![]() |
رِحْلَةُ التَّفَكُّرِ فِي قِمَمِ السَّمَاءِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm.
Pengantar
Segala puji bagi Allah subḥānahu wata‘āla yang menundukkan bumi sebagai tempat berpijak, dan meninggikan langit sebagai tanda kebesaran-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muḥammad shallallāhu ‘alaihi wasallam, suri teladan sepanjang zaman.
Tulisan ini lahir dari perjalanan udara menuju Tanah Suci. Aku ingin berbagi renungan sederhana yang lahir dari angka-angka di layar monitor pesawat, dari pemandangan di ketinggian, dan dari ayat-ayat suci yang kembali mengetuk hati. Semoga ia menjadi pengingat, bahwa bumi adalah rumah yang ditundukkan untuk kita, sedangkan dunia ini hanyalah persinggahan menuju Allah subḥānahu wata‘āla.
Angka-angka di Layar, Isyarat untuk Hati
Kita duduk di bangku pesawat menuju Jeddah. Layar monitor di depan kursi-kursi menayangkan angka-angka yang menusuk rasa: pada ketinggian sekitar 11 km, suhu luar turun hingga –46°C; di 5 km tinggal –5°C; saat mendekati 2,5 km suhu kembali 20°C; dan di bawah 1 km tercantum 30°C.
Setiap meter yang kita tinggalkan dari punggung bumi, udara kian menipis, oksigen berkurang, dan hidup normal menjadi mustahil tanpa perlindungan. Betapa tepat ayat-ayat Allah subhānahu wata‘āla: bumi adalah rumah yang ditundukkan untuk kita, sedang langit tinggi bukanlah tempat menetap bagi manusia.
Bumi: Rumah yang Disiapkan
Dari perjalanan ini kita makin yakin akan kebenaran ajaran Al-Qur’an: bumi adalah domisili kita, tempat menetap yang Allah subhānahu wata‘āla siapkan dengan seimbang—hangat, beroksigen, dan ramah kehidupan. Langit yang tinggi indah dipandang, tetapi keras bagi raga manusia. Bumi, justru, adalah pangkuan yang ditundukkan agar kita berjalan, mencari rezeki, dan beribadah.
Upaya manusia untuk mencari peluang hidup di bulan, di Mars, atau planet-planet lainnya, selalu terbentur oleh satu kenyataan: tiada tempat yang sepadan dengan bumi. Di sana tidak ada oksigen, suhu ekstrem, air sulit diperoleh, dan kehidupan nyaris mustahil bertahan. Semua usaha itu hanyalah menegaskan kembali bahwa bumi adalah anugerah yang unik, tidak tergantikan, dan memang disiapkan Allah subhānahu wata‘āla untuk manusia.
Ayat-ayat yang Meneguhkan
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang telah menjadikan bumi untukmu mudah digunakan; maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dibangkitkan.”
(QS. Al-Mulk: 15)
اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Allah subhānahu wata‘āla yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap bagimu dan langit sebagai bangunan; Dia membentuk rupamu lalu memperindahnya, dan Dia memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah subhānahu wata‘āla, Tuhanmu; Maha Berkah Allah subhānahu wata‘āla, Tuhan semesta alam.”
(QS. Ghāfir: 64)
Upaya Menembus Langit: Peringatan dari Al-Qur’an
Manusia memang diberi akal untuk menjelajah dan meneliti, hingga bisa meluncurkan roket dan satelit bahkan International Space Station (ISS) atau dalam bahasa Indonesia disebut Stasiun Luar Angkasa Internasional. Namun, Allah subhānahu wata‘āla sudah menegaskan dalam firman-Nya:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا ۚ لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ • فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Wahai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah; kamu tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar-Raḥmān: 33–34)
Menurut para ulama tafsir, ayat ini menunjukkan bahwa manusia dan jin memang diberi kemampuan untuk menembus sebagian wilayah langit dengan teknologi, tetapi tetap terbatas. Mereka tidak akan mampu melampaui batas ketentuan Allah subhānahu wata‘āla atau menjadikannya tempat tinggal. Sehebat apapun usaha, bumi tetap satu-satunya tempat domisili yang Allah tundukkan bagi manusia.
Dua Hadits untuk Musafir dan Penetap di Bumi
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ.
“Ya Allah, Engkaulah pendamping dalam perjalanan dan pengganti (penjaga) bagi keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, dan keburukan kembali (ke rumah) pada harta serta keluarga.”
(HR. Muslim no. 1342)
Doa Safar Lengkap
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ • وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ • اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ.
Latin:
Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar.
Subḥānal-ladzī sakhkhara lanā hādzā wa mā kunnā lahu muqrinīn. Wa innā ilā rabbinā lamunqalibūn. Allāhumma innā nas’aluka fī safarinā hādzā al-birra wat-taqwā, wa mina al-‘amali mā tardhā. Allāhumma hawwin ‘alainā safaranā hādzā wathwi ‘annā bu‘dah. Allāhumma anta ash-shāḥibu fī as-safar wal-khalīfatu fī al-ahl. Allāhumma innī a‘ūdzu bika min wa‘tsā’is-safar, wa kāābati al-manzhar, wa sū’i al-munqalabi fī al-māli wal-ahl.
Artinya:
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan dan ketakwaan serta amal yang Engkau ridai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini dan dekatkanlah jaraknya. Ya Allah, Engkaulah pendamping dalam perjalanan dan pengganti bagi keluarga (yang ditinggalkan). Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, serta keburukan kembali pada harta dan keluarga.”
(HR. Muslim no. 1342)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: «كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ».
“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu 'anhumā, ia berkata: Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.’”
(HR. al-Bukhārī no. 6416)
Ketika Kaki Mendarat, Hati Pun Mendarat
Angka-angka di layar mengajarkan kepada kita: naiklah setinggi-tingginya, engkau akan temukan dingin yang memaksa. Kembalilah ke bumi, engkau temukan hangat yang menenangkan. Allah subhānahu wata‘āla menundukkan bumi agar kita berjalan di atasnya, mencari yang halal, dan menyembah-Nya dengan syukur.
Namun hadits juga berpesan: jangan terlena—tinggallah di bumi seperti musafir, sebab tujuan akhirnya bukan bandara, melainkan perjumpaan dengan-Nya. Dunia adalah tempat singgah, bukan tempat tinggal abadi.
Perjalanan Menuju Tanah Suci
Perjalanan udara ini bagi kita bukan sekadar perpindahan tempat. Saat pesawat udara membawa raga-raga kita ke Tanah Suci, hati pun sejatinya sedang dijemput menuju Allah subhānahu wata‘āla. Umrah dan haji bukan hanya tentang mengunjungi Ka‘bah secara fisik, tetapi tentang mengetuk pintu Sang Pemilik Ka‘bah.
Kita memohon agar dihapuskan dosa, dikabulkan doa, dan diraih keridhaan-Nya. Ka‘bah hanyalah arah, tujuan hakiki adalah Allah subhānahu wata‘āla. Maka setiap langkah menuju Baitullah hendaknya diiringi dengan niat tulus memperbaiki diri, menyucikan hati, dan menyiapkan bekal untuk hari kembali.
Sebagaimana doa Nabi Ibrāhīm ‘alaihissalām saat membangun Ka‘bah:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ • رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu. Tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqarah: 127–128)
Dan doa beliau yang lain ketika bermunajat untuk Makkah:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrāhīm berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.’ Allah berfirman, ‘Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia ke dalam azab neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.’”
(QS. Al-Baqarah: 126)
Doa ini menegaskan bahwa perjalanan kita ke Tanah Suci tidak hanya menuju Ka‘bah, tetapi juga menuju keamanan hati dan limpahan rezeki iman yang Allah subhānahu wata‘āla janjikan.
Penutup: Pendaratan Sejati
Maka saat pesawat mendarat, kita pun hendaknya mendaratkan hati: lebih rendah hati, lebih taat, lebih bersyukur. Dari bumi kita hidup, ke bumi kita akan dikembalikan, dan dari bumi pula kita akan dibangkitkan.
✦ Perjalanan di udara sejatinya hanya sementara. Perjalanan hidup di bumi juga sementara. Tetapi perjalanan menuju Allah subhānahu wata‘āla adalah abadi.
Semoga setiap penerbangan menajamkan iman, setiap pendaratan memperkuat tekad, dan setiap langkah di bumi serta di Tanah Suci menjadi saksi syukur kita kepada Allah subhānahu wata‘āla.
Madinah al-Munawwarah, Kamis, 5 Rabi‘ul Awwal 1447 H / 28 Agustus 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di: http//mahadalmaarif.com