![]() |
Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta Kapalo Koto. |
MU-ONLINE---Bagi masyarakat Piaman, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW itu berlaku tiga bulan. Sejak dari bulan Rabiul Awal, hingga Jumadil Awal. Bahkan, lewat dari tiga bulan itu, peringatan maulid ada juga dilakukan. Tak heran, hingga saat ini masih terdengar suara urang siak badikie, memperingati hari kelahiran pemimpin umat Islam demikian.
Badikie, tak banyak lagi ulama yang mengetahuinya. Yang jelas, peringatan maulid dengan memcaba Kitab Sarafal Anam itu, di Piaman disebut badikie. Itu irama khas Piaman, yang tak dijumpai di daerah lainnya di seatero nusantara ini. Orang kampung banyak yang tak paham makna apa yang dibaca oleh tukang dikie itu.
Bagi masyarakat, kalau peringatan maulid, selain badikie di masjid dan surau, dia harus menyediakan lamang dan makanan untuk jamuan di tempat acara, dan di rumahnya. Siapa yang mengajarkan dikie itu awalnya?
Tersebutlah seorang ulama besar di bilangan Kecamatan Nan Sabaris. Dia adalah Syekh Muhammad Hatta. Ulama yang juga dikenal dengan Syekh Dikie ini dimakamkan di Nagari Kapalo Koto, Kecamatan Nan Sabaris. Tepatnya di komplek Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta.
H. Khatib Idris, salah seorang keturunan Syekh Muhammad Hatta menyebutkan, beliau Syekh Muhammad Hatta seangkatan dengan Syekh Abdurrahman Padang Bintungan, dan Syekh Mato Aia Pakandangan. Ketiga orang ulama besar pada zamannya itu pulalah yang mencetuskan acara Basapa yang dilakukan tiap tahunnya oleh kaum Syattariyah hingga saat ini.
"Syekh Muhammad Hatta berbeda cara dakwah yang dilakukannya di tengah masyarakat, bila dibandingkan dengan dua ulama itu. Namun, sama-sama menyebarkan agama Islam. Syekh Muhammad Hatta lebih menitik-beratkan pada pekerjaan yang dilakukan urang siak saat ini," cerita Idris bersama Ridwan Tuanku Bagindo, yang masih terbilang cicit oleh Syekh Muhammad Hatta demikian.
Idris memperkirakan, Syekh Muhammad Hatta wafat pada tahun 1921 M. Dikie dia ciptakan sendiri di tepi pantai Ulakan. Suara naik turun, disesuaikan dengan gelombang ombak yang menghempas pasir di pantai. Dan selanjutnya, dikie dikembangkan kepada orang-orang yang mau belajar. Dibuatlah sebuah surau, yang akhirnya surau itu ditingkatkan menjadi Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta, lantaran dia memulai pembangunannya dulu.
Sebagai penghargaan kepada Syekh Muhammad Hatta, sebelum urang siak melakukan tradisi Basapa ke Ulakan, saat bulan Syafar, pasti ziarah dulu ke makam Syekh Muhammad Hatta. Bagi urang siak, terutama para tukang dikie, jasa besar Syekh Muhammad Hatta sangat luar biasa sekali.
Di samping itu, Syekh Muhammad Hatta juga ulama pencetus ritual ratik tolak bala. "Pertama kali hanya dia sendiri yang berkeliling kampung, sambil membaca kalimah Tuhan, saat itu terjadi musibah yang luar biasa. Lama-kelamaan, banyak orang kampung yang ikut ratik tolak bala, yang hingga kini mulai berkurang dilakukan di tengah masyarakat," ungkap Idris.
Sangat disayangkan, makam ulama yang cukup punya jasa besar itu belum dianggap apa-apanya. Makam itu belum dijadikan cagar budaya oleh pemerintah. Tentu hal ini patut diberikan, mengingat perjuangan yang dilakukannya, yang sampai saat ini masih langgeng adanya.
Kampung Tapanggang
Saking langgeng dan kuatnya tradisi maulid badikie ini di Piaman umumnya, ada-ada saja terlahir istilah dan menjadi sebutan oleh masyarakat banyak. Itulah sebuah perluasan dari perjuangan Syekh Muhammad Hatta dalam melahirkan tradisi dikie di daerah ini.
Maulid badikie jelas punya nilai-nilai sosial yang amat tinggi. Dari tradisi ini, kaum kerabat, ipar besan, andan pasumandan selalu berkumpul, bersua, dan saling tolong menolong, memberi dan menerima.
Malam ini orang siak naik atau mulai badikie, sejak pagi hingga siang Kapalo Koto itu penuh dengan asap. Asap tentunya membubung tinggi dari ada dan banyaknya pembakaran yang dilakukan masyarakat, bahkan di setiap rumah sibuk dengan memanggang, menyalakan api untuk menanak lamang.
Dari arah yang cukup jauh, masyarakat melihat kampung itu bagaikan terpanggang, saking banyaknya asap yang membumbung ke udara. "Oi, caliak tua, kampung tapanggang," begitu kira-kira celotehan ibu-ibu saat hendak berjalan dari Pauh Kambar ke Kapalo Koto, untuk ikut melamang.
Irmanto, salah seorang tokoh masyarakat Kapalo Koto menyebutkan, bahwa penyebutan istilah kampung tapanggang itu familiarnya di kalangan masyarakat nagari tetangga, yang kemudian tersebar luas.
"Istilah yang spontan muncul saat momen peringatan maulid. Peringatan maulid badikie, selalu diperingati setiap tahun di Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta ini. Rasanya masyarakat bersalah kalau tidak dilakukan helat setahun sekali itu. Sebab, beliau Syekh Muhammad Hatta adalah tokoh yang terkenal pencetus dikie, perintis tradisi ratik tolak bala, serta tokoh dibalik hadirnya tradisi Basapa di Ulakan," katanya.
Masjid Tua dengan Tokoh Hebat
Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta boleh disebut sebagai salah satu masjid tua di Kabupaten Padang Pariaman. Masjid ini bermula dari sebuah surau yang didirikan oleh beliau Syekh Muhammad Hatta. Perkembangan zaman, kemajuan dunia, surau itu mengalami perombakan serta peningkatan status menjadi masjid.
Menurut data dari Nagari Kapalo Koto, Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta berdiri 1936 M. Catatan ini mungkin mengambil dari masjid. Sebab, menurut tokoh masyarakat setempat, Syekh Muhammad Hatta wafat sekitar tahun 1921 M. Tentu tak dihitung sejak surau ada, yang mungkin jauh sebelum tahun 1921 M, surau sudah ada.
Syekh Muhammad Hatta adalah tokoh ulama pencetus Basapa. Tersebut di bulan Syafar, Sapa Gadang dan Sapa Ketek. Dua tradisi yang membuat masyarakat Syattariyah seolah-olah terhipnotis, saking berdesak-desakannya kawasan makam Syekh Burhanuddin saat tradisi itu.
Basapa itu dimulai, konon setelah seratus tahun Syekh Burhanuddin wafat. Ketika Syekh Muhammad Hatta datang ke Ampalu Tinggi, berdiskusi dan minta petunjuk ke Syekh Muhammad Yatim. Diskusi panjang Syekh Muhammad Hatta dengan Syekh Muhammad Yatim di Ampalu Tinggi, tersebut dan ditetapkan tanggalnya menurut kalender Arab, kapan Basapa itu dilakukan.
Saran dan Kesimpulan
Nagari Kapalo Koto sepertinya mempunyai kewajiban melestarikan ini. Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta, yang di situ juga ada makam beliau. Melestarikan sebagai warisan budaya. Menetapkan serta mengusulkan kepada pemerintah, agar kedua bangunan itu dijadikan sebagai cagar budaya.
Apalagi, tempat itu juga sebagai lokasi ziarah banyak orang. Terutama para pandai dikie, yang menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat ziarah. Tak sekedar ziarah, tetapi mereka pun berlama di situ. Membaca dikie, yang tentunya sebagai hadiah buat tokoh yang merintis tradisi dikie itu dulunya.
Tentu penting sekali nagari melakukan kajian sejarah panjang Masjid At-Taqwa Syekh Muhammad Hatta kembali. Dengan menghadirkan pembicara yang kompeten, budayawan, sehingga kesempurnaan sejarah masjid serta tokohnya bisa diwarisi di kemudian hari. (***)