![]() |
اَلْمَالُ دَارُ فَنَاءٍ لَا دَارُ بَقَاءٍ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Hingga tadi malam, Sabtu 30 Agustus 2025, jagat berita tanah air kembali dikejutkan dengan kabar penjarahan rumah milik sejumlah anggota DPR yang dikenal bergelimang harta. Setelah rumah Fulan di Tanjung Priok, disusul kabar bahwa hingga malam, rumah dua anggota dewan lain yang juga kaya raya ikut dijarah massa.
Kemarahan rakyat yang meluas ini, bagaimanapun, tidak dapat membenarkan tindakan menjarah. Dalam syariat Islam, menjarah adalah makan harta orang lain dengan cara yang bāthil. Allah berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ ... ﴾
(النساء: 29.)
“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bāthil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
(QS. al-Nisā’: 29)
Penjarahan adalah dosa besar. Ia bukan jalan yang sah untuk menuntut keadilan, melainkan justru menambah kerusakan di atas kerusakan.
Hakikat Harta Menurut Sunnah
Namun, di sisi lain, peristiwa ini juga menyimpan pelajaran penting. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يقولُ ابنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قالَ: وَهلْ لَكَ -يا ابْنَ آدَمَ- مِن مَالِكَ إلَّا ما أَكَلْتَ فأفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فأبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فأمْضَيْتَ؟
“Anak Adam berkata: ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal tidaklah engkau benar-benar memiliki dari hartamu kecuali apa yang engkau makan lalu habis, atau engkau pakai lalu usang, atau engkau sedekahkan lalu kekal (pahalanya).”
(HR. Muslim, no. 2958)
Hadits ini menyadarkan kita, betapa rapuh kepemilikan manusia terhadap harta. Mobil mewah, rumah megah, jam tangan puluhan miliar – semua itu pada akhirnya akan meninggalkan kita atau kita yang meninggalkannya. Ketika rumah dijarah, barang-barang dirampas, maka hakikatnya ia hanya menegaskan kembali kebenaran sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam: harta bukanlah milik abadi kita.
Pertanggungjawaban Harta di Hari Kiamat
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa di hari kiamat, salah satu perkara pertama yang akan ditanya adalah soal harta. Beliau bersabda:
لا تزولُ قدَما عبدٍ يومَ القيامةِ حتَّى يسألَ عن عمرِهِ فيما أفناهُ ، وعن عِلمِهِ فيمَ فعلَ، وعن مالِهِ من أينَ اكتسبَهُ وفيمَ أنفقَهُ، وعن جسمِهِ فيمَ أبلاهُ
“Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya sejauh mana ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, serta tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan.”
(HR. at-Tirmidzī, no. 2417, hasan shahih)
Inilah pengadilan yang sesungguhnya. Tidak ada massa yang bisa menjarah, tidak ada ajudan yang bisa melindungi, tidak ada pagar yang mampu menghalangi.
Fikih Penjarahan dalam Syariat
Dalam fikih Islam, penjarahan atau ghashb (merampas hak orang lain dengan paksa) hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Imam al-Nawawī dalam al-Majmū‘ berkata: “Mengambil harta orang lain secara paksa adalah kezaliman nyata. Wajib mengembalikan barang yang dirampas atau mengganti nilainya.”
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأرْضِ ظُلْمًا، فإنَّه يُطَوَّقُهُ يَومَ القِيَامَةِ مِن سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barang siapa merampas sejengkal tanah, maka ia akan dikalungkan dengan tanah itu dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat.”
(HR. Muslim, no. 1610)
Ulama membedakan antara pencurian (sariqah) dan perampasan (ghashb/penjarahan). Pencurian dilakukan sembunyi-sembunyi, sedangkan penjarahan dilakukan terang-terangan dengan kekerasan. Dalam hukum syariat, keduanya haram, bahkan penjarahan lebih berat karena merusak keamanan publik.
Dengan demikian, apa yang terjadi malam ini adalah kezaliman ganda: pertama, kemungkinan kezhaliman penguasa atau orang kaya dengan lisannya; kedua, kezhaliman massa yang membalas dengan cara haram, yakni merampas harta orang lain.
Nasehat Orang Terdahulu
Para ulama salaf menekankan, harta adalah amanah yang kelak akan ditanya oleh Allah. Umar bin Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata:
حاسِبوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا، فَإِنَّهُ أَخَفُّ عَلَيْكُمْ فِي الْحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ، كَذَا الْأَكْبَرِ {يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفٰى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ}
“Hisablah (periksalah) dirimu sebelum engkau dihisab. Timbanglah amal-amalmu sebelum amalmu ditimbang. Karena sesungguhnya akan lebih ringan bagimu dalam hisab esok hari, jika engkau telah menghisab dirimu pada hari ini. Dan berhiaslah untuk menghadapi al-‘arḍ al-akbar (hari dipertunjukkannya segala amal), yaitu pada hari ketika kamu semua dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi dari-Nya.”
(Sebagaimana dalam QS. al-Ḥāqqah: 18)
Kalimat ini seharusnya membuat hati kita gentar: bagaimana mungkin kita berani mengambil harta yang bukan milik kita, sementara yang halal sekalipun akan ditanya?
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullāh, beliau berkata:
> يَا أَيُّهَا النَّاسُ، وَاللّٰهِ مَا أَعَزَّ هٰذَا الدِّرْهَمَ وَالدِّيْنَارَ أَحَدٌ إِلَّا أَذَلَّهُ اللّٰهُ تَعَالٰى يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَقَدْ ذُكِرَ أَنَّ إِبْلِيْسَ لَمَّا ضُرِبَ الدِّيْنَارُ وَالدِّيْنَارُ أَعَزَّهُمَا وَجَعَلَهُمَا عَلٰى رَأْسِهِ، فَقَالَ: مَنْ أَحَبَّكُمَا فَهُوَ عَبْدِي حَقًّا أُصَرِّفُهُ كَيْفَ أَشَاءُ
“Wahai manusia, demi Allah, tidaklah seorang pun memuliakan dirham dan dinar melainkan Allah akan menghinakannya pada hari kiamat. Telah disebutkan bahwa ketika dinar dan dirham dicetak, Iblis meninggikan keduanya dan meletakkannya di atas kepalanya, lalu berkata: Barang siapa mencintai kalian berdua, maka dia adalah hambaku yang sejati, aku akan arahkan sesuai kehendakku.”
Hikmah untuk Kehidupan Kita
Kisah malam ini memberi pesan keras bagi kita semua:
1. Jangan tertipu oleh gemerlap harta, sebab ia bukan milik sejati.
2. Jangan iri pada orang kaya, karena harta mereka adalah ujian berat yang akan dipertanggungjawabkan
3. Jangan sekali-kali mengambil hak orang lain, walaupun dengan alasan marah atau kecewa.
4. Mari kita hidup dengan kesadaran bahwa harta hanyalah titipan Allah. Yang benar-benar menjadi milik kita adalah apa yang telah kita makan, pakai, dan infakkan di jalan kebaikan. Sisanya hanyalah sementara, bahkan bisa sirna seketika.
اللّٰهُمَّ اجْعَلْ أَمْوَالَنَا عَوْنًا لَنَا عَلٰى طَاعَتِكَ، وَلَا تَجْعَلْهَا وَبَالًا عَلَيْنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ
Allāhumma aj‘al amwālanā ‘awnan lanā ‘alā thā‘atik, wa lā taj‘al-hā wabālan ‘alainā yauma nalqāka.
Artinya:
“Ya Allah, jadikanlah harta kami sebagai penolong untuk taat kepada-Mu, dan jangan jadikan ia sebagai beban yang memberatkan kami pada hari kami berjumpa dengan-Mu.”
Āmīn.
Madinah al-Munawwarah, Ahad, 8 Rabi'ul Awwal 1447 H / 31 Agustus 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di http//mahadalmaarif.com