![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua YIC Syekh Burhanuddin
Perguruan Tinggi Swasta Islam (PTSI) menghadapi tantangan besar dalam lanskap pendidikan tinggi akibat meningkatnya kompetisi, perubahan preferensi mahasiswa, dan cepatnya transformasi digital. Di sisi lain, PTSI memiliki fleksibilitas institusional yang memungkinkan inovasi lebih cepat dibanding Perguruan Tinggi Negeri (PTN), khususnya Universitas Islam Negeri (UIN). Artikel ini menganalisis peluang strategis yang dapat dimanfaatkan PTS Islam untuk bertahan dan tumbuh secara berkelanjutan melalui pendekatan niche academic positioning, penguatan keterampilan praktis, revitalisasi identitas keislaman, serta kolaborasi dengan ekosistem umat. Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritik pendidikan tinggi kontemporer dan praktik manajemen pendidikan berbasis pasar (marketization of higher education). Temuan menunjukkan bahwa PTSI dapat menawarkan nilai lebih melalui fleksibilitas kurikulum, pembinaan karakter yang lebih kuat, layanan akademik unggul, dan integrasi ekosistem Islam lokal sebagai keunggulan kompetitif.
Pendahuluan
Transformasi pendidikan tinggi saat ini ditandai oleh tiga fenomena utama:
1. kompetisi terbuka antar perguruan tinggi,
2. pergeseran orientasi mahasiswa dari degree-based ke skills-based, dan
3. meningkatnya pengaruh digitalisasi dalam proses pembelajaran.
PTN, termasuk UIN, memiliki keunggulan struktural berupa pendanaan, fasilitas, dan brand yang kuat. Namun demikian, birokrasi yang rigid membatasi kemampuan adaptasi cepat terhadap kebutuhan pasar dan perkembangan industri. Di sinilah ruang strategis PTS Islam: fleksibilitas tata kelola, kemampuan inovasi kurikulum, serta kedekatan dengan masyarakat menjadi keunggulan kompetitif.
Artikel ini mengeksplorasi delapan strategi kunci yang dapat ditempuh PTS Islam untuk mempertahankan keberlanjutan dan menciptakan pertumbuhan baru di era pendidikan tinggi yang semakin dinamis.
1. Memanfaatkan Niche yang Tidak Digarap oleh UIN atau PTN
Literatur tentang niche strategy dalam pendidikan tinggi (Marginson, 2016) menunjukkan bahwa institusi kecil bertahan ketika mereka mengambil area keilmuan atau layanan yang belum dikuasai pemain besar.
UIN umumnya fokus pada:
integrasi agama–sains,
riset akademik,
moderasi beragama.
Sebaliknya, PTSI dapat masuk pada domain yang lebih terapan dan praktis, seperti:
ekonomi syariah terapan (microfinance, fintech syariah, zakat management),
wirausaha dan bisnis Islam berbasis praktik,
program kesehatan berbasis etika Islam (keperawatan/kebidanan jika izin tersedia),
Islamic EdTech dan pelatihan guru digital,
psikologi dan konseling Islam terapan.
Fleksibilitas PTSI memungkinkan mereka bergerak cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang spesifik.
2. Menjadi Kampus “Skills-Based Islamic Higher Education”
Konsep marketization of higher education (Brown & Carasso, 2013) menekankan bahwa mahasiswa kini memilih perguruan tinggi berdasarkan keterampilan yang ditawarkan, bukan sekadar gelar.
PTSI memiliki peluang untuk menjadi pionir kampus berbasis skill melalui:
integrasi micro-credential (Google, Microsoft, Coursera) ke dalam kurikulum;
program sertifikasi wajib (halal auditor, penyuluh agama, digital marketing, microfinance syariah);
kemitraan dengan UMKM, BAZNAS, koperasi syariah, startup Islami;
model pembelajaran proyek (project-based learning) yang langsung aplikatif.
Kurikulum yang responsif dan adaptif menjadi nilai diferensiasi utama PTSI.
3. Penguatan Identitas: Kampus dengan Lingkungan “Islamic Practice Campus”
Dalam konteks global yang semakin sekuler, literatur pendidikan Islam menyebutkan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap lembaga pendidikan yang menjamin pembinaan akhlak dan lingkungan religius yang kondusif (Hefner, 2020).
Keunggulan PTSI:
suasana kekeluargaan,
mentoring keagamaan yang intensif, kontrol lingkungan moral yang lebih mudah dilakukan, relasi dosen–mahasiswa yang dekat.
Sebaliknya, kampus besar seperti UIN cenderung berorientasi modern sehingga kedalaman pembinaan karakter lebih sulit dilakukan.
4. Fokus pada Service Excellence
Konsep student experience menjadi faktor utama dalam memilih perguruan tinggi (OECD, 2022). PTSI memiliki keunggulan dalam memberikan layanan personal dan cepat:
administrasi responsif,
dosen mudah diakses,
kelas kecil dan efektif,
pendampingan akademik yang lebih intens.
Model “kampus sebagai layanan” (campus as service ecosystem) adalah faktor survival paling menentukan bagi PTS.
5. Mengembangkan Model Hybrid Campus yang Adaptif
Digitalisasi memperluas jangkauan pasar pendidikan. PTSI lebih fleksibel membuka:
kuliah hybrid, kelas malam/weekend untuk pekerja,
pembelajaran jarak jauh terakreditasi (PJJ),
program short-course atau pelatihan daring.
Berbeda dengan PTN yang terikat regulasi birokrasi, PTSI dapat mempercepat adopsi model pembelajaran baru.
6. Academic Repositioning: Rekonstruksi Prodi Keagamaan
Transformasi akademik diperlukan agar prodi keagamaan tetap relevan. PTSI harus bergerak ke arah orientasi praktik dan profesi.
Contoh rekonstruksi kurikulum:
PAI → PAI Digital / Islamic Media Literacy
HES → Islamic Compliance & Halal Auditor
KPI → Islamic Content Creator & Digital Da’wah
Manajemen Dakwah → Islamic Social Entrepreneurship
Ini sejalan dengan kebutuhan generasi Z yang memilih program studi berdasarkan peluang karier, bukan sekadar simbol religius.
7. Kolaborasi dengan Ekosistem Islam di Sumatera Barat
Sumatera Barat memiliki modal sosial dan religius yang kaya:
pesantren, rumah tahfiz, ormas Islam, BAZNAS, koperasi syariah, dan wisata religi.
PTSI dapat menjadi institusi yang “tenggelam di tengah ekosistem umat” melalui:
magang wajib di masjid, BAZNAS, pesantren, UMKM, pusat pelatihan da’i milenial, riset kolaboratif dengan lembaga adat dan agama, program pemberdayaan berbasis surau dan nagari.
Model ini memperkuat positioning PTSI sebagai lembaga berbasis komunitas (community-based higher education).
8. Menawarkan Biaya Kompetitif dengan Nilai Tambah Tinggi
PTSI tidak bisa bersaing pada infrastruktur fisik, tetapi dapat mengungguli PTN pada:
biaya pendidikan terjangkau,
program sertifikasi gratis,
pembinaan intensif,
pelatihan soft skills,
layanan karier yang lebih sistematis.
Dalam perspektif manajemen pendidikan, nilai tambah (value-added services) lebih menentukan daripada fasilitas fisik.
Kesimpulan
PTSI memiliki peluang besar untuk bertahan dan tumbuh apabila mampu:
1. menggarap niche pendidikan yang tidak disentuh PTN,
2. bertransformasi menjadi kampus berbasis keterampilan,
3. menguatkan identitas keislaman yang modern tetapi tetap bernilai,
4. memberikan layanan prima yang personal,
5. mengadopsi model hybrid dan fleksibel,
6. merekonstruksi prodi keagamaan agar sesuai kebutuhan pasar,
7. berkolaborasi intensif dengan ekosistem Islam lokal, dan
8. menawarkan biaya kompetitif dengan nilai tambah tinggi.
PTS harus bergerak dengan strategi adaptif, cepat, dan berbasis kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, PTS Islam dapat menjadi pilar penting dalam pengembangan SDM Muslim yang unggul, berkarakter, dan relevan di era digital.ds.20112025.
