![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Khutbah Masjid Nurul Ilmi Unand, 26092025
Sejarah manusia selalu berada di antara dua kutub: kepastian takdir Ilahi dan ketidakpastian realitas zaman. Al-Qur’an mengajarkan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, tetapi pada saat yang sama manusia diberi ruang untuk berikhtiar, berijtihad, dan mengambil keputusan dalam menghadapi dinamika sejarah. Ketegangan kreatif antara kepastian dan ketidakpastian inilah yang melahirkan etos spiritual, intelektual, dan sosial dalam Islam.
Kepastian Takdir dalam Nash Qur’ani
Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh peristiwa di alam semesta berada dalam ketetapan Allah:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya.” (QS. Al-Hadid [57]: 22).
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar).” (QS. Al-Qamar [54]: 49).
Dua ayat ini menjadi fondasi teologis bahwa ada kepastian takdir Ilahi yang menjadi kerangka sejarah manusia.
Ketidakpastian Zaman dan Realitas Sejarah
Meski takdir bersifat pasti, manusia menghadapi ketidakpastian zaman: perubahan sosial, krisis ekonomi, konflik politik, hingga disrupsi teknologi. Al-Qur’an sendiri mengakui dinamika sejarah:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS. Ali Imran [3]: 140).
Menurut Fakhruddin al-Razi dalam Mafātīh al-Ghayb, ayat ini menunjukkan bahwa sejarah tidak linier, tetapi berputar: kadang kemenangan di pihak orang beriman, kadang di pihak musuh, semua berada dalam sunnatullah.
Ruang Ijtihad Manusia
Kepastian takdir bukan berarti fatalisme. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah menekankan adanya kasb (perolehan): manusia diberi kehendak terbatas untuk memilih jalan hidup.
Imam al-Ghazali dalam Ihyā’ Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa ikhtiar manusia adalah bagian dari rahmat Allah agar manusia memiliki peran dalam sejarah.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa perubahan sosial (ashabiyyah, peradaban, ekonomi) tidak terjadi secara otomatis, melainkan karena tindakan kolektif manusia.
Dengan demikian, ruang ijtihad manusia adalah upaya merespons ketidakpastian sejarah dengan akal, iman, dan amal, bukan pasrah buta.
Pandangan Ulama Kontemporer.
Yusuf al-Qaradhawi menyebut ijtihad sebagai mekanisme peradaban Islam untuk selalu adaptif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan nilai dasar syariat.
Muhammad Iqbal menekankan pentingnya ijtihad kreatif untuk menjawab krisis modernitas agar umat Islam tidak terjebak dalam nostalgia masa lalu atau pasrah pada ketidakpastian global.
Solusi Menghadapi Ketidakpastian Zaman
1. Tafaqquh Fiddin
Memperdalam pemahaman agama sebagai fondasi moral dan spiritual, agar ketidakpastian zaman tidak mengoyak jati diri umat.
2. Ijtihad Kolektif (Ijtihad Jamā‘ī)
Menghadapi persoalan kontemporer seperti bioetika, teknologi digital, dan krisis ekologi memerlukan ijtihad lembaga (majma‘ fiqh, MUI, dsb), bukan individual semata.
3. Etos Ikhtiar dan Tawakkal
Rasulullah ﷺ bersabda: “Ikatlah terlebih dahulu untamu, lalu bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi). Prinsip ini menegaskan keseimbangan antara usaha rasional dan ketergantungan spiritual pada Allah.
4. Optimisme Qur’ani
Ketidakpastian zaman tidak boleh melahirkan pesimisme. Allah menjanjikan: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh [94]: 6).
Kesimpulan
Al-Qur’an memberi kerangka dialektis antara kepastian takdir Ilahi dan ketidakpastian realitas sejarah. Kepastian adalah fondasi iman, sementara ketidakpastian adalah ruang ijtihad, inovasi, dan kreativitas manusia. Dengan berpegang pada nash Qur’ani, pandangan ulama, dan etos ikhtiar-tawakkal, umat Islam dapat menjadikan ketidakpastian zaman sebagai peluang membangun masa depan yang lebih beradab.
Tulisan ini menegaskan keseimbangan antara kepastian takdir Ilahi dan ketidakpastian zaman. Dalam Al-Qur’an, takdir adalah bingkai pasti yang menjadi dasar keimanan. Namun, realitas sejarah dan dinamika sosial tidak pernah linier—ia penuh ketidakpastian, pergiliran, dan ujian. Justru di ruang ketidakpastian inilah manusia diuji untuk berijtihad, berikhtiar, dan mengambil peran aktif dalam sejarah.
Ulama klasik dan kontemporer sama-sama menekankan bahwa kepastian takdir bukan alasan untuk fatalisme, melainkan dorongan untuk beramal, berkreasi, dan berkontribusi. Dengan demikian, iman kepada qadha dan qadar melahirkan ketenangan batin, sedangkan ijtihad dan ikhtiar melahirkan kekuatan sosial dan peradaban.
Kesimpulan
1. Takdir adalah fondasi iman – segalanya berada dalam ilmu Allah dan telah ditentukan dalam Lauh Mahfuzh.
2. Zaman penuh ketidakpastian – sejarah berputar, kadang naik-turun, kadang menang-kalah, sesuai sunnatullah.
3. Ruang ijtihad adalah amanah – manusia diberi kebebasan terbatas untuk memilih jalan hidup, sehingga tanggung jawab moral dan sosial tidak bisa dihindari.
4. Ikhtiar-tawakkal sebagai strategi – berusaha keras menghadapi tantangan sambil berserah diri kepada Allah adalah kunci menghadapi zaman modern.
5. Optimisme Qur’ani – ketidakpastian bukan untuk ditakuti, melainkan peluang membangun masa depan yang lebih beradab, karena janji Allah: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Asy-Syarh: 6).
Ketika takdir memberi kepastian dan zaman menghadirkan ketidakpastian, maka iman, ijtihad, dan ikhtiar adalah jalan umat Islam untuk menjadikan sejarah sebagai ladang amal. Dengan tafaqquh fiddin, ijtihad kolektif, etos ikhtiar-tawakkal, serta optimisme Qur’ani, umat dapat mengubah ketidakpastian menjadi peluang peradaban.