![]() |
مجلس الحديث النبويّ الشريف
MAJELIS KAJIAN HADITS BERSAMA ZULKIFLI ZAKARIA
DI RUMAH SAKIT TAMAR MEDICAL CENTRE (TMC)
Jl. Basuki Rahmat No.1 Pariaman
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
BAHASAN HADITS TENTANG MENGIMANI AZAB KUBUR
Rabu, 30 Rabi’ul Akhir 1447 H / 22 Oktober 2025 M
Teks Hadits:
1380 - حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا وُضِعَتِ الجِنَازَةُ، فَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي، قَدِّمُونِي، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا، أَيْنَ يَذْهَبُونَ بِهَا؟ يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنْسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهَا الإِنْسَانُ لَصَعِقَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Sa‘id bin Abi Sa‘id, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Abu Sa‘id al-Khudrī radhiyallahu ‘anhu. berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
« إِذَا وُضِعَتِ الجِنَازَةُ، فَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي، قَدِّمُونِي،وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا، أَيْنَ يَذْهَبُونَ بِهَا؟ يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنْسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهَا الإِنْسَانُ لَصَعِقَ »
“Apabila jenazah telah diletakkan (di atas usungan), lalu para lelaki memikulnya di atas pundak mereka, maka jika ia (mayit) termasuk orang yang saleh, ia akan berkata:
‘Secepatnya! Secepatnya!’
Tetapi jika ia bukan orang yang saleh, ia akan berkata:
‘Celakalah dia! Ke mana mereka hendak membawanya?’
Suaranya didengar oleh semua makhluk selain manusia. Seandainya manusia mendengarnya, niscaya ia akan pingsan.”
(HR. Al-Bukhārī, no. 1380)
Pelajaran dari Hadits ini:
1. Kebenaran kehidupan barzakh.
Hadits ini menegaskan adanya kehidupan setelah kematian. Ruh tidak lenyap, tetapi berpindah ke alam barzakh, adalah alam perantara antara dunia dan akhirat, di mana ruh mulai merasakan balasan atas amalnya.
Allah subhānahu wata’āla berfirman:
{وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)} [المؤمنون: 100]
“ … Dan di hadapan mereka ada alam barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.”
(QS. al-Mu’minūn [23]: 100)
2. Ruh orang beriman dan durhaka memiliki kondisi berbeda.
Ruh orang shalih disambut malaikat dengan kelembutan dan rahmat. Dalam hadits al-Barā’ bin ‘Āzib disebutkan, ruh orang beriman keluar dengan mudah seperti ait diteteskan dari mulut bejana, lalu diangkat ke langit dan disambut dengan harum semerbak. Adapun ruh orang kafir dan durhaka keluar dengan keras, ibarat besi yang diseret dari bulu basah. Malaikat melaknatnya dan pintu langit tertutup baginya.
3. Keterbatasan manusia dalam menyaksikan perkara ghaib.
Ungkapan dalam hadits ini bukanlah kiasan, tetapi hakikat yang benar-benar terjadi pada alam ruh. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam nyampaikan sebagai khabar ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau pancaindra.
Sabdanya: “Suaranya didengar oleh semua makhluk selain manusia” menunjukkan bahwa hewan dan makhluk ghaib mampu mendengar jeritan itu.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa keledai meringkik karena melihat setan, dan ayam berkokok karena melihat malaikat (HR. Al-Bukhārī dan Muslim).
Ini menjadi dalil bahwa makhluk selain manusia memiliki persepsi terhadap alam ghaib yang tidak dimiliki manusia. Allah subhānahu wata’āla menutup pendengaran manusia dari suara ruh agar keimanan mereka bersandar pada berita wahyu, bukan pengalaman indrawi. Maka iman kepada hal ghaib adalah ujian kejujuran hati.
Ibn Hajar Al-‘Asqalānī rahimahullāh menjelaskan dalam Fath al-Bārī, 3/185:
“Sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam: “Maka setiap sesuatu mendengar suaranya” — menunjukkan bahwa hal itu (yakni ucapan tersebut) terjadi dengan lisan yang sebenarnya (lisan al-qāl), bukan dengan lisan keadaan (lisan al-ḥāl).
Perkataannya: “Dan sesungguhnya ia (jiwa itu) bukan seperti itu” — dalam riwayat al-Kusymaihani disebut: “ghayra shāliḥah (tidak baik)”.
Perkataannya: “Ia berkata kepada keluarganya” — Ath-Thībī menjelaskan: maksudnya “demi (karena) keluarganya”, yakni sebagai ungkapan nyata bahwa dirinya telah berada dalam kebinasaan, sebab setiap orang yang terjerumus ke dalam kebinasaan pasti menyeru dengan seruan celaka (al-wayl).
Makna seruannya adalah: “Wahai kesedihanku!” — dan ia menisbatkan kata al-wayl (celaka) kepada dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) berdasarkan makna, karena ia tidak ingin menisbatkan kata ‘celaka’ kepada dirinya sendiri.
Atau bisa pula dipahami bahwa ketika ia melihat dirinya tidak baik, ia menjauh darinya dan memperlakukannya seakan-akan itu bukan dirinya sendiri. Pendapat pertama dikuatkan oleh riwayat dari Abu Hurairah yang telah disebutkan sebelumnya: “Ia berkata: Wahai celakaku, ke mana kalian membawaku?”, yang menunjukkan bahwa perbedaan redaksi ini merupakan bentuk variasi dalam periwayatan (tasharruf ar-ruwāt).”
4. Perjalanan menuju kubur adalah awal pertanggungjawaban.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya kubur adalah pos pertama dari pos-pos akhirat. Jika seseorang selamat darinya, maka setelahnya lebih mudah daripada itu. Tetapi jika tidak selamat darinya, maka setelahnya lebih berat daripada itu.’”
(HR. At-Tirmidzī, no. 2308)
5. Perintah bersegera dalam kebaikan dan taubat.
Karena pada saat ruh dipanggil, tak ada lagi waktu untuk memperbaiki amal. Jeritan “Yā wailahā” hanyalah penyesalan yang tak mampu mengubah takdirnya.
Hikmah dan Renungan
Setiap kali jenazah diusung, sejatinya ada dua suara bergema di alam yang tak terdengar oleh manusia: suara ruh yang gembira menyambut perjumpaan dengan Rabb-nya, dan suara ruh yang menjerit ketakutan menghadapi azab yang menantinya.
Maka berbahagialah orang yang ruhnya berkata “Qaddimūnī” – “Secepatnya!” karena ia merindukan pertemuan dengan Allah. Sebaliknya, celakalah yang ruhnya berkata “Yā wailahā” – “Celakah aku!” karena ia takut terhadap balasan dosa-dosanya.
Setiap kita akan diusung dengan cara yang sama, namun dengan suara ruh yang berbeda. Kita tidak mendengarnya, tetapi kabar dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam sudah cukup sebagai bukti yang paling benar dan peringatan yang paling lembut.
Wallāhu a’lam
