![]() |
المَسْؤُولِيَّةُ فِي إِطْعَامِ الأَبْنَاءِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pesan yang Menggetarkan Hati
Siang tadi, sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponselku. Isinya dari seorang sahabat yang berprofesi sebagai terapis pengobatan herbal dan bekam. Ia menulis dengan serius:
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Ustadz. Ambo sebagai pengobat tradisional dan pengobatan lainnya sepakat bahwasanya nasi goreng apalagi yang dimasak dengan suhu tinggi, disertai MSG, adalah pemicu kebinasaan seseorang. Dalam jangka panjang akan memicu tumor, kanker, tiroid, penyumbatan pembuluh darah, dan lain-lain. Kami mengkategorikan nasi goreng ini makanan sampah. Kira bagaimana hukumnya jika orang tua memberikan makan nasi goreng ini secara terus menerus kepada anaknya?"
Aku cukup tertegun membaca pesan itu. Bagaimana tidak? Santri kami sering dibuatkan sarapan dengan menu nasi goreng. Bahkan aku sendiri kerap menikmatinya di rumah makan pada malam hari.
Pertanyaan yang Membuka Dua Pintu
Ketika teman itu ke rumah, aku sedang membahas kitab Tafsīr al-Jamāl bersama seorang sahabat, pimpinan sebuah pesantren. Kami baru saja kembali dari masjid, shalat Ashar berjemaah.
Ia mengatakan bahwa ia sengaja datang karena aku belum menjawab pertanyaannya tadi. Dia maklum mungkin aku sedang sibuk. Namun kerisauannya begitu mendesak, maka ia pun mengulanginya. Ia bercerita: ada dua santri dari sebuah pesantren yang baru-baru ini datang kepadanya untuk terapi. Di leher mereka ada pembengkakan. Dan keduanya mengakui bahwa mereka hampir setiap hari makan nasi goreng.
Maka aku menjawab:
“Pertanyaan ini menyentuh dua sisi penting: kesehatan dan hukum syariat. Mari kita bahas dengan tenang dan berimbang.”
1. Sisi Kesehatan
Jika memang nasi goreng, terutama dengan MSG berlebih, minyak jelantah, atau suhu tinggi, terbukti secara medis merusak tubuh, maka ia masuk kategori madharat. Islam melarang umatnya menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan.
Allah subḥānahu wata‘ālā berfirman:
{وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (195)} [البقرة: 195]
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallāhu ‘anhu yang berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
“Bahwasanya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam menetapkan hukum: tidak boleh (menimbulkan) bahaya, dan tidak boleh (membalas) bahaya.”
(HR. Ibn Mājah, no. 2340)
Maka memberi makanan yang nyata berbahaya termasuk melanggar prinsip menjaga jiwa (ḥifzhun-nafs).
2. Sisi Hukum Syariat
Orang tua wajib memberi makanan yang halal dan baik. Allah subhānahu wata’āla berfirman:
{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (9)} [النساء: 9]
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan di belakang mereka anak-anak (keturunan) yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (keadaan) mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(QS. An-Nisā’: 9)
Bila makanan tertentu terbukti merusak kesehatan, lalu tetap diberikan secara terus-menerus, hukumnya bisa berbeda sesuai kadar bahayanya:
Jika hanya kurang sehat (tinggi minyak atau MSG, sesekali dan masih dalam batas wajar), maka makruh, karena bertentangan dengan prinsip thayyib.
Jika terbukti membahayakan nyata (hingga timbul penyakit serius), maka haram, sebab orang tua menjerumuskan anak pada bahaya.
3. Tanggung Jawab Orang Tua
Memberi makanan yang disebut “sampah” secara terus-menerus padahal tahu bahayanya, adalah kelalaian yang akan dihisab. Orang tua dituntut memberi nafkah dengan ḥalālan thayyiban, halal, baik, dan bermanfaat.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallāh ‘anhuma yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang pemimpin (penguasa) yang memimpin manusia adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ingatlah! Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Al-Bukhārī dalam Shahīh-nya, no. 2554)
Jawaban Dapur Pesantren
Setelah itu, aku teruskan pesan tersebut kepada penanggung jawab konsumsi santri di pesantren. Ia pun menjawab:
“Wa’alaikumussalam Buya… Nasi goreng kita tidak banyak MSG-nya. Malahan ana larang pakai MSG, tidak seperti di warung. Dan cara masaknya pun tidak dengan suhu yang terlalu tinggi. Bahkan sekarang ibuk dapur kalau sudah masak bumbu lalu mengacau nasi, apinya langsung dimatikan. Mungkin ke depan kita pikirkan menu yang terjangkau dan sehat untuk anak-anak.”
Alhamdulillāh, hati ini pun menjadi tenang.
Kesimpulan dan Hikmah
Nasi goreng bukanlah makanan yang haram pada dasarnya. Namun bila ia dibuat dengan cara yang membahayakan tubuh, apalagi dijadikan santapan pokok anak setiap hari, maka ia bisa menjadi sebab dosa.
Sekali-sekali boleh saja, tetapi menjadikannya makanan rutin yang merusak kesehatan adalah kelalaian dalam menjaga amanah Allah berupa anak dan tubuh.
Doa Penutup
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رِزْقِنَا، وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الشَّاكِرِينَ، وَاحْفَظْ أَبْدَانَنَا مِنْ كُلِّ دَاءٍ وَسُوءٍ، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ
Allāhumma bārik lanā fī rizqinā, waj‘alnā min ‘ibādika asy-syākirīn, waḥfaẓh abdānanā min kulli dā’in wa sū’, wahdinā subula as-salām.
“Ya Allah, berkahilah rezeki kami, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, lindungilah tubuh kami dari segala penyakit dan keburukan, serta tunjukilah kami jalan keselamatan.”
اللَّهُمَّ ارْزُقْ أَبْنَاءَنَا طَعَامًا حَلَالًا طَيِّبًا، وَصِحَّةً دَائِمَةً، وَاجْعَلْهُمْ قُرَّةَ أَعْيُنٍ لَنَا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Allāhumma urzuq abnā’anā tha‘āman ḥalālan thayyiban, wa shiḥḥatan dā’imatan, waj‘alhum qurrata a‘yunin lanā fī ad-dunyā wal-ākhirah.
“Ya Allah, anugerahkanlah kepada anak-anak kami makanan yang halal lagi baik, kesehatan yang terus terjaga, dan jadikanlah mereka penyejuk mata bagi kami di dunia dan akhirat.”
Āmīn yā Rabbal-‘ālamīn.
Pariaman, Senin, 24 Shafar 1447 H / 18 Agustus 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di: http://mahadalmaarif.com