![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
(Tafsir Sosial- Spiritual dari Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz II: 287–321)
Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 14 Oktober 2025.
Hidup dalam pandangan Islam bukan sekadar perjalanan pribadi menuju Allah, melainkan juga perjalanan bersama manusia menuju kebaikan kolektif.
Akhir surat al Fatah menegaskan...umat Muhammad saw adalah ruhama' bainahum (sangat saling menyangi) sesamanya. Ayat sumber Imam Al Ghazali dalam menjelaskan bahwa kekuatan sipritual dalam kasih sayang adalah kekuatan untuk ihya ulumuddin (hidupnya agama Islam).
Iman seseorang diuji bukan hanya di mihrab ibadah, tetapi juga di jalan-jalan kehidupan sosial tempat ia berinteraksi dengan sesama. Di sinilah Imam al-Ghazālī menghadirkan panduan mendalam dalam Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, khususnya pada juz kedua, tentang hak-hak muslim, kasih sayang antar sesama, hak tetangga, penggunaan harta, dan adab dalam bergaul.
1.Hak Sesama Muslim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam:
apabila engkau berjumpa dengannya, ucapkan salam;
apabila ia mengundangmu, penuhilah;
apabila ia meminta nasihat, berilah;
apabila ia bersin dan memuji Allah, doakanlah;
apabila ia sakit, jenguklah;
dan apabila ia meninggal, iringilah jenazahnya.”
(HR. Muslim)
Imam al-Ghazālī menjelaskan bahwa hak-hak ini adalah manifestasi iman yang hidup. Ia bukan sekadar etika sosial, tetapi juga ibadah sosial—menguji apakah hati seseorang masih peka terhadap sesama. Hak-hak ini menjadi sarana membangun ukhuwah imaniyyah, bukan sekadar hubungan sosial formal.
Secara psikologis, hak-hak itu menumbuhkan rasa aman dan diterima dalam komunitas. Ketika seseorang memberi salam atau menjenguk sahabat sakit, sebenarnya ia sedang menanamkan rasa “aku bagian dari kalian, dan kalian bagian dariku.” Itulah fondasi masyarakat beradab.
2.Ukhuwah dan Kasih Sayang.
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Bagi al-Ghazālī, persaudaraan (ukhuwah) adalah sarana tercepat menuju ridha Allah. Kasih sayang yang berakar pada iman adalah perekat hati yang melampaui kepentingan dunia. Dalam bab Adab al-Ṣuḥbah wa Ḥuqūq al-Ikhwān, beliau menyebut delapan hak utama dalam persaudaraan:
• Hak Harta:
Memberi dengan ringan, bahkan mendahulukan sahabat daripada diri sendiri (i’tsār).
Contohnya, para sahabat Anshar yang berbagi rumah, makanan, dan pakaian dengan Muhajirin.
“Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri walaupun mereka memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
• Hak Pertolongan Diri:
Menolong sahabat dalam kesulitan, mendukungnya secara fisik maupun moral.
• Hak Lisan:
Menjaga rahasia, menasihati dengan kelembutan, dan menahan diri dari ghibah serta fitnah.
• Hak Hati:
Tidak menyimpan iri dan dendam, serta mendoakan kebaikan bagi sahabat.
• Hak Maaf dan Ketulusan:
Tidak menagih kebaikan, tidak membalas kesalahan dengan kebencian.
• Hak Waktu dan Kehadiran:
Hadir saat dibutuhkan, terutama di masa sulit.
Dalam psikologi Islam, ukhuwah adalah kebutuhan jiwa untuk merasa dimengerti dan diterima tanpa syarat. Ia menyembuhkan luka sosial dan membangun empati spiritual yang disebut al-Ghazālī sebagai ta’āṭuf al-qulūb — saling bergetarnya hati dalam cinta karena Allah.
3. Hak Tetangga.
“Jibril terus berwasiat kepadaku agar aku berbuat baik kepada tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga akan diberi hak waris.”
(HR. Bukhari–Muslim)
Dalam Ihyā’, al-Ghazālī menegaskan bahwa hak tetangga mencerminkan kualitas keimanan seseorang. Ia mengklasifikasikan tetangga dalam tiga tingkatan:
• Tetangga muslim sekaligus kerabat – tiga hak (agama, kekerabatan, dan kemanusiaan).
• Tetangga muslim non-kerabat – dua hak (agama dan kemanusiaan).
• Tetangga non-muslim – satu hak (kemanusiaan).
Al-Ghazālī menasihati agar tidak menyakiti tetangga, tidak mengganggu dengan suara, bau, atau limbah, dan agar saling berbagi. Ia mengutip anjuran Nabi ﷺ:
“Jika memasak kuah, perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim)
Hak tetangga juga mencakup kepedulian sosial: menjenguk ketika sakit, menghibur ketika berduka, dan menjaga keamanan lingkungan. Dalam perspektif psikologis, perilaku ini membangun neighborhood trust — rasa saling percaya dan tenteram dalam hidup berdampingan.
4.Harta dan Amanah Sosial.
“Dan pada harta mereka ada hak yang diketahui bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta.”
(QS. Adz-Dzāriyāt: 19)
Al-Ghazālī menekankan bahwa harta hanyalah alat ujian. Ujian bukan pada banyaknya, tapi pada bagaimana ia digunakan. Ia membagi etika harta menjadi tiga:
• Mencari dari sumber halal.
• Menggunakannya untuk kemaslahatan.
• Menyucikannya dengan zakat dan sedekah.
Beliau menulis, “Harta halal membawa ketenangan, sedangkan harta haram menanam keresahan.” Orang yang wara’ (berhati-hati) menjaga diri dari syubhat agar keberkahannya tidak lenyap.
Dari sudut psikologi Islam, perilaku memberi (infak, sedekah) menumbuhkan kebahagiaan batin dan menekan stres finansial. Rasa qana‘ah dan ikhlas menstabilkan emosi serta memperkuat keseimbangan spiritual.
5.Adab Pergaulan dan Kehidupan Sosial.
Dalam bab Adab al-Mu‘āsyarah, al-Ghazālī menguraikan bahwa adab pergaulan adalah hiasan iman dan rahasia kebahagiaan dunia-akhirat. Ia menulis:
“Pergaulan tanpa adab bagaikan tubuh tanpa jiwa.”
Adab pergaulan yang baik mencakup:
• Memulai pertemuan dengan salam dan senyum.
• Menjaga lisan dari ghibah, celaan, dan hinaan.
• Menghormati tamu, guru, dan orang tua.
• Tidak mempermalukan sahabat di depan umum.
• Menasihati dengan rahasia, bukan dengan suara keras.
• Tidak memutus silaturahim meski disakiti.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abu Dawud)
Artinya, sahabat sejati menampakkan kekurangan kita agar kita bisa memperbaikinya dengan lembut.
Dalam konteks psikologi sosial, adab pergaulan yang baik menumbuhkan social harmony dan menekan konflik interpersonal. Orang yang beradab mampu mengatur emosi, menghormati batas orang lain, dan menebarkan ketenangan di tengah masyarakat.
REFLEKSI MORAL
Imam al-Ghazālī mengakhiri bagian ini dengan peringatan:
“Siapa yang memperbaiki adabnya terhadap manusia, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan-Nya.”
Hidup beradab bukan formalitas sosial, tapi manifestasi iman. Ukhuwah, kasih sayang, amanah, dan akhlak adalah cermin dari hubungan seseorang dengan Allah.
Sebaliknya, rusaknya hubungan sosial—kebencian, iri, atau penipuan—menjadi tanda jauhnya seseorang dari keikhlasan dan kasih Ilahi.
Penutup
Maka, inti ajaran Ihyā’ dalam bab ini adalah membangun masyarakat beradab melalui hati yang bersih dan hubungan yang ikhlas.
Setiap salam, setiap bantuan, setiap maaf, dan setiap sedekah adalah langkah kecil menuju kebahagiaan hakiki.
“Sempurna iman seseorang ketika ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”(HR. Bukhari dan Muslim) ds.13102025.
(Tafsir Sosial- Spiritual dari Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz II: 287–321)
Oleh: Duski Samad
Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 14 Oktober 2025.
Hidup dalam pandangan Islam bukan sekadar perjalanan pribadi menuju Allah, melainkan juga perjalanan bersama manusia menuju kebaikan kolektif.
Akhir surat al Fatah menegaskan...umat Muhammad saw adalah ruhama' bainahum (sangat saling menyangi) sesamanya. Ayat sumber Imam Al Ghazali dalam menjelaskan bahwa kekuatan sipritual dalam kasih sayang adalah kekuatan untuk ihya ulumuddin (hidupnya agama Islam).
Iman seseorang diuji bukan hanya di mihrab ibadah, tetapi juga di jalan-jalan kehidupan sosial tempat ia berinteraksi dengan sesama. Di sinilah Imam al-Ghazālī menghadirkan panduan mendalam dalam Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, khususnya pada juz kedua, tentang hak-hak muslim, kasih sayang antar sesama, hak tetangga, penggunaan harta, dan adab dalam bergaul.
1. Hak Sesama Muslim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam: apabila engkau berjumpa dengannya, ucapkan salam; apabila ia mengundangmu, penuhilah; apabila ia meminta nasihat, berilah; apabila ia bersin dan memuji Allah, doakanlah; apabila ia sakit, jenguklah; dan apabila ia meninggal, iringilah jenazahnya.”
(HR. Muslim)
Imam al-Ghazālī menjelaskan bahwa hak-hak ini adalah manifestasi iman yang hidup. Ia bukan sekadar etika sosial, tetapi juga ibadah sosial—menguji apakah hati seseorang masih peka terhadap sesama. Hak-hak ini menjadi sarana membangun ukhuwah imaniyyah, bukan sekadar hubungan sosial formal.
Secara psikologis, hak-hak itu menumbuhkan rasa aman dan diterima dalam komunitas. Ketika seseorang memberi salam atau menjenguk sahabat sakit, sebenarnya ia sedang menanamkan rasa “aku bagian dari kalian, dan kalian bagian dariku.” Itulah fondasi masyarakat beradab.
2. Ukhuwah dan Kasih Sayang.
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Bagi al-Ghazālī, persaudaraan (ukhuwah) adalah sarana tercepat menuju ridha Allah. Kasih sayang yang berakar pada iman adalah perekat hati yang melampaui kepentingan dunia. Dalam bab Adab al-Ṣuḥbah wa Ḥuqūq al-Ikhwān, beliau menyebut delapan hak utama dalam persaudaraan:
• Hak Harta:
Memberi dengan ringan, bahkan mendahulukan sahabat daripada diri sendiri (i’tsār).
Contohnya, para sahabat Anshar yang berbagi rumah, makanan, dan pakaian dengan Muhajirin.
“Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri walaupun mereka memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
• Hak Pertolongan Diri:
Menolong sahabat dalam kesulitan, mendukungnya secara fisik maupun moral.
• Hak Lisan:
Menjaga rahasia, menasihati dengan kelembutan, dan menahan diri dari ghibah serta fitnah.
• Hak Hati:
Tidak menyimpan iri dan dendam, serta mendoakan kebaikan bagi sahabat.
• Hak Maaf dan Ketulusan:
Tidak menagih kebaikan, tidak membalas kesalahan dengan kebencian.
• Hak Waktu dan Kehadiran:
Hadir saat dibutuhkan, terutama di masa sulit.
Dalam psikologi Islam, ukhuwah adalah kebutuhan jiwa untuk merasa dimengerti dan diterima tanpa syarat. Ia menyembuhkan luka sosial dan membangun empati spiritual yang disebut al-Ghazālī sebagai ta’āṭuf al-qulūb — saling bergetarnya hati dalam cinta karena Allah.
3. Hak Tetangga
“Jibril terus berwasiat kepadaku agar aku berbuat baik kepada tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga akan diberi hak waris.”
(HR. Bukhari–Muslim)
Dalam Ihyā’, al-Ghazālī menegaskan bahwa hak tetangga mencerminkan kualitas keimanan seseorang. Ia mengklasifikasikan tetangga dalam tiga tingkatan:
• Tetangga muslim sekaligus kerabat – tiga hak (agama, kekerabatan, dan kemanusiaan).
• Tetangga muslim non-kerabat – dua hak (agama dan kemanusiaan).
• Tetangga non-muslim – satu hak (kemanusiaan).
Al-Ghazālī menasihati agar tidak menyakiti tetangga, tidak mengganggu dengan suara, bau, atau limbah, dan agar saling berbagi. Ia mengutip anjuran Nabi ﷺ:
“Jika memasak kuah, perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim)
Hak tetangga juga mencakup kepedulian sosial: menjenguk ketika sakit, menghibur ketika berduka, dan menjaga keamanan lingkungan. Dalam perspektif psikologis, perilaku ini membangun neighborhood trust — rasa saling percaya dan tenteram dalam hidup berdampingan.
4. Harta dan Amanah Sosial.
“Dan pada harta mereka ada hak yang diketahui bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta.”
(QS. Adz-Dzāriyāt: 19)
Al-Ghazālī menekankan bahwa harta hanyalah alat ujian. Ujian bukan pada banyaknya, tapi pada bagaimana ia digunakan. Ia membagi etika harta menjadi tiga:
• Mencari dari sumber halal.
• Menggunakannya untuk kemaslahatan.
• Menyucikannya dengan zakat dan sedekah.
Beliau menulis, “Harta halal membawa ketenangan, sedangkan harta haram menanam keresahan.” Orang yang wara’ (berhati-hati) menjaga diri dari syubhat agar keberkahannya tidak lenyap.
Dari sudut psikologi Islam, perilaku memberi (infak, sedekah) menumbuhkan kebahagiaan batin dan menekan stres finansial. Rasa qana‘ah dan ikhlas menstabilkan emosi serta memperkuat keseimbangan spiritual.
5. Adab Pergaulan dan Kehidupan Sosial.
Dalam bab Adab al-Mu‘āsyarah, al-Ghazālī menguraikan bahwa adab pergaulan adalah hiasan iman dan rahasia kebahagiaan dunia-akhirat. Ia menulis:
“Pergaulan tanpa adab bagaikan tubuh tanpa jiwa.”
Adab pergaulan yang baik mencakup:
• Memulai pertemuan dengan salam dan senyum.
• Menjaga lisan dari ghibah, celaan, dan hinaan.
• Menghormati tamu, guru, dan orang tua.
• Tidak mempermalukan sahabat di depan umum.
• Menasihati dengan rahasia, bukan dengan suara keras.
• Tidak memutus silaturahim meski disakiti.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abu Dawud)
Artinya, sahabat sejati menampakkan kekurangan kita agar kita bisa memperbaikinya dengan lembut.
Dalam konteks psikologi sosial, adab pergaulan yang baik menumbuhkan social harmony dan menekan konflik interpersonal. Orang yang beradab mampu mengatur emosi, menghormati batas orang lain, dan menebarkan ketenangan di tengah masyarakat.
REFLEKSI MORAL
Imam al-Ghazālī mengakhiri bagian ini dengan peringatan:
“Siapa yang memperbaiki adabnya terhadap manusia, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan-Nya.”
Hidup beradab bukan formalitas sosial, tapi manifestasi iman. Ukhuwah, kasih sayang, amanah, dan akhlak adalah cermin dari hubungan seseorang dengan Allah.
Sebaliknya, rusaknya hubungan sosial—kebencian, iri, atau penipuan—menjadi tanda jauhnya seseorang dari keikhlasan dan kasih Ilahi.
Penutup
Maka, inti ajaran Ihyā’ dalam bab ini adalah membangun masyarakat beradab melalui hati yang bersih dan hubungan yang ikhlas.
Setiap salam, setiap bantuan, setiap maaf, dan setiap sedekah adalah langkah kecil menuju kebahagiaan hakiki.
“Sempurna iman seseorang ketika ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”(HR. Bukhari dan Muslim) ds.13102025.