![]() |
بُيُوتٌ بَالِيَةٌ وَعِبَرٌ بَاقِيَةٌ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Perjalanan Menuju Kuliek
Siang kemarin, Sabtu, 16 Agustus 2025, aku bersama isteri menghadiri walimah pernikahan di Kuliek, Pasar Usang, di batas antara Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang. Jalan menuju ke sana menyusuri pinggir Sungai Batang Anai yang airnya deras, mendaki dan menurun di kaki bukit yang rawan terban, serta melintasi rel kereta api Padang–Lubuk Alung yang masih aktif.
Di kiri kanan jalan terbentang ladang, hutan kecil, dan kebun masyarakat. Rumah penduduk jarang-jarang, menandakan kawasan ini belum padat perumahan. Akhirnya sampailah kami di lokasi walimah yang berlangsung di sebuah pesantren putri.
Walimah yang Syahdu
Acara pernikahan itu sederhana, namun penuh makna. Hiburan untuk tamu disajikan oleh sekitar tiga puluh santri putri. Mereka memainkan rebana sambil melantunkan syair Arab dengan suara merdu. Alunan itu bukan sekadar hiburan, tetapi menghidupkan suasana Islami, seakan mengingatkan bahwa walimah pun bisa menjadi majelis zikir.
Rumah Tua yang Memanggil
Beberapa ratus meter sebelum sampai di pesantren, mataku terhenti pada sebuah rumah tua. Rumah panggung kayu dengan atap seng berkarat, dinding hijau catnya terkelupas, dan tangga di bagian depan. Modelnya khas rumah Padang zaman dahulu, kemungkinan dibangun pada masa 1950–1960-an. Tiangnya masih kayu bulat utuh, pagar ukirnya sederhana, dan papan-papan dindingnya menandakan bekas gergaji mesin.
Seusai menghadiri walimah, aku mengajak isteriku singgah. Rumah itu sepi, tak ada penghuni. Sebagian besar kayunya lapuk dimakan usia. Namun kesenyapan itu justru seakan menyimpan suara: langkah ayah pulang dari sawah, doa seorang ibu yang lirih di malam hari, dan tawa anak-anak yang berlarian di tangga. Semua telah sirna, hanya tinggal bayangan.
Jejak Arsitektur dan Zaman
Di balik kesederhanaannya, rumah ini memuat penanda waktu. Tiang kayu bulat yang bertumpu pada batu, papan dinding bekas gergaji mesin, serta profil seng bergelombang lama menunjukkan peralihan dari bahan-bahan tradisional menuju material yang lebih praktis pada pertengahan abad ke-20. Pagar ukir sederhana dan cat minyak hijau menandakan selera masa itu: fungsional, ringkas, namun tetap menjaga harkat adat pada bentuk panggung dan tangga tengah.
Saksi Perantauan dan Perubahan Sosial
Daerah perbatasan Padang–Padang Pariaman sejak lama menjadi lintasan perniagaan dan perantauan. Banyak keluarga yang pulang dari rantau membangun rumah keluarga inti—lebih kecil dari rumah gadang kaum—namun tetap berjiwa Minangkabau. Rumah ini adalah saksi perubahan itu: dari kebersamaan rumah kaum yang besar kepada kehangatan keluarga inti, dari warna kayu alami menuju cat minyak, dari ukiran rumit menuju pola sederhana hasil mesin.
Pelajaran dari Rumah yang Lapuk
Aku teringat firman Allah subḥānahu wata‘ālā:
{أَوَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ أَفَلَا يَسْمَعُونَ (26)} [السجدة: 26]
“Dan apakah mereka tidak mendapat petunjuk, (yaitu) betapa banyaknya Kami telah membinasakan sebelum mereka dari (kalangan) umat-umat terdahulu, yang mereka berjalan (sekarang) di tempat-tempat kediaman mereka itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah). Maka apakah mereka tidak mendengarkan?”
(QS. As-Sajdah: 26)
Ayat ini terasa nyata di hadapan rumah tua itu. Kayu akan rapuh, seng akan berkarat, dan cat akan luruh. Namun ibrah tetap kekal.
Dunia hanyalah persinggahan, bukan tujuan abadi.
Juga terngiang di hati riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda:
«كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ»
“Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing, atau seorang yang sedang menempuh perjalanan.”
Dan Ibnu Umar biasa berkata: “Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi; dan jika engkau berada di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore. Ambillah dari kesehatanmu (persiapkan amal) untuk sakitmu, dan dari hidupmu untuk matimu.”
(HR. Al-Bukhārī dalam Shahih-nya, no. 6416)
Mengabadikan Ibrah
Aku meminta isteriku berdiri di tangga rumah itu. Dengan ponsel, kuabadikan satu gambar. Bukan sekadar foto, tetapi sebuah pengingat. Bahwa usia kita pun akan sama: melemah, memudar, dan akhirnya tiada. Yang abadi hanyalah amal, doa, dan ilmu yang diwariskan.
Rumah tua itu seakan sebuah kitab terbuka. Halamannya adalah papan yang retak, tintanya adalah karat di lembar seng, kalimatnya adalah sunyi yang panjang. Ia mengisahkan perubahan zaman: dari rumah kaum yang besar menuju rumah keluarga inti, dari warna alami kayu menuju cat minyak hijau, dari ukiran tradisi menuju ukiran sederhana hasil mesin. Kini ia lapuk, tetapi pesannya abadi:
“Jangan lalai. Dunia fana, akhiratlah yang kekal.”
Warisan yang Perlu Dirawat
Jika masih memungkinkan, warisan kecil seperti ini patut didokumentasikan dan diringankan bebannya: catat kisah lisan tetua sekitar, abadikan detail sambungan kayu dan pagar, bersihkan ringan dari semak. Bukan untuk memuja masa lalu, tetapi agar pelajaran yang dikandungnya tidak turut hilang bersama runtuhnya papan dan karatnya seng.
Doa Penutup:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ بُيُوتَنَا ذِكْرًا لَكَ، وَمَسْكَنًا لِرَحْمَتِكَ، وَمُتَنَزَّلًا لِسَكِينَتِكَ، وَلَا تَجْعَلْهَا مَوَاطِنَ غَفْلَةٍ وَلَا مَعَاصٍ
Allāhummaj‘al buyūtanā dzikran laka, wa maskanan liraḥmatika, wa mutanazzalan lisakīnatika, wa lā taj‘alhā mawāthina ghaflatin wa lā ma‘āshin.
“Ya Allah, jadikanlah rumah-rumah kami tempat untuk mengingat-Mu, tempat turunnya rahmat-Mu, dan tempat singgah ketenangan-Mu. Jangan Engkau jadikan rumah kami sebagai tempat kelalaian dan kemaksiatan.”
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Rabbanā hab lanā min azwājinā wa dzurriyyātinā qurrata a‘yunin waj‘alnā lil-muttaqīna imāmā.
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Furqān: 74)
Amīn, wahai Pemilik dunia dan akhirat.
Pariaman, Ahad, 23 Shafar 1447 H / 17 Agustus 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di: http://mahadalmaarif.com