![]() |
Syekh H Ibrahim |
MU-ONLINE, -- Pagi itu komplek Pesantren Luhur Kalampaian masih sepi. Kamis 18 September 2025, saya sengaja mendatangi pesantren tertua di Padang Pariaman itu. Matahari masih full menyinari Ampalu Tinggi, Nagari Lareh Nan Panjang Selatan, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak pagi menjelang siang itu.
Disebut sebagai pesantren tertua, Luhur Kalampaian didirikan oleh Syekh Oesman pada tahun 1105 H. Ulama besar asal Lubuak Pua, bersuku Panyalai ini mengajar selama 82 tahun, yakni dari 1105 H/1687 M hingga 1187 H/1767 M. Artinya, enam tahun sebelum Syekh Burhanuddin Ulakan wafat, Pesantren Luhur Kalampaian sudah ada.
Buya Khaidir Tuanku Sutan sedang beres-beres di kediamannya di komplek pondok itu. Jejak pesantren itu besar dulunya, masih menyisakan adanya bangunan berupa asrama besar bertingkat dua.
Kamis itu tak seorang jua santri atau anak siak di situ. Dari kejauhan, terdengar bunyi tangkelek saling bertingkah. Buya Khaidir Tuanku Sutan sedang berjalan kaki pakai tangkelek, sehingga coran keliling tempat tinggalnya melahirkan bunyi dari injakan kaki beliau.
Buya Khaidir Tuanku Sutan adalah pemimpin Kalampaian Ampalu Tinggi saat ini. Dia melanjutkan kelangsungan pesantren yang didirikan Syekh Oesman ini sejak beberapa tahun terakhir. Tepatnya setelah kepemimpinan Tuanku Bakri asal Toboh Gadang.
Merujuk pada catatan dokumen Kalampaian tahun 1989, Buya Khaidir Tuanku Sutan adalah generasi ke-sembilan yang mengajar dan memimpin Kalampaian Ampalu Tinggi.
Mulai dari Syekh Oesman, Syekh Labai, Syekh Sunda Ketaping, Syekh Talawi, Syekh H Muhammad Yatim, Syekh H Ibrahim, Tuanku Sidi Nurdin, Tuanku Bakri, dan kini Buya Khaidir Tuanku Sutan.
Syekh H Ibrahim
Syekh H Ibrahim adalah Syaikhul Ma'ad Pondok Pesantren Luhur Kalampaian Ampalu Tinggi. Asal Ambung Kapur Sungai Sariak, beliau mengajar di Nagari Lareh Nan Panjang Selatan itu dari 1370 H/1950 hingga 1409 H/1988. Kurang lebih 38 tahun. Syekh H Ibrahim menerima mandat dan amanah untuk memimpin Kalampaian Ampalu Tinggi dari Syekh Muhammad Yatim.
Salah satu muridnya adalah Syekh H Salif Tuanku Sutan atau yang masyhur dengan Ungku Batang Kabung, Padang.
Syekh H Ibrahim wafat tanggal 14 Agustus 1988 disiarkan langsung oleh RRI Padang saat itu. Sayangnya, dalam catatan sejarah Pesantren Kalampaian, belum memuat riwayat hidup beliau ini. Kurang lebih beliau melayani anak siak dan masyarakat selama 38 tahun di Ampalu Tinggi.
Dari rentang waktu itu, nama Syekh H Ibrahim dan Kalampaian Ampalu Tinggi saling kejar mengejar, saking familiar dan masyhurnya. Ketika orang menyebut Surau Kalampaian, langsung teringat akan Syekh H Ibrahim. Begitu juga sebaliknya, saat nama beliau disebut, pemikiran orang akan tertuju ke Surau Kalampaian. Begitu benar ulama dulu itu berjuang, berdakwah dan mendampingi anak siak yang banyak.
Tafaqquh fiddin. Beliau mewakafkan dirinya untuk umat, tidak pernah diucapkan, tetapi langsung dari tindakan dan amalannya. Menurut berbagai sumber, Syekh H Ibrahim lama mengaji di Surau Kalampaian itu. Dia tersebut sebagai anak siak yang pintar dan cerdas. Oleh Syekh Muhammad Yatim, Syekh H Ibrahim ini disapa labai.
Labai adalah ulama di tengah masyarakat. Masjid dan surau di VII Koto Sungai Sariak itu dibawah komando labai. Kalau di masjid disebut dia labai nagari. Labai nagari adalah induk semang oleh labai kaum, yakni labai yang memimpin surau kaum.
Kenapa Syekh H Ibrahim disapa labai oleh gurunya, Syekh Muhammad Yatim? Bisa jadi sosok beliau ini saat jadi anak siak itu mencerminkan seorang pemimpin. Bisa pula gaya keseharian beliau seperti orang siak betulan, sehingga pantas dilekatkan gelar labai ke beliau.
Gaya keseharian itu, kalau labai tak pernah terbuka kepalanya. Meski dia akan mau mandi ke sungai, kepalanya tetap ditutup dengan peci atau dengan kain basahan. Jarang pakai celana panjang. Kemana pun dia berjalan selalu bersarung.
Tutup kepala bagi ulama dulu itu adalah adab. Kurang elok dan terasa ganjil, bila labai dan orang siak tidak pakai peci. Sejak zaman jadi anak siak, Syekh H Ibrahim ini dikabarkan tak pernah meninggalkan pakaian orang siak itu. Dengan demikian, beliau terkenal sebagai ulama yang alim dan malin. Alim, karena memang pintar dan rajin mengamalkan ilmunya. Kealiman Syekh H Ibrahim tercermin dari cara beliau menghadapi anak siak dan masyarakat banyak.
Dalam keseharian, beliau menghadapi anak siak yang banyak. Dari berbagai belahan daerah orang pada berdatangan mengaji ke Kalampaian Ampalu Tinggi ini. Masyarakat sekitar Ampalu Tinggi pun menjadikan Kalampaian ini sebagai tempat mengulang kaji, berwirid mingguan dengan beliau. Mengaji tubuh bahasa lainnya dari wirid kaji tarekat.
Mengabdi
Apa kaji dek baulang, pasa jalan dek batampuah, malin guru dek anak sasian. Kajian ini jadi sebutan tersendiri oleh orang surau. Dalam mengaji, kadang fatwa ini muncul, dan sepertinya memang itu ada dan fakta yang tidak bisa dibantah.
Syekh H Ibrahim setelah lama mengaji, bahkan sejak usia kecil sudah di surau, terus mengaji di Kalampaian dalam tempo yang cukup panjang, beliau diminta mengajar di Koto Laweh, Kabupaten Tanah Datar. Tentu setelah diutus oleh gurunya, Syekh Muhammad Yatim.
Koto Laweh, sebuah nagari yang terletak di Luhak Nan Tuo adalah kampung hebat dan punya peradaban panjang soal pengajian. Tersebut di Koto Laweh itu Tuanku Pamansingan. Tuanku Pamansingan lahir 1771 M, terkenal sebagai tokoh Harimau Nan Salapan dalam Perang Paderi.
Menurut keterangan sejumlah ulama di Padang Pariaman, Syekh H Ibrahim ini cukup lama mengabdi di Koto Laweh ini. Ada banyak anak asuhannya di situ. Tersebut Syekh H Salif Tuanku Sutan, pendiri Pondok Pesantren MTI Batang Kabung, Padang. Tersebut pula Syekh H Tawaf Tuanku Sidi, Syaikhul Ma'ad Madinatul Ilmi Islamiyah Buluah Kasok.
"Hanya saja Syekh H Tawaf ini sebentar saja di Koto Laweh bersama Syekh H Ibrahim. Tapi, Syekh H Salif Tuanku Sutan lebih tiga tahun di Koto Laweh ini. Lebih lama dari Syekh H Tawaf yang kabarnya enam bulan saja di Koto Laweh," cerita Jafri Tuanku Ibrahim yang didapatkan dari Jalalein Tuanku Sidi, anak dari Syekh H Tawaf.
Setelah lama mengabdi dan tinggal di Koto Laweh, Syekh H Ibrahim diminta pula balik kembali ke Ampalu Tinggi. Tahun 1950, menjelang Syekh Muhammad Yatim berpulang, beliau meminta ke Syekh H Ibrahim yang disapanya labai untuk balik pulang kampung ke Kalampaian Ampalu Tinggi.
Syekh Muhammad Yatim memandang, dari sekian banyak santri dan anak siak-nya di Ampalu Tinggi dan di luar Ampalu Tinggi, Syekh H Ibrahim ini yang pantas dan patut meneruskan kelanjutan Kalampaian Ampalu Tinggi, pesantren yang didirikan Syekh Oesman dulunya, enam tahun menjelang kepergian Syekh Burhanuddin.
Keluarga
Syekh H Ibrahim lahir di Ambung Kapur Sungai Sariak pada 1900, ayahnya Tuanku Tamban. Dengan istrinya Anduang Nona, Syekh H Ibrahim dikaruniai anak yang bernama Mansur, Murni dan Mahyuddin. Sementara, dengan istrinya Nurillah Pakandangan, beliau mendapatkan keturunan, yakni Muslim, Martini, Mitratur Rahmah dan Mardiah. Dengan istrinya Nurmali di Ambung Kapur Sungai Sariak, beliau mendapatkan keturunan, yakni Mursal, Makmur, Mafuzah, Mukhairatil Afkar, Murahmi, dan Muhammad Zen.
Beliau Syekh H Ibrahim wafat tahun 1988 di Kalampaian Ampalu Tinggi. Dimakamkan di komplek makam Kalampaian itu. Kurang lebih 39 tahun beliau mengabdi di Pesantren Luhur Kalampaian itu pasca kembali dari Koto Laweh.
Referensi:
1. Catatan sejarah Kalampaian Ampalu Tinggi tahun 1989
2. Wawancara dengan Buya Khaidir Tuanku Sutan, Kamis 18 September 2025
3. Wawancara dengan Jafri Tuanku Ibrahim, Kamis 18 September 2025
4. Wawancara dengan Tuanku M. Nazir, Rabu 17 September 2025