![]() |
وَخَشِيَةٌ عَلَى الذُّرِّيَّةِ وَثِقَةٌ بِالرَّحْمَةِ
Bismillāhirrahmānirrahīm
Membaca al-Kahfi dan Merenungi Diri
Hari Jumat adalah hari yang penuh dengan cahaya dan rahmat. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk membaca Surat al-Kahfi pada malam atau siang Jumat, karena di dalamnya terdapat pelajaran tentang keimanan, kesabaran, dan keteguhan menghadapi fitnah dunia.
Dari Abu Sa‘īd al-Khudrī radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ»
“Barang siapa membaca Surat al-Kahfi pada hari Jumat, maka akan terpancar cahaya baginya di antara dua Jumat.”
(HR. Al-Hākim dalam al-Mustadrak, no. 3392)
Dan dalam riwayat lain:
«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ»
“Barang siapa membaca sepuluh ayat pertama dari Surat al-Kahfi, maka ia akan terlindung dari fitnah Dajjal.”
(HR. Muslim, no. 809)
Maka membaca al-Kahfi bukan hanya amalan lisan, tetapi juga tazkiyah hati — membersihkan pandangan kita terhadap dunia dan memperdalam kepercayaan terhadap takdir Allah.
Kisah yang Mengguncang: Anak Kecil dan Rahasia Takdir
Di antara kisah yang paling menggugah dalam surat ini ialah perjalanan Nabi Musa ‘alaihis salām bersama seorang hamba shāliḥ bernama Al-Khadhir ‘alaihis salām.
Satu peristiwa yang paling mengejutkan ialah ketika Al-Khadhir membunuh seorang anak kecil tanpa sebab yang tampak.
{قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74)} [الكهف: 74]
“Mengapa engkau membunuh jiwa yang suci, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh engkau telah melakukan perkara yang mungkar!”
(QS. Al-Kahfi [18]: 74)
Namun ketika rahasia takdir itu dijelaskan, terbukalah hikmah yang menggetarkan:
{أَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81)} [الكهف: 80، 81]
“Adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang beriman. Kami khawatir dia akan mendorong keduanya kepada kesesatan dan kekafiran. Maka kami ingin agar Rabb mereka menggantinya dengan anak yang lebih baik kesuciannya dan lebih dekat kasih sayangnya.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 80–81)
Kekhawatiran Al-Khadhir bukanlah kekhawatiran biasa, tetapi kekhawatiran kenabian yang bersumber dari ilham rabbānī.
Perbuatan yang tampak kejam ternyata adalah rahmat tersembunyi yang hanya diketahui oleh Allah subḥānahu wata‘ālā.
Dimulai Sejak Memilih Pasangan
Kisah ini seolah ingin menegur kita, bahwa mendidik anak tidak dimulai setelah lahir, tetapi sejak memilih pasangan hidup.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
" تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ "
“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya engkau beruntung.”
(HR. Muslim, 1466)
Begitu pula sebaliknya, wanita yang shāliḥah hendaknya memilih suami yang bertakwa, karena dari ketakwaan ayah dan ibu, lahir keturunan yang berjiwa bersih.
Dari rumah yang dipenuhi iman, akan tumbuh anak-anak yang berani berkata benar dan takut kepada Allah.
Dua Pondasi Utama dari An-Nisā’: 9
Allah subḥānahu wata‘ālā mengingatkan:
{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (9)} [النساء: 9]
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (nasib) mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 9)
Ayat ini menuntun kita pada dua pondasi utama yang harus dimulai sekarang juga — dari diri sendiri, lalu diwariskan kepada anak dan cucu:
Pertama, takut kepada Allah.
Ketakwaan adalah benteng utama dalam mendidik generasi. Ia menjaga niat ketika mencari rezeki, menuntun pilihan lingkungan, dan menjadi kompas saat menentukan pendidikan anak.
Tanpa rasa takut kepada Allah, nasihat orang tua mudah diabaikan oleh dunia.
Kedua, membiasakan perkataan yang benar.
Perkataan orang tua adalah cermin bagi jiwa anak. Dari lidah yang jujur lahir generasi yang amanah. Dari lidah yang kotor lahir generasi yang gelisah.
Maka biasakan lisan kita berzikir, mendoakan, dan berkata dengan niat yang tulus.
Pendidikan: Menanam Iman Sebelum Ilmu
Banyak orang tua kini terjebak dalam kekhawatiran duniawi: takut anaknya tidak sukses, tidak populer, tidak makmur. Padahal yang paling patut ditakuti adalah bila anaknya tidak mengenal Rabb-nya.
Pendidikan sejati bukan hanya mengasah akal, tetapi menumbuhkan iman.
Imam Ibn al-Qayyim rahimahullāh berkata:
Dan termasuk di antara tingkatan perjalanan (menuju Allah) dalam firman-Nya:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} [الفاتحة: 5]
adalah tingkatan ilmu. Dan tingkatan ini (yakni ilmu), bila tidak menyertai seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) sejak langkah pertamanya di jalan itu hingga langkah terakhir yang ia capai, maka perjalanannya bukanlah di atas jalan yang benar. Maka terputuslah baginya jalan menuju (tujuan), tertutuplah baginya jalan-jalan petunjuk dan keberhasilan, serta tertutuplah pintu-pintu (menuju kebaikan dan keselamatan) darinya.”
(Madārij as-Sālikīn, 2/434)
Maka pilihlah jalur pendidikan yang menumbuhkan keduanya: kecerdasan dan ketundukan kepada Allah.
Khawatir Karena Cinta, Berharap Karena Iman
Kekhawatiran adalah tanda cinta. Namun cinta yang tidak disertai iman akan berubah menjadi cemas yang melumpuhkan.
Khawatir boleh, asal disertai doa, amal, dan tawakal.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
" إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ "
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shāliḥ yang mendoakannya.”
(HR. Muslim, no. 1631)
Anak shāliḥ tidak muncul tiba-tiba, tetapi tumbuh dari keteladanan iman orang tuanya — dari doa yang tak henti dan pendidikan yang konsisten.
Kita tidak tahu masa depan mereka, tapi kita bisa menanamkan pondasi agar kelak mereka tetap berada di jalan Allah.
Doa Penutup
Karena itu, marilah kita akhiri renungan ini dengan do’a yang sering dibaca oleh para hamba shālih:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Furqān [25]: 74)
Kita mungkin tidak secerdas Al-Khadhir dan tidak setegas Musa, dua nabi yang diberi wahyu, tetapi kita bisa menjadi orang tua yang bertakwa dan berkata benar — dua sifat yang menjadikan kekhawatiran kita berbuah rahmat dan keberkahan.
Tulisan ini saya susun dari khutbah Jumat yang saya sampaikan tadi siang di sebuah masjid di Sumatera Barat, sebagai pengingat bagi diri sendiri dan siapa pun yang khawatir atas masa depan anak-anak di zaman penuh fitnah.
Wallāhu a’lam wa huwa al-Musta’ān
Pariaman, Jumat, 25 Rabi‘ul Akhir 1447 H / 17 Oktober 2025 M
Zulkifli Zakaria
