![]() |
Oleh : Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 16 September 2025
Adab beda pendapat dalam alQur’an Al-Ḥujurāt [49]: 13> “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal.” Perbedaan adalah sunnatullah, bukan alasan untuk bermusuhan.
QS. Āli ‘Imrān [3]: 159> “…Maka maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”
Musyawarah adalah adab menyikapi perbedaan.
Hadis Nabi ﷺ: > “Ikhtilāfu ummatī raḥmah” (Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat) – meskipun sanadnya diperselisihkan, makna ini diterima luas dalam tradisi Islam.
Imam Mālik: “Setiap orang bisa diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Nabi ﷺ.” Imam al-Syāfi‘ī: > “Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.” Ini bentuk kerendahan hati dalam khilāf.
Imam al-Ghazālī (Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn):
Mengingatkan murid untuk tidak tergesa-gesa menentang guru; jika berbeda, sampaikan dengan adab dan dalīl, bukan dengan hawa nafsu.
Adab dalam Berbeda Pendapat yang mesti dijalankan.
1.Ikhlāṣ niat → Perbedaan karena mencari kebenaran, bukan kemenangan.
2.Tawāḍu‘ → Menghargai pendapat orang lain, tidak sombong dengan pendapat sendiri.
3.Tabayyunun → Memeriksa dalīl dan maksud sebelum menolak atau menyanggah.
4.Musyawarah dan dialog → Menyelesaikan khilāf dengan argumentasi ilmiah, bukan emosional.
5.Tidak merendahkan → Hindari mencela, mengejek, atau mengafirkan pihak lain.
6.Menghormati otoritas ulama senior → Mendahulukan pendapat masyāyikh yang berilmu luas dan berpengalaman.
Sosiologi Agama menegaskan bahwa perbedaan pendapat adalah mekanisme dinamika sosial dalam masyarakat Muslim, yang jika dikelola dengan adab, menjadi rahmat dan inovasi.
Psikologi Komunikasi: Menunjukkan pentingnya empathy listening (mendengar dengan empati) agar tidak jatuh ke dalam konflik komunikasi.
Politik dan Hukum Islam: Khilāf fiqhiyyah harus diposisikan sebagai pluralisme hukum yang memperkaya, bukan melemahkan umat.
Adab berbeda pendapat adalah bagian dari akhlak Islami:
Menjaga hati dari kesombongan. Mengedepankan ilmu, bukan hawa nafsu. Menghargai ulama dan guru.
Mengelola khilāf sebagai rahmat, bukan sumber perpecahan. Adab menjadi penentu: apakah perbedaan pendapat melahirkan rahmat atau justru fitnah.
ADAB DENGAN MASYAIKH
Adab itu oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ulumuddin termasuk adab atau etika sesama orang berilmu atau ulama dan adab dalam memberi pengajian, menjawab pertanyaan dan menetapkan fatwa agama guna menjaga marwah ulama.
Islam menjadi redup, kehilangan sinarnya bila adab rusak. Lebih adab ulama sesamanya, dengan umat dan umat terhadap ulama. Kajian, dan fatwa agama tidak boleh lemah adabnya. Marwah ulama tercoreng bila tak beradab.
Dasar ayat berkenan adab dalam mengurus ajaran Islam di antaranya QS. Al-Isrā’ [17]: 36 – “وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ” asbābun nuzūl, tafsir klasik, tafsir kontemporer, dan kajian ilmiah.
Menurut riwayat ulama tafsir: Ibn Kathīr dan al-Wāhidī menyebutkan ayat ini turun sebagai peringatan umum kepada umat Islam agar tidak mengikuti prasangka dan kabar bohong.
Ada riwayat bahwa orang Quraisy sering membuat tuduhan palsu terhadap Nabi ﷺ, sehingga turun ayat ini sebagai larangan mengikuti ucapan tanpa dasar ilmu.
Dengan demikian, asbābun nuzūl ayat ini lebih bersifat universal, bukan kasus tertentu saja.
a. Al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān). Menafsirkan “وَلَا تَقْفُ” = jangan ikuti dan jangan berkata sesuatu tanpa bukti. Beliau menegaskan bahwa semua anggota tubuh (telinga, mata, hati) akan ditanya tentang apa yang dijadikan sandaran keyakinan.
Al-Qurṭubī (al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān).
Ayat ini mencakup larangan dusta, ghibah, dan syahādah al-zūr (kesaksian palsu). Menurut beliau, siapa yang berbicara tanpa ilmu adalah berdosa. Ayat ini menjadi dasar kewajiban tabayyunun sebelum menerima berita.
Ibn Kathīr (Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm).
Menjelaskan bahwa maksud ayat adalah larangan mengikuti prasangka (ẓann) tanpa kepastian. Ibn Kathīr menukil hadis:> “Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhārī & Muslim).
a. Sayyid Quṭb (Fī Ẓilāl al-Qur’ān)
Menafsirkan ayat ini sebagai prinsip kebebasan berpikir dalam Islam. Manusia tidak boleh berbicara atau menyebarkan kabar tanpa ilmu, karena itu akan merusak kehidupan sosial dan politik.
b. M. Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam melarang ikut-ikutan dalam keyakinan, ibadah, dan mu‘āmalah. Wala taqfu = jangan mengikuti sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Menurut Quraish Shihab, ayat ini sangat relevan di era hoaks, media sosial, dan informasi cepat.
Tantawi Jauhari
Melihat ayat ini sebagai dorongan bagi umat Islam untuk membangun tradisi ilmiah dan riset. Islam mewajibkan penggunaan akal dan pancaindra untuk memperoleh pengetahuan.
Kajian Ilmiah
Epistemologi Islam
Ayat ini adalah fondasi epistemologi Qur’ani: ilmu harus berdasarkan dalīl (naqli atau aqli). Islam menolak taqlīd buta dan asumsi tanpa bukti.
Psikologi Kognitif
Dalam psikologi modern, fenomena confirmation bias dan overconfidence sering membuat orang menyebarkan sesuatu tanpa verifikasi. Ayat ini menjadi koreksi spiritual terhadap kelemahan kognitif manusia.
Sosiologi dan Politik
Ayat ini menjadi prinsip etika sosial: jangan sebarkan gosip, fitnah, dan kabar yang tidak diverifikasi. Dalam konteks politik modern, ini adalah dasar penting bagi etika bermedia, verifikasi berita, dan anti-hoaks.
Asbābun Nuzūl: larangan mengikuti kabar dusta dan tuduhan Quraisy. Tafsir klasik: menekankan larangan dusta, prasangka, kesaksian palsu, dan bicara tanpa ilmu.
Tafsir kontemporer: relevan dengan etika informasi, kebebasan berpikir, anti-hoaks, dan riset ilmiah.
Ilmiah: ayat ini menjadi dasar epistemologi Islam dan selaras dengan teori modern tentang etika pengetahuan, psikologi kognitif, dan etika sosial-politik.
Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya Imām al-Ghazālī, bab ketujuh dari Kitāb al-‘Ilm membicarakan masalah perbedaan pendapat dengan banyak masyāyikh (guru/ulama) dan ketika dimintai fatwa. Pada jilid kedua, h. 237, al-Ghazālī menekankan beberapa hal pokok:
1. Adab Perbedaan dengan Masyāyikh
Seorang murid atau faqīh muda tidak boleh tergesa-gesa menyalahkan pendapat guru-gurunya, apalagi menganggap mereka sesat. Jika ada perbedaan, sebaiknya dibawa dengan adab, sikap tawāḍu‘, dan mencari penjelasan lebih dahulu, bukan langsung menentang.
Ulama yang lebih dahulu memiliki kedudukan, pengalaman, dan maqām yang perlu dihormati meskipun murid merasa menemukan dalil berbeda.
2. Tanggung Jawab Ketika Dimintai Fatwa
Orang yang baru belajar atau belum sampai derajat ijtihād tidak pantas terburu-buru memberikan fatwa. Menurut al-Ghazālī, memberi fatwa adalah tugas berat yang bisa menjerumuskan jika dilakukan tanpa ilmu yang mapan.
Jika ada banyak ulama di suatu daerah, seorang yang lebih muda atau belum masyhur hendaknya mendahulukan senior atau merujuk pada mereka.
3. Bahaya Mencari Popularitas lewat Fatwa
Al-Ghazālī mengecam keras orang yang berani memberi fatwa hanya untuk cari nama, pengikut, atau kedudukan.
Ilmu yang seharusnya dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Allah malah berubah menjadi alat duniawi.
Ditekankan ayat dan hadis tentang beratnya tanggung jawab ulama: “Orang yang paling berani berfatwa adalah yang paling berani masuk neraka.”
4. Jalan Pertengahan yang Disarankan
Jika seseorang diminta fatwa padahal ia tahu ada ulama yang lebih layak, maka sebaiknya ia serahkan kepada yang lebih alim. Namun, jika dalam situasi darurat dan tidak ada ulama lain, maka ia boleh menyampaikan sesuai ilmu yang yakin ia kuasai.
Intinya, adab, amanah, dan kehati-hatian lebih utama daripada keberanian yang keliru.
PENGUATAN
Penjelasan tentang Bab Ketujuh Kitāb al-‘Ilm dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn hal. 237, tentang perbedaan dengan masyāyikh dan fatwa) dengan nash (Al-Qur’an & Hadis), fatwa ulama, serta kajian ilmiah.
1. Nash (Dalil Al-Qur’an dan Hadis)
Al-Qur’an An-Naḥl [16]: 43> “Maka bertanyalah kepada ahl al-dzikr (orang yang berilmu), jika kamu tidak mengetahui.” Menjadi dasar bahwa fatwa adalah amanah ulama, bukan sembarang orang.
QS.Al-Isrā’ [17]: 36> “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” Memberi fatwa tanpa ilmu adalah bentuk mengikuti sesuatu tanpa dasar.
Hadis Rasulullah ﷺ bersabda:> “Orang yang paling berani berfatwa adalah yang paling berani menuju neraka.” (HR. ad-Dārimī).
Hadis lain:> “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari manusia, tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama. Hingga bila tidak tersisa seorang alim pun, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin; mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhārī & Muslim).
Fatwa dan Pandangan Ulama, Imam al-Ghazālī (Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz 1, h. 237): Menegaskan fatwa adalah amanah besar. Orang yang berani berfatwa tanpa menguasai maqāṣid, dalīl, dan adab, termasuk ghurūr (tertipu dirinya).
Imam an-Nawawī (al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadhdhab): “Tidak halal bagi seseorang memberi fatwa kecuali setelah memenuhi syarat ijtihād. Bila ia belum mencapai derajat itu, hendaklah ia menukil pendapat imam mujtahid yang diikuti.”
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (I‘lām al-Muwaqqi‘īn, Juz 1, h. 7):
Menyebut mufti sebagai “al-muwaqqi‘ ‘anillāh” (wakil Allah dalam menjelaskan hukum). Karena itu, ia memikul tanggung jawab agung.
MUI (Fatwa Majelis Ulama Indonesia, No. 11 Tahun 2009 tentang Kedudukan Fatwa): Menyatakan fatwa adalah jawaban resmi atas masalah keagamaan berdasarkan dalil syar‘i yang bersifat mengikat secara moral keagamaan, meskipun tidak selalu mengikat secara hukum positif.
Etika Ilmu dan Otoritas Keagamaan. Menurut al-Ghazālī, ilmu bukan hanya transfer pengetahuan, tapi juga tahdzīb al-nafs (penyucian jiwa). Maka, berfatwa tanpa adab adalah bentuk penyalahgunaan ilmu.
Sosiologi Agama. Dalam masyarakat Muslim tradisional, masyāyikh bukan hanya sumber fatwa, tapi juga moral authority. Perbedaan dengan mereka harus ditempatkan dalam kerangka “ikhtilāf rahmah” (perbedaan sebagai rahmat) bukan tafarruq (perpecahan).
Psikologi Keilmuan. Fenomena overconfidence bias dalam psikologi modern menjelaskan bahaya ulama muda yang tergesa-gesa berfatwa. Al-Ghazālī sudah mengantisipasi dengan mengajarkan tawāḍu‘ ilmiah.
Hukum Kontemporer. Dalam sistem hukum Islam modern, fatwa dianggap sebagai soft law yang berfungsi memberi panduan moral dan hukum. Karenanya, siapa yang memberi fatwa tanpa otoritas dianggap melanggar etika profesi keulamaan.
Nash Qur’an dan Hadis menekankan kehati-hatian dalam memberi fatwa. Ulama klasik dan kontemporer menegaskan fatwa hanya bagi yang memenuhi syarat ijtihād atau memiliki otoritas.
Ilmiah: secara sosiologis, psikologis, dan hukum, fatwa tanpa ilmu menimbulkan kekacauan epistemologis dan sosial.
Prinsip Adab: berbeda dengan banyak masyāyikh harus ditempuh dengan rendah hati, bukan dengan klaim menang sendiri.
Adab merupakan fondasi utama dalam berilmu, berdakwah, dan menetapkan hukum. Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan pentingnya adab dalam menyampaikan pengajian, menjawab pertanyaan, serta memberikan fatwa. Adab menjadi penentu apakah ilmu membawa keberkahan atau justru menjerumuskan.
Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas: “Wa lā taqfu mā laisa laka bihi ‘ilm” (QS. Al-Isrā’ [17]:36), jangan mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu. Ayat ini turun sebagai larangan mengikuti prasangka, gosip, dan ucapan tanpa bukti, serta menegaskan bahwa pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban. Tafsir klasik memaknainya sebagai larangan dusta, prasangka, dan kesaksian palsu, sementara tafsir kontemporer menegaskan relevansinya dalam etika informasi, riset ilmiah, dan bahaya hoaks.
Dalam dimensi ilmiah, ayat ini menjadi dasar epistemologi Islam: ilmu harus bersandar pada dalīl, bukan asumsi. Psikologi modern menguatkan bahwa bias kognitif membuat orang mudah tergesa-gesa menyimpulkan. Karena itu, Islam menuntut tabayyunun (klarifikasi) dan kehati-hatian dalam menyampaikan kebenaran.
Adab terhadap masyāyikh adalah menjaga sikap tawāḍu‘, tidak tergesa-gesa menyalahkan pendapat ulama senior, dan mendahulukan mereka dalam fatwa. Adab dalam memberi fatwa adalah mengedepankan amanah, bukan popularitas. Fatwa tanpa ilmu bukan hanya menyesatkan, tapi juga melanggar etika keilmuan. Seperti ditegaskan Rasulullah ﷺ: “Orang yang paling berani berfatwa adalah yang paling berani menuju neraka” (HR. ad-Dārimī).
Penegasan
1. Nash Qur’an Hadis dasar kehati-hatian dalam fatwa.
2. Fatwa Ulama menekankan syarat ijtihād, amanah, dan larangan ghurūr (tertipu ilmu).
3. Kajian Ilmiah fatwa tanpa ilmu menimbulkan kekacauan sosial, psikologis, dan epistemologis.
4. Prinsip Adab perbedaan dengan masyāyikh harus ditempuh dengan rendah hati, bukan klaim benar sendiri.
Adab adalah kunci menjaga kesucian ilmu dan marwah ulama, serta benteng agar umat tidak terseret oleh kesalahan fatwa, prasangka, dan kabar tanpa dasar.DS.16092025.04.