![]() |
الْعَدْلُ فِي التَّقْيِيمِ وَالْإِنْصَافُ فِي التَّكْرِيمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
1. Penghargaan di Dunia dan Timbangan di Akhirat
Dalam kehidupan bernegara, pemberian gelar “pahlawan nasional” adalah bentuk penghargaan terhadap jasa seseorang bagi bangsa. Namun dalam pandangan Islam, setiap penghargaan duniawi hanyalah simbol sementara, sedangkan penilaian sejati berada di sisi Allah subḥānahu wata‘ālā.
Firman-Nya:
{الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (32)} [النجم: 32]
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali dosa-dosa kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunan-Nya. Dia lebih mengetahui tentang kamu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah, dan ketika kamu masih berupa janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menyucikan dirimu (menganggap dirimu suci). Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm [53]: 32)
Ayat ini menegaskan bahwa penilaian hakiki atas manusia tidak boleh dilakukan dengan hawa nafsu atau glorifikasi (sikap meluhurkan) yang berlebihan.
Artinya, ukuran kemuliaan bukan pada jasa politik, kekuasaan, atau pembangunan, tetapi pada ketakwaan dan kejujuran moral. Dalam sejarah Islam, orang yang berjasa besar sekalipun tidak otomatis disebut mulia, jika amalnya tidak dilandasi niat ikhlas dan akhlak yang lurus.
2. Keteladanan Para Sahabat: Antara Kekhilafan dan Keikhlasan
Ketika kita membandingkan dengan generasi terbaik, yaitu para sahabat Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, kita melihat keadilan Islam dalam menilai manusia.
Ada di antara mereka yang pernah berperang satu sama lain, seperti pada masa Perang Jamal dan Shiffin. Namun Allah tetap menegaskan kemuliaan mereka:
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100)} [التوبة: 100]
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”
(QS. At-Taubah [9]: 100)
Para ulama menjelaskan, status mereka tidak dicabut karena kesalahan mereka lahir dari ijtihad, bukan dari kebencian terhadap Islam. Mereka tetap dalam keimanan dan ketulusan, sehingga khilaf mereka tidak menghapus kedudukan sebagai sahabat.
Namun, ini tidak berarti setiap orang yang pernah berjasa berhak mendapat gelar mulia tanpa menimbang sisi moral dan amanahnya. Dalam Islam, penilaian terhadap seseorang selalu berimbang antara jasa dan kezaliman, antara amal dan pelanggaran.
3. Antara Jasa dan Catatan Dosa: Prinsip Keadilan Islam
Ketika nama seorang tokoh seperti Soeharto rahimahullāh diusulkan menjadi pahlawan nasional, maka bangsa perlu menimbang dengan adil, bukan dengan hawa nafsu atau nostalgia masa lalu.
Islam mengajarkan:
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90)} [النحل: 90]
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu untuk berlaku) adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat; dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan kedzaliman. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu mengambil pelajaran.” (QS. An-Naḥl [16]: 90)
Keadilan berarti menimbang semua sisi: jasa pembangunan dan keberhasilan ekonomi, tetapi juga pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi yang terjadi di masa kekuasaan.
Dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anha yang menuturkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا مَاتَ صَاحِبُكُمْ فَدَعُوهُ، وَلَا تَقَعُوا فِيهِ»
“Apabila salah seorang sahabat kalian meninggal dunia, maka biarkanlah dia (jangan membicarakannya dengan buruk), dan janganlah kalian mencelanya.” (HR. Abū Dāwūd, no. 4899)
Hadits ini bukan berarti menutup mata dari kebenaran sejarah, tetapi mengajarkan adab dalam berbicara, tanpa memutarbalikkan fakta. Menilai sejarah harus dengan ilmu dan kejujuran, bukan dengan dendam atau romantisme.
4. Gelar Dunia Tidak Menjamin Kedudukan di Akhirat
Seorang tokoh bisa menjadi pahlawan di mata manusia, tapi tidak otomatis mulia di sisi Allah. Begitu pula sebaliknya: bisa jadi seseorang tak dikenal di dunia, tetapi sangat tinggi derajatnya di akhirat.
Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُبَّ أَشْعَثَ، مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ
“Betapa banyak orang yang rambutnya kusut, berpakaian lusuh, dan ditolak di pintu-pintu (orang berkuasa), padahal jika ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah kabulkan.” (HR. Muslim, no. 2622)
Ini menunjukkan bahwa ukuran kemuliaan bukanlah pada pangkat, kekuasaan, atau penghargaan negara, melainkan pada ketulusan iman dan amal shalih.
5. Hikmah Bagi Bangsa
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menilai sejarah dengan jujur dan adil. Bukan bangsa yang menghapus jasa, tetapi juga bukan yang menutup mata terhadap kezaliman.
Dalam pandangan Islam, gelar dan kehormatan harus diberikan kepada mereka yang menegakkan keadilan, menjaga amanah, dan menjauhkan rakyat dari kezhaliman.
{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ (83)} [القصص: 83]
“Dan negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash [28]: 83)
Penutup
Islam mengajarkan keseimbangan antara penghargaan dan koreksi, antara pengakuan jasa dan penegakan moral. Jika suatu bangsa ingin meneladani nilai-nilai Qur’an dan Sunnah, maka gelar kehormatan harus diberikan bukan hanya karena kontribusi fisik, tetapi juga karena kesucian amanah dan akhlak.
Sebab pada akhirnya, gelar tertinggi bukanlah pahlawan nasional, tetapi gelar dari Allah:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Allah ridha kepada mereka, dan mereka ridha kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 8)
Karena itu, gelar pahlawan nasional bukan ditulis dengan tinta sejarah, tetapi dengan amal shalih yang dicatat oleh para malaikat.
Tulisan ini diketik sebagai refleksi untuk bangsa yang ingin menilai sejarah dengan nurani, bukan hanya dengan dokumen dan opini.
Pariaman, Kamis, 8 Jumadil Ula 1447 H / 30 Oktober 2025 M
Zulkifli Zakaria
