![]() |
| Surau Gadang Tanjung Medan, merupakan surau pertama dibangun Syekh Burhanuddin. Ini bangunan miniatur dari bangunan lama Surau Gadang itu. |
MU-ONLINE --- Khalifah memiliki dua makna, yakni pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW dan wakil Allah di muka bumi. Gelar khalifah diberikan kepada penerus nabi yang memimpin umat Islam dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan spritual. Maka di sini terkenal Khulafaur Rasyidin, yakni disandang oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan khalifah sebagai wakil Allah SWT di muka bumi, adalah menekankan peran manusia memakmurkan bumi, menjaga alam, menjadikannya sebagai sumber keberlangsungan manusia itu sendiri. Ini acuan utama dalam menghadirkan khalifah yang banyak di temukan di berbagai kelompok dan kesatuan masyarakat saat ini. Dari sini lahir inspirasi untuk melangsungkan kemajuan kelompok tertentu, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"." (QS. Al Baqarah: 30).
Salah satu hal yang tak habis-habisnya dibahas di setiap waktu adalah pembahasan tentang khalifah (pemimpin) dan khilafah (kepemimpinan). Khalifah dalam banyak tafsir tidak hanya mempunyai makna satu, pemimpin misalnya. Berbeda dengan penggunaan makna yang populer, yaitu pemimpin, makna khalifah menurut para mufasir lebih cenderung ke pengganti. Pengganti siapa? Ini juga masih beragam pendapat. Selain makna, para mufasir melanjutkan bahasan tentang tugas khalifah. Berikut penjelasan makna khalifah dan tugasnya.
Pengertian Khalifah
Pembahasan tentang makna khalifah dan tugasnya diawali penjelasan tentang pengertian khalifah. Kata khalifah dalam bahasa Arab berakar pada tiga huruf yaitu kha’-lam-fa’ yang arti katanya berkisar pada makna sesuatu yang berada di belakang dari sesuatu yang lain. Ia adalah lawan dari kata quddam yang berarti yang berada di depan. Sebutan ‘khalifah’ untuk Abu Bakar adalah karena beliau datang setelah Nabi dan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin. Sahabat berikutnya yang kemudian melengkapi empat pengganti nabi disebut khulafa’ rasyidun. Bentuk jamak dari khalifah adalah khalaif, sementara kata khulafa adalah bentuk jamak dari khalif.
Ta’ tanits pada kata “khalifah” dimaksudkan sebagai mubalaghah (menguatkan suatu makna) seperti kata ‘allamah yang artinya sangat alim. Kemudian kata jadian dari khalifah adalah khilafah yang menurut al-Asfahani dalam kitab Mufradat alfadhi al-Qur’an maknanya adalah sebagai berikut, arti khilafah adalah menggantikan orang lain, baik bersamaan atau datang setelahnya. Baik karena yang digantikan itu tidak ada karena meninggal atau tidak berdaya lagi ataupun juga karena tingginya derajat orang yang menggantikan.
Quraish Shihab menyebutkan tentang makna khalifah dalam konteks Al-Qur’an, ulama berbeda pendapat tentang maknanya. Pertama, ada pendapat bahwa manusia semenjak Nabi Adam menggantikan makhluk sebelumnya yaitu yang berjuluk al-Hinn dan al-Binn atau at-Thimm atau ar-Rimm. Kedua makhluk itu telah berbuat kerusakan di bumi, sehingga mereka diusir oleh Allah dan dibinasakan. Demikian papar Ibn Katsir dan Muhammad Abduh dalam tafsir mereka. Manusia adalah makhluk yang menggantikan mereka yang telah binasa itu.
Kedua, manusia dalam kiprahnya di dunia menggantikan manusia sebelumnya. Inilah yang bisa dipahami dari kata خَلَائِفُ الْأَرْضِ atau خَلَائِفٌ فِى الْأَرْضِ kita mengenal kaum-kaum terdahulu yang menghuni bumi seperti kaum Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan lain-lainnya. Mereka yang telah tiada digantikan oleh generasi setelahnya seperti tersurat dalam Q.S. Al-A’raf [7]:69.
Ketiga, menggantikan Allah dalam melaksanakan titah-Nya untuk sekalian makhluk-Nya. Manusia dijuluki “khalifatullah” atau pengganti Allah. Hal ini bisa tercermin dari firman Allah Q.S. Shaad [38]:26 yang berbunyi:
(يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً)
Hai dawud, aku telah jadikan kamu menjadi khalifah di bumi (syam)
Tugas Khalifah dan Petunjuk Kekhalifahan
Quraish Shihab, dalam bukunya ‘Khilafah’ menyebutkan bahwa pengangkatan Allah terhadap manusia sebagai khalifah adalah bentuk penghormatan Allah kepada manusia sekaligus menguji manusia. Penghormatan karena manusia dipilih oleh Allah diantara seluruh makhluk-Nya bahkan mengungguli malaikat untuk memimpin bumi, pengujian karena manusia punya kecenderungan membuat kerusakan di bumi.
Kedua hal di atas termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 30 tentang penunjukan manusia sebagai khalifah yang kemudian ditentang malaikat. Seperti dituturkan KH Akhsin Sakho Muhammad dalam bukunya ‘Keberkahan Al-Qur’an’, malaikat mempunyai alasan bahwa makhluk yang bernama manusia memiliki kecenderungan membikin kerusakan di bumi berdasarkan pengamatan mereka. Namun, lanjutnya, sebagaimana bunyi ayat tersebut, Allah sudah tentu lebih mengetahui terhadap kebijakannya. Allah tidak menyalahkan malaikat, karena Allah tidak menyangkal alasan mereka.
Quraish Shihab mengatakan bahwa tidak dijelaskan apa dan bagaimana tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tetapi, Allah mengatakan dalam beberapa ayat bahwa manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi. Dalam hal itu, Allah memberikan petunjuk (هُدًى) untuk manusia guna melaksanakan tugas kekhalifahannya yang pada kenyataannya tugas khalifah itu berkembang.
Petunjuk itu sendiri (هُدًى) ada 3 (tiga). Petunjuk tingkat pertama adalah naluri yang fungsinya menciptakan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan oleh tubuh. Petunjuk tingkat kedua, setingkat di atas naluri yaitu indra manusia yang mampu menjangkau apa yang ada di luar dirinya meskipun seringkali hasilnya bisa keliru, seperti bintang-bintang besar yang terlihat kecil oleh manusia. Dan petunjuk tingkat ketiga adalah akal. Potensi inilah yang meluruskan kesalahan panca indra. Akal mengatur informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan-yang bisa berbeda dengan hasil informasi indra.
Maka bisa dikatakan bahwa untuk melakukan tugasnya sebagai khalifah, manusia senantiasa membutuhkan petunjuk dari Allah agar dia selalu berada di jalan yang semestinya dan benar-benar menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.
Memakmurkan Bumi dan Membangun Peradaban
Thahir Ibn ‘Asyur, pakar Maqashid asy-Syari’ah dalam tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir menuturkan bahwa firman Allah surah al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan kebutuhan manusia untuk memilih pemimpin yang berfungsi mengurusi sengketa antar manusia, dan dijadikannya Nabi Adam sebagai khalifah Allah adalah menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.
Memakmurkan bumi sebagaimana dimaksud di atas sudah ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. Hud [11]:61 yang berbunyi:
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kamu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu memakmurkannya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi Maha Memperkenankan.
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim mengatakan bahwa kata وَاسْتَعْمَرَكُمْ artinya Allah menjadikan manusia sebagai orang-orang yang akan memakmurkan bumi. Lebih-lebih tambahan sin (س) dan ta’ (ت) yang menyertai kata ista’mara dalam bahasa arab memiliki arti perintah sehingga arti dari kata tersebut adalah bahwa Allah mewajibkan manusia untuk memakmurkan bumi.
Dengan kata lain, tugas memakmurkan bumi dari Allah untuk manusia adalah untuk membangun peradaban atau dalam bahasa arab disebut madani, apapun bentuk pemerintahannya. Sebab Islam tidak menentukan sistem pemerintahan apapun. Membangun peradaban artinya mengelola bumi supaya menjadi tempat yang bermanfaat untuk manusia dan seluruh semesta alam sebagaimana dikatakan bahwa Allah semata-mata mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat untuk semesta alam.
Islam sebagai agama yang penuh rahmat bagi semesta alam, melalui konsep khalifah yang prinsipnya adalah memakmurkan bumi dan membangun peradaban memiliki orientasi yang menekankan pada pemenuhan hak seluruh makhluk Allah dan mewujudkan kebijakan kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan, disamping manusia juga terus menerus menggali potensinya dalam mengelola dan memakmurkan bumi di manapun dan dalam bentuk negara apapun.
Syekh Burhanuddin, ulama terkenal pembawa Syattariyah ke Minangkabau juga memiliki khalifah. Ada sejumlah versi yang menyebutkan Khalifah Syekh Burhanuddin itu. Seperti di Surau Gadang Tanjung Medan, surau yang didirikan dulunya oleh Syekh Burhanuddin punya urutan Khalifah Syekh Burhanuddin. “Urutan Kekhalifahan Syekh Burhanuddin Surau Gadang Tanjung Medan”. Tulisan demikian sepertinya terpahat kuat di depan Surau Gadang Tanjung Medan. Tentu untuk sebuah keabadian. Seperti sebuah monumen, terbuat dari keramik dan diatap supaya tidak kena hujan dan panas. Mungkin karena sudah lama dibuat, tulisan nama-nama kekhalifahan dari tinta emas yang melekat di keramik itu mulai luntur. Tapi tulisannya masih sangat jelas dibaca.
Urutan kekhalifahan tersebut, adalah 1. Syekh Abdurrahman Ulakani, 2. Syekh Khairuddin Ulakani, 3. Syekh Jalaluddin Ulakani, 4. Syekh Idris Ulakani, 5. Syekh Abdul Muhsin Ulakani, 6. Syekh Abdul Hasan Ulakani, 7. Syekh Khaliddin Ulakani, 8. Syekh Hasrullah Ulakani, 9. Syekh Sulthanul Kusa'i Habibullah Ulakani, 10. Syekh Jakfar Thahir Ulakani, 11. Syekh Abdul Sani Ulakani, 12. Syekh Abdurrahman Tuanku Mudo Ulakani, 13. Syekh Bonta Tuanku Tuo Ulakani, 14. Syekh Luthan Tuanku Mudo Ulakani, 15. Syekh Syahril Luthan Tuanku Kuniang Ulakani.
Nama-nama demikian ditulis dengan bahasa Indonesia dan Arab. Semuanya berujung dengan Ulakani. Hanya saja khalifah satu sampai ke 11 tidak pakai gelar tuanku. Dari khalifah 12 hingga sekarang, 15 memakai gelar tuanku. Yakni Syekh Abdurrahman Tuanku Mudo, Syekh Bonta Tuanku Tuo, Syekh Luthan Tuanku Mudo, Syekh Syahril Luthan Tuanku Kuniang. Bisa jadi gelar tuanku itu masyhurnya sejak zaman Syekh Abdurrahman Tuanku Mudo. Sebelum dia, orang tamat mengaji tidak diberikan gelar tuanku. Semua khalifah itu dikukuhkan di Surau Gadang Tanjung Medan. Sejak dari khalifah pertama hingga khalifah ke 15 saat ini.
Surau Gadang merupakan surau pertama dan didirikan oleh Syekh Burhanuddin pada 1680 M. Di Surau Gadang ini dulunya Syekh Burhanuddin membina dan mendidik anak siak yang banyak. Terkenal saat itu, satu Surau Gadang dan di sekitar lokasi yang berada di Nagari Sandi Ulakan itu berjejer seratus surau. Disebut sebagai anak dari Surau Gadang Tanjung Medan. Surau keliling itu juga sebagai tempat asrama anak siak zaman saisuak, ketika Syekh Burhanuddin masih ada.
Di sisi lain, dalam selembar surat yang ditandatangani Kepala Depag Padang Pariaman, H. Baharuddin Musa tanggal 20 Mei 1983, dan sepertinya yang dipegang oleh Surau Pondok Ketek, urutan kekhalifahan itu dimulai dari, 1. Syekh Burhanuddin (1066 H – 1111 H), 2. Syekh Idris (1111 H-1126 H), 3. Syekh Abdul Rahman (1126 H-1137 H), 4. Syekh Chairuddin (1137 H-1146 H), 5. Syekh Jalaluddin (1146 H-1161 H), 6. Syekh Abdul Muchsin (1161 H-1180 H), 7. Syekh Abdul Hasan (1180 H-1194 H), 8. Syekh Chalaluddin 1194 H-1211 H), 9. Syekh Habibullah (1211 H-1231 H), 10 Sultan Khusa’i (1231 H-1248 H), 11. Syekh Djafarin (1248 H-1280 H), 12. Syekh Muhammad Sani (1280 H-1311 H), 13. Syekh Bosai (1311 H-1366 H), 14. Tuangku Barmawi (1366 H-, 15. Hery Firmansyah Tuanku Khalifah.
Kedua versi itu ada perbedaan. Di Surau Gadang Tanjung Medan, khalifah Syekh Burhanuddin yang pertama adalah Syekh Abdurrahman Ulakani. Sedangkan versi Surau Pondok Ketek, khalifah pertama itu Syekh Burhanuddin. Ini menjadi diskusi hangat dan mencerahkan yang sepertinya membutuhkan otoritas atau suatu lembaga yang bisa diterima kedua pihak, Surau Gadang Tanjung Medan dan Surau Pondok Ketek. Surau ini keduanya berada di Nagari Sandi Ulakan. Tapi keduanya, Surau Gadang dan Surau Pondok Ketek menyebut Khalifah Syekh Burhanuddin. Kalau demikian, tentu Syekh Burhanuddin tak masuk dalam hitungan khalifah. Sebab, khalifah adalah orang pengganti atau yang datang terkudian dari yang dikhalifahinya. Mungkin ini yang disebut sebagai cara pandang oleh kedua surau.
Kemudian tentang menempatkan Syekh Idris. Versi Surau Gadang Tanjung Medan, Syekh Idris adalah khalifah keempat. Sedangkan versi Surau Pondok Ketek, Syekh Idris adalah khalifah kedua. Selanjutnya, soal nama khalifah Syekh Abdurrahman. Versi Surau Gadang, nama Abdurrahman ini ada dua. Yakni khalifah pertama dan khalifah ke 12. Di Surau Gadang itu, Abdurrahman yang khalifah ke 12, adalah Abdurrahman Tuanku Mudo atau yang dikenal dengan Syekh Abdurrahman Tuanku Mudo. Sedangkan versi Surau Pondok Ketek, Abdurrahman hanya ada satu, yakni khalifah ketiga, yang ditulis namanya dengan Syekh Abdul Rahman. Dalam urutan khalifah itu, Surau Pondok Ketek tidak memasukan Syekh Bonta, Syekh Lutan dan Syekh Syahril Luthan sebagai khalifah. Sementara di Surau Gadang Tanjung Medan, beliau itu masuk sebagai khalifah Syekh Burhanuddin.
Syekh Abdurrahman Tuanku Mudo
Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi adalah seorang ulama kharismatik dan berpengaruh di Minangkabau, Sumatra Barat, pada abad ke-19. Beliau lahir pada tahun 1827 M di Nagari Padang Bintungan, Kabupaten Padang Pariaman. Syekh Abdurrahman merupakan keturunan ulama dan memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat. Ia belajar agama dari ayahnya sendiri, Syekh Ibnu Muttaqin, dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Surau Ulakan di bawah bimbingan Syekh Ja'far Thahir dan Syekh Sultan Qusa'i Habibullah. Beliau tercatat sebagai Khalifah Syekh Burhanuddin yang ke 12.
Pencapaian dan Warisan
Mendirikan Surau Bintungan Tinggi pada tahun 1864, yang menjadi pusat pendidikan Islam terkemuka di Padang Pariaman dan salah satu lembaga pendidikan Islam penting di Minangkabau. Menghasilkan banyak murid yang kemudian menjadi ulama dan tokoh agama, dengan jumlah murid yang diperkirakan mencapai seribu orang. Menulis dan memiliki koleksi naskah-naskah kuno yang berharga, termasuk naskah tentang tafsir Al-Quran, fikih, nahwu, sharaf, dan tasawuf. Mengembangkan tarekat dan pendidikan Islam di Minangkabau, serta berperan dalam penyebaran Islam di daerah tersebut.
Kiprah dan Pengaruh
Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi dikenal sebagai ulama yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam dalam berbagai bidang ilmu agama. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang berperan penting dalam pengembangan pendidikan Islam di Minangkabau. Setelah wafat pada tahun 1923, kepemimpinan Surau Bintungan Tinggi diteruskan oleh khalifah-khalifahnya.
Syekh Bonta
Menurut sejarahnya dari beberapa sumber, Syekh Bonta, Syekh Harun, dan Syekh Bosai adalah orang beradik kakak seayah lain ibu. Ketiga orang ini ayahnya Syekh Abdul Sani. Anak yang tiga ini diserahkan ke Syekh Abdurrahman. "Didiklah anak yang bertiga ini, tapi yang akan jadi khalifah adalah Syekh Bonta," begitu kira-kira Syekh Abdul Sani berunding dengan Syekh Abdurrahman yang sedang mengajar di Surau Gadang Tanjung Medan.
Ketiga anak ini, Syekh Bonta, Syekh Harun dan Syekh Bosai sepermainan semasa mengajinya di Surau Gadang. Umurnya beda tipis, tapi ke Syekh Bonta yang berdua ini tetap memanggil Udo. Artinya, Syekh Bonta yang paling tua diantara yang tiga itu. Kelak, ketiganya jadi ulama hebat dan pintar, punya kharisma tersendiri. Syekh Bonta, setelah mengaji keluar lalu mengajar dan menjadikan Surau Gadang Tanjung Medan sebagai pesantren besar. Dari Syekh Bonta ini, banyak anak siak yang jadi ulama besar, punya pengaruh yang amat sangat luar biasa di tempatnya masing-masing. Jaringan ke bawah dari Syekh Bonta ini, ternyata banyak kalau kita jejaki dengan sungguh-sungguh.
Menurut Tuanku Muslim, salah seorang cucu Syekh Bonta, beliau terkenal punya wibawa dan kharisma tersendiri. "Pas sehabis Magrib, air Sungai Batang Ulakan ini membesar. Mungkin hujan lebat di hulunya, sehingga di bagian hilir kebanjiran. Air meluap sampai ke bibir Surau Gadang. Anak siak panik. Syekh Bonta turun dari surau, dia ambil sebuah batu lalu dilemparkan ke arah air. Tempat tiba lemparan batu itu, ke situ pula surutnya air sungai yang tadinya meluap," cerita Tuanku Muslim.
Pasca kejadian itu, air Sungai Batang Ulakan yang melewati depan Surau Gadang tak pernah lagi meluap dan membesar. Sampai berakhirnya tugas Syekh Bonta di Surau Gadang, air sungai seolah-olah takut untuk menghampiri Surau Gadang yang sedang ditunggui Syekh Bonta. Baru belakangan ini, air sungai itu sering meluap dan selalu melanyau halaman Surau Gadang.
Dari kecil, di usia remaja Syekh Bonta sudah diberikan kitab tahqik oleh ayahnya, Syekh Abdul Sani. Sementara saudaranya yang dua lagi, Syekh Harun dan Syekh Bosai tak dikasih kitab itu oleh Abdul Sani. Kenapa tak diberi? Inilah rahasia pandangan batin seorang Syekh Abdul Sani. Dia melihat, Syekh Bonta yang punya kemampuan untuk menjalankan fungsi kekhalifahan nantinya. Dan kitab tahqik itu ketika diterima Syekh Bonta, dua saudaranya itu pada berebut minta ke Syekh Bonta.
"Awak yang pegang kitab itu, Udo," ujar Syekh Bosai ketika minta kitab itu ke Syekh Bonta.
"Awak nio pula menyimpan kitab itu, Udo," timpal Syekh Harun pula ke Syekh Bonta.
Syekh Bonta menjawab, "ndak bisa dan tak boleh. Ini kitab dikasihkan Buya ke Udo," jawab Syekh Bonta. Saking pentingnya kitab tahqik itu, sampai mereka bertiga kejar-kejaran di bawah Surau Gadang Tanjung Medan itu. Syekh Bonta lari, dua saudaranya, Syekh Bosai dan Syekh Harun mengejar. Lama mengejar tak dapat juga. Syekh Bonta lihai berlari, kencang dan cigin berbelok dan mengelilingi tonggak Surau Gadang yang banyak itu. Mungkin terasa penat berlari mengejar, rupanya Syekh Bonta menghilang di salah satu tonggak Surau Gadang Tanjung Medan itu.
Oleh Syekh Harun dan Syekh Bosai, setiap tonggak diperiksa, tapi kakaknya tak ada. Ya, mereka berdua keluar dari bawah surau itu, dan melapor ke buyanya, Syekh Abdul Sani, kalau kakaknya Syekh Bonta tak bersua. Dia menghilang, ketika main kejar-kejaran memperebutkan kitab tahqik.
Syekh Bonta hilang di tonggak tua. Tonggak pertama dipancangkan saat Surau Gadang akan didirikan. Tonggak itu masih ada sampai sekarang. Kayunya rancak dan keras. Dicoba memasang paku di tonggak itu, saking kerasnya kayu, paku labang itu bengkok kena tokok palu.
Mendengar laporan itu, Syekh Abdul Sani senyum saja. Tak ada rasa kaget dan terkejut mendengar laporan dari anaknya itu. Kitab tahqik itu adalah warisan Syekh Burhanuddin yang didapatkan oleh Syekh Abdul Sani dari khalifah sebelum dia.
Syekh Bosai
Versi Surau Pondok Ketek, Syekh Bosai adalah Khalifah Syekh Burhanuddin ke 13. Dia khalifah setelah Syekh Abdul Sani. Tapi, dalam urutan kekhalifahan Surau Gadang Tanjung Medan, Syekh Bosai tidak masuk dalam urutan Khalifah Syekh Burhanuddin. Tapi, seperti yang disebutkan di atas, Syekh Bosai, Syekh Bonta dan Syekh Harun adalah anak kandung Syekh Abdul Sani. Dia ulama yang juga mengajar di Surau Gadang Tanjung Medan.
Syekh Harun
Syekh Harun setelah mengaji di Surau Gadang dan di sejumlah tempat di Minangkabau, pulang kampung dan mengajar di Surau Balenggek Balah Hilia Lubuk Alung. Surau Balenggek lama menapaki masa kejayaannya dalam pimpinan Syekh Harun ini. Banyak anak siak mengaji di sini, ujungnya jadi pegawai negeri di lingkungan Kementerian Agama, yang dulu itu disebut Departemen Agama atau Depag. Syekh Harun terkenal mahir ilmu fiqh dan tarekat. Di Surau Balenggek ini pula hadir sekolah persiapan IAIN. Banyak ulama tamatan Surau Balenggek ini, meneruskan profesinya di Pengadilan Agama, jadi guru agama di sekolah.
Syekh Harun, meski tidak tercatat sebagai Khalifah Syekh Burhanuddin, baik versi Surau Gadang Tanjung Medan, maupun versi Surau Pondok Ketek, namanya tetap melambung tinggi. Surau Balenggek dan Syekh Harun jadi sebutan banyak orang. Sepeninggal Syekh Harun, Surau Balenggek dilanjutkan kepemimpinannya oleh Syekh Yusuf, kader Syekh Harun sendiri.
Surau Balenggek di Balah Hilia, adalah sama kedudukannya dengan Surau Gadang di Koto Buruak, Singguliang dan Sungai Abang. Cuma bedanya, di Surau Balenggek tempat mencetak ulama dan intelektual Islam dulunya. Sedangkan di Surau Gadang hal itu tidak ada. Sangat banyak ulama Padang Pariaman yang lahir di Surau Balenggek itu. Mereka belajar agama langsung dengan ulama besar, Buya H. Yusuf namanya. Bahkan, berdirinya MAN Lubuk Alung, yang kini MAN I Padang Pariaman bermula dari Surau Balenggek demikian. Di Surau Balenggek itulah dimulainya sekolah “Persiapan IAIN”, yakni MAN sekarang.
Menurut sejarahnya, Surau Balenggek didirikan tak lama setelah berdirinya Masjid Raya Ampek Lingkuang. Artinya, Surau Balenggek sudah ada paling tidak sejak ratusan tahun yang silam. Ikut mewarnai percaturan dunia Islam di zamannya. Buya H. Yusuf dikenal dengan ulama ahli Tarekat Syattariyah. Beliau bekerja di Mahkamah Syariah (sekarang Pengadilan Agama). Tak heran, asuhan Buya H. Yusuf ini banyak yang jadi pegawai negeri sipil di zamannya.
Buya H. Yusuf adalah orang Ulakan. Lahir pada tahun 1887. Besar dan mengaji di Ulakan. Wafat dan dimakamkan di Surau Balenggek pada tahun 1975, beliau Buya Yusuf se zaman dengan Tuanku Shaliah Kiramaik. Santrinya banyak berdatangan dari berbagai daerah dan wilayah di Padang Pariaman. Di samping diajarkan berbagai kitab kuning, dari berbagai bidang studi, seperti fiqh, tafsir, nahwu, sharaf dan lainnya, para santri Surau Balenggek juga dimatangkan dengan kajian tasawuf, yang dikenal dengan Tarekat Syattariyah.
Ketua KAN Lubuk Alung, Suharman Datuak Pado Basa melihat fungsi Surau Balenggek sangat besar di zaman saisuak. Dinamakan Surau Balenggek, karena surau itu bertingkat dua. Lantai satu untuk shalat berjamaah, dan lantai atas untuk mengaji kitab gundul dan tarekat. "Boleh dikatakan ratusan ulama yang lahir di surau itu. Buya H. Yusuf sendiri sudah merasa orang Lubuk Alung. Sejak dia memulai mengajar, hingga wafat dan dimakamkan di komplek Surau Balenggek itu sendiri," kata dia.
"Hingga kini, Surau Balenggek telah berkali-kali mengalami renovasi. Namun, kondisi pembangunan surau tidak pernah berubah dari berlantai dua. Semua orang tahu, kalau pengaruh Surau Balenggek, Balah Hilia Lubuk Alung sejak dulunya sangat besar. Tetapi, sepeninggal Buya H. Yusuf, nama besar Surau Balenggek pun mulai berkurang. Khalifah Buya H. Yusuf ada. Sebut saja Tuanku Syukur, orang Sungai Asam. Setelah Tuanku Syukur wafat dan dimakamkan di kampungnya, Sungai Asam, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung, Surau Balenggek dikendalikan oleh khalifah berikutnya, Tuanku Malin," kata Datuak Pado Basa.
Setahunya, Tuanku Malin putra Lubuk Alung asli, dan sempat lama mengembangkan kajian tarekat yang dia dapatkan di Surau Balenggek tersebut, dan akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di komplek surau itu. Selanjutnya, Tuanku Bonjo. Orang Sungai Limau yang pernah jadi santri Buya H. Yusuf. Tuanku Bonjo sempat kawin dengan orang Lubuk Alung. Tak lama mengembangkan ilmu di Surau Balenggek, akhirnya beliau wafat dan dimakamkan juga di komplek makam Surau Balenggek.
Kini, Surau Balenggek dikendalikan oleh Tuanku Syamsu, orang Pauah, Sicincin yang punya hubungan guru dan murid juga dengan Buya H. Yusuf itu sendiri. Dari sekian banyak khalifah yang mengembangkan ilmunya di Surau Balenggek hingga saat itu, dinilai tak lagi membawa kebesaran nama Surau Balenggek yang dikenal gadang dan hebat pada zaman dulu. Sebab, disamping adanya perbedaan dalam pengembangan kajian, juga pengaruh kebesaran seorang ulama zaman dulu yang tak bisa diturunkan kepada santri atau muridnya.
Menurut Datuak Pado Basa, saat ini Surau Balenggek hanya berfungsi sebagai tempat anak-anak mengaji Quran, dan menjelang serta selama bulan puasa dilakukan acara ritual sembahyang 40 hari. Disamping juga ada acara ritual mingguan, seperti wirid pengajian, dan peringatan hari besar Islam. Kajian kitab kuning tak ada lagi. Pendalaman kajian thariqat mungkin sudah terbatas, dan tak sehebat dulu lagi.
"Kita sangat merindukan peran Surau Balenggek seperti dulu. Waktu dulu orang belum seberapa. Tetapi mampu mengisi kekosongan yang terjadi dalam membangun dunia intelektual Islam. Sekarang malah sebaliknya. Orang semakin banyak. Pertumbuhan penduduk semakin kencang, namun pengaruh ulama semakin redup pula. Agaknya ini perlu jadi kajian tersendiri oleh seluruh pihak dalam Nagari Lubuk Alung. Kini, Surau Balenggek sudah ditinggalkan banyak orang. Bahkan, letaknya saja membuat kita ngeri. Lihatlah, bila musim kemarau, debu memenuhi surau, yang membuat surau kumal dan kotor. Kalau musim hujan, lumpur sampai ke halaman surau, karena letak surau yang berpas-pasan dengan pintu keluar masuk mobil pengangkut galian C," ujarnya.
Adimas Tanjung, tokoh masyarakat Balah Hilia Lubuk Alung yang pernah 17 tahun jadi Ketua Surau Balenggek menyebutkan, Surau Balenggek di samping berlantai dua, yang mencetuskan pembangunan surau ini juga bernama Lenggek. “Sewaktu Buya Yusuf, Surau Balenggek memang semarak luar biasa. Pengembangan pendidikan semua lapisan masyarakat, kajian anak siak tetap, wirid mingguan menjadi pemicu Surau Balenggek ternama dan disebut banyak orang,” kata Adimas Tanjung.
“Wirid setiap Senin malam dulu itu jadi primadona. Jemaah pada umumnya datang dari darek, Padang Panjang dan Tanah Datar. Sambil mengikuti wirid, jemaah ini sebagiannya bermalam di Surau Balenggek, karena besoknya, Selasa langsung jualan di Pasar Lubuk Alung,” ulas Adimas.
Buya Yusuf orang Ulakan, tetapi sudah merasa orang Lubuk Alung. Itu yang ditanggap masyarakat dulunya. Istrinya orang Pakandangan. Kakinya kecil sebelah, sehingga dalam berjalan tampak dia seperti orang yang pincang. Olehnya istrinya, anak-anak kampung, terutama yang perempuan dididik di Sekolah Keputrian (SKP). Sekolah ini dinilai hebat dulunya. Masyarakat perempuan Lubuk Alung dan sekitarnya banyak yang belajar di SKP itu bersama istri Buya Yusuf.
Di samping itu, Buya Yusuf juga sering mendatangi jemaah. Dia sering memberikan pengaji ke darek. Punya jadwal tertentu dan khusus tentunya. Bisa dikatakan, kian banyak jemaah yang berwirid di Surau Balenggek, dan kian sering pula Buya Yusuf ini keluar mendatangi jemaah. Namun, wirid atau pengajian untuk yang tua-tua setiap Senin malam, tak pernah absen.
Pergerakan NU
Sering didatangi oleh ulama, terutama yang seangkatan dengan beliau Buya Yusuf ini, maka pergerakan secara struktural, Buya Yusuf terkenal sebagai salah satu penggerak Nahdlatul Ulama. “Saya mulai jadi pengurus itu sejak 1950 an, hingga 17 tahun berikutnya. Sering saya ikut dan tahu ada pergerakan NU. Tapi apakah NU kabupaten atau kecamatannya saya tak banyak tahu soal itu,” sebut Adimas Tanjung.
Mungkin lewat pergerakan ini pula, kalau hasil asuhan Buya Yusuf banyak yang berkarir di pegawai, jadi guru, dan bahkan ada yang jadi politisi. Sepertinya, Buya Yusuf, tokoh ulama yang malin fiqh, tasawuf, nahwu, sharaf dan kajian lainnya. “Disebut demikian, Surau Balenggek sering dijadikan sebagai tempat halaqah. Tempat melahirkan pemikiran yang bernas, memutuskan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang sedang berkembang dengan landasan yang dicari dalam kitab yang ditulis oleh ulama zaman dulu,” kata Adimas Tanjung.
Syekh Luttan Ulakani
Surau Gadang Tanjung Medan, merupakan surau bersejarah dan peninggalan langsung Syekh Burhanuddin. Di surau itu pula komplek Pesantren Luhur Syekh Burhanuddin, yang mengembangkan pendidikan surau sejak dari beliau hingga saat ini. Zaman Syekh Burhanuddin, bejibun banyaknya anak siak mengaji di situ. Bahkan, saat Surau Gadang dipimpin dan diasuh oleh Syekh Bonta, Surau Gadang masih memiliki nama yang keren.
Syekh Bonta merupakan Khalifah ke 13 setelah Syekh Burhanuddin. Peran Surau Gadang Tanjung Medan di tangan Syekh Bonta, cukup terbilang hebat. Dari ulama ini, lahir ulama dan pemimpin umat yang hebat-hebat pula.
Syekh Bonta terkenal alim dan malin. Mahir dengan fiqih, familiar dengan tasawuf. Kajian Tarekat Syattariyah-nya, seperti berbanding lurus dengan Syekh Burhanuddin, sang ulama hebat yang membawa langsung kajian itu dari Tanah Rencong, Aceh.
Tiga Sekawan
Luttan Ulakani Tuanku Mudo, Syekh Musa Tapakis dan Tuanku Kadhi Yusuf, adalah orang sekawan sepermainan sejak usia kecil. Tapi Luttan adalah putra dari Syekh Bonta. Anak biologis. Sementara, Syekh Musa Tapakis dan Tuanku Kadhi Yusuf adalah anak rohani Syekh Bonta.
Oleh Syekh Bonta, ketiga orang ini diberlakukan sama. Antara anak biologis dengan anak rohani, disamakan. Surau Gadang Tanjung Medan sedang menapaki masa kejayaan. Dari mana-mana orang datang ke situ, mengaji dengan Syekh Bonta, Khalifah Syekh Burhanuddin. Luttan Ulakani, Syekh Musa dan Tuanku Kadhi Yusuf mulai merasakan kehadiran ilmu dalam dirinya. Dari mengaji dasar hingga menengah, terasa olehnya ingin pindah dari kampung, Tanjung Medan untuk keluar. Menambah ilmu, memperdalam kaji.
Sepertinya, tiga sekawan ini merasakan tak ada benih yang besar di persemaian. Benih ingin jadi padi yang berbuah lebat, harus diasak dari persemaian. Ketiganya menghadap dan menemui Syekh Bonta, bicara baik-baik, mengemukakan keinginannya untuk pindah mengaji.
Luttan Ulakani pindah ke Sampan, mengaji dengan Syekh H. Ungku Sidi Talua, Tuanku Kadhi Yusuf pindah ke Ujung Gunung, melanjutkan mengaji dengan Syekh Ungku Panjang, dan Syekh Musa Tapakis pindah ke Sasak, Pasaman Barat, mengaji dengan Syekh Muhammad Yunus.
Sampan. Surau Anjung tempat Syekh Ungku Sidi Talua mengajar. Terletak di Toboh Mandailing, berdekatan dengan Sampan. Sementara, rumah kediaman Ungku Sidi Talua ini di Sampan itu. Tapi sampai sekarang kalau menyebutkan Ungku Sidi Talua, tetap saja nama Sampan yang mengemuka.
Ungku Sidi Talua adalah ulama terkenal hebat, alim dan malin. Beliau asuhan dari Syekh Muhammad Yatim Mudiak Padang atau Ungku Ampalu. Di Sampan ini banyak pula orang mengaji yang kemudian menjadi ulama hebat tiba di kampung.
Salah satu ulama hebat yang lahir dan pernah mengaji di situ, tersebutlah nama Luttan Ulakani ini. Anak kandung dari Syekh Bonta, Khalifah Syekh Burhanuddin. Dari mengaji dengan Ungku Sidi Talua ini, Luttan Ulakani pindah pula mengaji ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dengan Syekh Aluma.
Luttan Ulakani Tuanku Mudo, ibunya Sitti Ulud, asli Singguliang Lubuk Alung. Lahir 1913 wafat 1976. Dari Koto Tuo, beliau pulang kampung, kembali ke Tanjung Medan. Surau Gadang, tempat ayahnya, Syekh Bonta mengajar. Syekh Bonta juga lazim di tengah masyarakat Tanjung Medan: Ungku Tuo dan anaknya, Luttan Ulakani Tuanku Mudo.
40 tahun lamanya Luttan Ulakani ini mengabdi, mengajar dan menjalankan fungsi kekhalifahannya di Tanjung Medan, Surau Gadang. Yakni dari tahun 1936 hingga 1976. Rentang waktu 40 tahun itu, Tanjung Medan boleh dibilang "kampung santri". Dari berbagai pelosok anak siak mengaji. Ratusan banyaknya, membuat Surau Gadang tak pernah sepi dari anak siak.
Masyarakat datang berziarah juga banyak ke situ. Luttan Ulakani Tuanku Mudo adalah Khalifah ke 14 Syekh Burhanuddin. Lazim pula saat masyarakat Basapa ke Ulakan, mengambil kaji dan berbaiat dengan Luttan Ulakani ini. Tepatnya saat Basapa Ketek. Subuh Kamis, usai Basapa Ketek itu, adalah wirid silaturahmi, pertemuan seluruh anak cucu dari Syekh Bonta. Sampai sekarang, wirid itu terus berjalan, sesuai waktu dan ketentuan.
Keluarga
Luttan Ulakani Tuanku Mudo adalah Khalifah ke 14 setelah Syekh Burhanuddin. Beliau anak dari Syekh Bonta, dari istrinya Sitti Ulud asal Singguliang Lubuk Alung. Lebih kurang 40 tahun memimpin Surau Gadang Tanjung Medan, sekaligus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai Khalifah Syekh Burhanuddin, yakni melayani masyarakat, memberikan ijazah Tarekat Syattariyah, ketika masyarakat mendatanginya.
Sampai akhir hayatnya, Luttan Ulakani memiliki 19 istri dan 29 anak. Istrinya ada di Tampuniak, Singguliang Lubuk Alung, Pasie Laweh Lubuk Alung, Pasa Usang, Parit Malintang, Binuang, Pauh Kambar, Pungguang Ladiang, Sungai Ibua, Sungai Gimba, Gunuang Basi, Gadua, Kampung Rimbo, Lantak Mingkudu, Tanjung Medan, Koto Panjang.
Sementara, pasca wafatnya Luttan Ulakani, maka kekhalifahan diberikan ke anaknya, Syahril Luttan Tuanku Kuniang. Bermula dari pesan Luttan Ulakani saat sakit-sakitan ke Tuanku Mudo Josan soal yang akan menggantikannya.
Setelah menujuh hari, datanglah Tuanku Mudo Josan ke Syahril Luttan Tuanku Kuniang, langsung membicarakan kelanjutan Khalifah. Maka diputuskan, bahwa Khalifah ke 15 setelah Syekh Burhanuddin, diberikan kepada Syahril Luttan Tuanku Kuniang.
Referensi:
Al-Quran
Wawancara dengan H. Syahril Luttan Tuanku Kuniang, Rabu 27 Agustus 2025 di Gunuang Basi, Pauh Kambar, Kecamatan Nan Sabaris.
Wawancara dengan Amsaidi Luttan Tuanku Khalifah dan Ismail, Rabu 27 Agustus 2025 di Gunuang Basi, Ahad 7 September 2025.
4. Wawancara dengan Tuanku Muslim Juni 2025 di Yayasan Syekh Bonta, Tanjung Medan.
5. https://tafsiralquran.id/makna-khalifah-dan-tugasnya-menurut-para-mufasir/
6. https://www.mu
-online1.com/2025/09/luttan-ulakani-tuanku-mudo-1913-1976.html
