![]() |
مجلس الحديث النبويّ الشريف
MAJELIS KAJIAN HADITS BERSAMA ZULKIFLI ZAKARIA
DI RUMAH SAKIT TAMAR MEDICAL CENTRE (TMC)
Jl. Basuki Rahmat No.1 Pariaman
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
BAHASAN HADITS TENTANG MENGIMANI AZAB KUBUR
Rabu, 11 Rabi’ul Awwal 1447 H / 4 September 2025 M
Teks Hadits:
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ، عَنِ ابْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرٌو، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الحَارِثِ الأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: اشْتَكَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ شَكْوَى لَهُ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ فَوَجَدَهُ فِي غَاشِيَةِ أَهْلِهِ، فَقَالَ: «قَدْ قَضَى» قَالُوا: لاَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَبَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَأَى القَوْمُ بُكَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكَوْا، فَقَالَ: «أَلاَ تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ، وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا - وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ - أَوْ يَرْحَمُ، وَإِنَّ المَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ» وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «يَضْرِبُ فِيهِ بِالعَصَا، وَيَرْمِي بِالحِجَارَةِ، وَيَحْثِي بِالتُّرَابِ"
Telah menceritakan kepada kami Ashbagh, dari Ibnu Wahb, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku ‘Amr, dari Sa‘id bin al-Harits al-Anshari, dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, ia berkata: Sa‘ad bin ‘Ubadah pernah sakit keras. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhum.
Ketika beliau masuk dan mendapati Sa‘ad berada di tengah-tengah keluarganya (dalam keadaan sakit parah), beliau bersabda: “Sungguh ia telah wafat.”
Mereka berkata: “Tidak, wahai Rasulullah.”
Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam menangis. Ketika orang-orang melihat tangisan Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, mereka pun ikut menangis.
Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian dengar? Sesungguhnya Allah tidak mengazab karena air mata mata dan tidak pula karena kesedihan hati. Akan tetapi Dia mengazab karena ini” —
beliau menunjuk ke lidahnya— “atau memberi rahmat.
Dan sesungguhnya mayit itu diazab karena tangisan keluarganya atas dirinya.”
Dan dahulu Umar radhiyallāhu ‘anhu memukul orang (yang meratap) dengan tongkat, melempari dengan batu, dan menaburkan tanah (untuk menghentikan ratapan).
(HR. Al-Bukhārī dalam Shahih-nya, no. 1304)
Pelajaran dari Hadits ini:
Penjelasan An-Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H):
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya mayit benar-benar diazab karena tangisan keluarganya atas dirinya."
• Dalam sebagian riwayat: “dengan sebagian tangisan keluarganya.”
• Dalam sebagian riwayat: “karena tangisan orang yang hidup.”
• Dalam sebagian riwayat: “ia diazab di kuburnya karena ratapan yang dilakukan atas dirinya.”
• Dalam sebagian riwayat:
“Barangsiapa yang ditangisi atasnya, maka ia diazab.”
Semua riwayat ini datang dari Umar bin al-Khaththab dan putranya Abdullah radhiyallāhu ‘anhumā.
Namun Aisyah radhiyallāhu ‘anha mengingkarinya, dan menisbatkannya kepada kekeliruan dan lupa pada Umar serta putranya. Ia mengingkari bahwa Nabi hallallāhu ‘alaihi wasallam mengucapkan demikian, dan berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.”
(QS. al-An‘ām: 164)
Aisyah berkata:
“Sesungguhnya Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam hanya bersabda tentang seorang wanita Yahudi:
‘Sesungguhnya ia diazab dan mereka menangisinya,’ maksudnya: ia diazab karena kekafirannya dalam keadaan keluarganya menangisinya, bukan karena tangisan mereka.”
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits-hadits ini.
1. Pendapat jumhur (mayoritas):
• Hadits ini ditakwilkan bagi mayit yang berwasiat agar ditangisi dan diratapi setelah wafatnya.
• Jika wasiat itu dilaksanakan, maka ia diazab karena ratapan tersebut, sebab azab itu datang “karena sebab dirinya” dan dinisbatkan kepadanya.
• Adapun jika keluarganya menangis dan meratap tanpa wasiat darinya, maka ia tidak diazab, sesuai ayat Qur’an.
• Tradisi Arab dulu memang biasa berwasiat agar diratapi, seperti dalam syair Tharafah bin al-‘Abd:
إِذَا مِتُّ فَانْعِينِي بِمَا أَنَا أَهْلُهُ ... وَشُقِّي عَلَيَّ الْجَيْبَ يَا ابْنَةَ مَعْبَدِ
“Jika aku mati, ratapilah aku sebagaimana aku layak diratapi, dan koyakkan bajumu atas kematianku, wahai putri Ma‘bad.”
Karena kebiasaan itu umum, hadits datang dengan lafaz mutlak.
2. Pendapat lain:
• Hadits ditafsirkan pada orang yang tidak mewasiatkan larangan ratapan.
• Maka siapa yang berwasiat agar dilarang, ia tidak diazab, sebab ia sudah berlepas diri.
• Kesimpulannya: wajib bagi seseorang untuk berwasiat melarang keluarganya dari ratapan.
3. Pendapat lain:
• Ratapan yang dimaksud adalah ratapan dengan menyebut-nyebut sifat-sifat yang dianggap mulia, padahal tercela dalam syariat.
• Misalnya ucapan: “Wahai penguat wanita, wahai pemberi makan anak-anak yatim, wahai perusak peradaban, wahai pemecah persahabatan …”
• Mereka menganggapnya kebanggaan, padahal itu dosa, sehingga mayit diazab karenanya.
4. Pendapat lain (Ibnu Jarir ath-Thabari):
• Maksudnya mayit tersiksa dengan mendengar ratapan keluarganya, lalu hatinya luluh dan merasa sedih.
• Inilah yang dipilih oleh al-Qadhi ‘Iyadh dan dianggap paling tepat.
• Dalilnya: Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam pernah melarang seorang wanita menangisi ayahnya seraya bersabda: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian, jika ia menangis, sahabatnya (yang mati) ikut tersentuh (tersiksa). Wahai hamba Allah, janganlah kalian menyiksa saudara-saudara kalian.”
5. Pendapat Aisyah radhiyallāhu ‘anha:
• Makna hadits: orang kafir atau ahli dosa diazab karena dosanya, dan itu kebetulan terjadi dalam keadaan keluarganya sedang menangisinya.
• Jadi bukan karena tangisan mereka, melainkan karena dosanya sendiri.
Kesimpulan: Yang paling benar adalah pendapat jumhur: hadits-hadits ini ditafsirkan bagi orang yang berwasiat agar diratapi, atau tidak melarang keluarganya dari ratapan. Semua ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tangisan di sini bukan sekadar air mata, tetapi tangisan dengan suara keras (ratapan/niyāhah). Air mata tanpa suara adalah rahmat, bukan dosa.
(Syarh Shahih Muslim, Beirut, Dar at-Turats al-‘Arabi, th. 1392 H, 6/228-229)
Wallāhu a’lam