orang beriman lainnya masih diuji untuk mengokohkan iman mereka di alam barzakh, sesuai keadilan dan hikmah Allah subhānahu wata‘āla.
Wallāhu a’lam
