![]() |
العِبَرُ بَيْنَ طَرِيقَيْنِ وَقَلْبَيْنِ
Pada Rabu malam, 5 November 2025, rombongan tiba di Bandara Jeddah dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Pada malam itu Allah mempertemukan kembali dengan seorang sopir Yaman berusia sekitar lima puluh dua tahun, bernama Mu‘ādz. Ia mengemudikan bus dengan ketenangan yang masuk hingga ke relung hati. Sepanjang perjalanan menuju Kota Nabi, tilawah Al-Qur’an mengalun dari ponselnya tanpa henti. Ayat-ayat Allah menyelimuti perjalanan itu seperti majelis dzikir yang bergerak di tengah gelapnya jalanan.
Pada perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya, ia juga pernah menyopiri rombongan. Saat itu terjadi percakapan ringan tentang negeri asalnya, Yaman, serta tentang namanya. Ketika disebut bahwa negerinya pernah didatangi Mu‘ādz bin Jabal radhiyallāhu ‘anhu, ia tersenyum dan berkata, “Nama saya juga Mu‘ādz.”
Sebagaimana lazimnya, bus rute Jeddah–Madinah atau Jeddah–Makkah memiliki dua sopir yang bertugas bergilir—suatu standar keamanan perjalanan yang telah lama diterapkan di Tanah Suci.
Ketenangannya menghidupkan makna sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam:
«الإِيمَانُ يَمَانٌ، وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ»
*“Iman itu berasal dari Yaman, dan hikmah itu juga dari Yaman."*
(HR. al-Bukhārī, no. 4388)
Berbeda dengan suasana pada Rabu siang sepekan setelahnya, saat rombongan berziarah ke Thaif. Sopir yang bertugas kali ini seorang pemuda Saudi, berusia kurang dari tiga puluh tahun. Penampilannya sederhana—kaos polos tanpa peci atau sorban. Ia menyebut dirinya asli keturunan Saudi.
Selama menyetir, pemuda ini sibuk dengan ponselnya; menelepon dengan suara tinggi atau membuka aneka ragam tayangan TikTok nyaris nonstop. Cara mengemudinya tampak lebih berani, mungkin karena ia sangat akrab dengan jalan-jalan itu sejak kecil.
Dengan pengalaman mengiringi banyak perjalanan jemaah, pemandu perjalanan terbiasa melihat sopir pendatang dari berbagai negeri. Ketika sesekali berjumpa sopir asli Saudi, perbedaan gaya, ritme, dan ketenangannya terasa wajar saja—setiap insan dibentuk oleh lingkungan dan rutinitas yang melingkupinya.
Dua perjalanan yang terpisah sepekan itu menghadirkan dua suasana batin yang sangat berbeda. Dua sopir, dua kebiasaan, dua ketenangan. Namun keduanya tetap berada di tanah yang diberi kemuliaan oleh Allah.
Dari dua momen itu lahirlah renungan bahwa manusia dibentuk oleh apa yang menguasai hatinya. Allah subḥānahu wata‘ālā berfirman:
﴿ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ﴾
*“Bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada di dalam dada.”*
(QS. al-Hajj: 46)
Perjalanan malam itu mengajarkan bahwa perjalanan hati lebih penting daripada perjalanan fisik.
Allah juga berfirman:
﴿ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴾
*“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”*
(QS. Ali ‘Imran: 185)
dan:
﴿ إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ﴾
*“Kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau.”*
(QS. Muhammad: 36)
Di antara renungan itu, hadir pula peringatan agung dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam:
«فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا، كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ»
*“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Tetapi aku khawatir dunia dibentangkan luas kepada kalian, lalu kalian berlomba mengejarnya sebagaimana umat sebelum kalian berlomba, dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka.”*
(HR. al-Bukhārī, no. 4015)
Sabda ini seperti cermin: bukan derajat duniawi yang berbahaya, tetapi ketika hati terpaut kepadanya.
Dengan demikian, kedua sopir itu bukanlah bahan perbandingan, tetapi menjadi cermin bagi perjalanan batin. Ada masa ketika hati setenang perjalanan malam—ditemani tilawah. Ada masa ketika hati seramai perjalanan siang—dipenuhi hiruk-pikuk dunia. Pergantian suasana itu menggambarkan pasang surut hati yang selalu perlu dijaga dari kecenderungan duniawi.
Maka kepada Allah subḥānahu wata'ālā dipanjatkan doa:
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا، وَزَكِّ نُفُوسَنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَاجْعَلْهَا فِي أَيْدِينَا وَلَا تَجْعَلْهَا فِي قُلُوبِنَا.
Latin:
Allahumma thahhir qulūbanā, wa zakkī nufūsana, wa lā taj‘al-id-dunyā akbara hammnā wa lā mablagha ‘ilmnā, waj‘al-hā fī aydīnā wa lā taj‘al-hā fī qulūbinā.
*“Wahai Allah, sucikanlah hati kami, bersihkanlah jiwa kami. Jangan jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak ilmu kami. Jadikanlah dunia hanya di tangan kami, jangan Engkau letakkan ia di dalam hati kami.”*
Amin.
Makkah al-Mukarramah,
Kamis 22 Jumadil Ula 1447 H / 13 November 2025 M
