![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 26 Agustus 2025
Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin, Jilid 2, hal. 207-215
Allah menggambarkan sifat muttaqin (orang bertakwa) pada ayat sebelumnya (Ali ‘Imrān: 133–134): Mereka dermawan di kala lapang dan sempit. Menahan amarah. Memaafkan kesalahan orang lain. Namun Allah menegaskan, takwa tidak berarti steril dari kesalahan. Orang bertakwa pun bisa tergelincir, tetapi perbedaan mereka dengan orang lalai adalah sikap setelah jatuh.
Makna Kunci Ayat فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ segera sadar, mengingat Allah, dan memohon ampun. Dalam psikologi modern: self-awareness (kesadaran diri) dan coping mechanism (cara merespons kesalahan dengan perbaikan).وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ pengakuan monoteistik bahwa Allah satu-satunya tempat ampunan, bukan makhluk, bukan sistem. Dalam tafsir kontemporer: ini meneguhkan spiritual healing – hanya Allah yang bisa memulihkan luka batin akibat dosa.وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ tidak terus-menerus membandel dalam dosa, padahal sadar itu salah. Dalam bahasa kini: taubat sejati berarti memutus siklus toxic (perilaku merusak berulang), bukan sekadar ritual istighfar tanpa perubahan perilaku.
a. Dimensi Spiritual. Ayat ini menekankan rekonsiliasi diri dengan Allah. Dalam konteks modern, manusia hidup di tengah godaan materialisme, hedonisme, bahkan digitalisasi dosa (pornografi, hoaks, korupsi digital). Ayat ini menjadi pedoman: yang penting bukan “tidak pernah salah”, tetapi kemampuan untuk bangkit kembali (resilience spiritual).
b. Dimensi Psikologis. Istighfar adalah terapi batin. Penelitian psikologi positif menegaskan, orang yang mampu mengakui kesalahan dan mencari pengampunan cenderung lebih sehat mentalnya. Mengulang-ulang dosa tanpa koreksi menimbulkan guilt feeling kronis yang berujung depresi.
c. Dimensi Sosial. Kesadaran individu berpengaruh pada kesehatan sosial. Koruptor, misalnya, seringkali tahu salah tapi ishrār (bersikeras) melakukannya. Ayat ini mengingatkan bahwa taubat sejati bukan hanya urusan spiritual, tapi juga tanggung jawab sosial: memperbaiki kesalahan terhadap orang lain (rekonsiliasi sosial).
d. Dimensi Etik dan Hukum. Dalam kerangka fiqh dan etika publik, dosa yang terkait hak Allah cukup dengan taubat. Tetapi bila dosa menyangkut hak manusia (kezaliman, korupsi, fitnah), maka taubat harus disertai pengembalian hak dan permintaan maaf.
4. Relevansi Kekinian.
Budaya Instan Taubat – Banyak orang merasa cukup dengan istighfar di lisan, tapi tetap mengulangi dosa yang sama. Ayat ini meluruskan: taubat sejati adalah perubahan perilaku. Digital Sin – Dosa yang direkam digital (misalnya ujaran kebencian, fitnah, pornografi) tidak hilang hanya dengan istighfar. Harus ada rekonsiliasi digital: menghapus, klarifikasi, dan memperbaiki. Leadership & Public Ethics – Pemimpin yang jatuh dalam penyalahgunaan kekuasaan harus fal yastaghfiru (memohon ampun kepada Allah) dan walam yushiru (tidak mengulanginya). Jika tidak, maka ia terjebak dalam ishrār yang menimbulkan krisis kepercayaan publik.
QS. Āli ‘Imrān: 135 menegaskan bahwa: Orang beriman bukanlah orang yang tidak pernah salah, tetapi orang yang segera sadar, bertaubat, dan berubah. Istighfar tanpa perbaikan hanya formalitas. Taubat sejati mengandung unsur spiritual, psikologis, sosial, dan etik. Ayat ini sangat relevan di era modern sebagai panduan resiliensi moral dan terapi batin.
Rekonsiliasi Dosa secara bahasa, rekonsiliasi berarti perbaikan hubungan, penyelarasan kembali, atau perdamaian setelah terjadi perselisihan. Dalam konteks dosa, rekonsiliasi adalah proses seorang hamba menyadari kesalahannya, bertaubat kepada Allah, dan memperbaiki hubungan spiritual dengan-Nya. “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya…” (QS. At-Tahrim: 8). Artinya, rekonsiliasi dosa menuntut taubat nasuha: penyesalan mendalam, meninggalkan dosa, berniat tidak mengulang, dan memperbaiki amal.
Arti Rekonsiliasi Kezaliman. Kezaliman menyangkut pelanggaran hak orang lain (baik materi, kehormatan, maupun jiwa). Rekonsiliasi kezaliman berarti memulihkan hubungan sosial dengan korban kezaliman, melalui meminta maaf dan mengakui kesalahan. Mengembalikan hak (harta, tanah, amanah). Menebus kesalahan dengan kebaikan (shadaqah, silaturahim, atau perjanjian damai). Rasulullah SAW bersabda:“Barang siapa menzalimi saudaranya pada kehormatan atau sesuatu, hendaklah ia meminta kerelaannya hari ini juga, sebelum datang hari (kiamat) yang tiada dinar dan dirham…” (HR. Bukhari).
Ulama fiqh menegaskan: dosa kepada Allah diselesaikan dengan taubat nasuha, sedangkan dosa kepada manusia harus diselesaikan dengan mengembalikan hak (raddu al-mazhalim). Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (Kitab al-Taubat) menjelaskan bahwa orang yang bertaubat dari dosa kezaliman harus menyelesaikan urusan dengan manusia lebih dahulu, sebab Allah tidak mengampuni dosa yang berkaitan dengan hak orang lain kecuali setelah mendapat kerelaan dari pemilik hak.
Rekonsiliasi dosa dan kezaliman memiliki makna penyembuhan jiwa: Rasa bersalah yang tidak ditangani → menimbulkan stres, depresi, bahkan putus asa. Rekonsiliasi → menghadirkan catharsis (kelegaan batin) karena dosa diakui, dimaafkan, dan ditutup dengan amal kebaikan. Psikologi positif menyebut ini sebagai proses forgiveness and reconciliation therapy, yang menumbuhkan ketenangan, empati, dan hubungan sosial yang sehat.
Esensi Rekonsiliasi Dosa dan Kezaliman
1. Keseimbangan Hak Allah dan Hak Manusia.
Hak Allah dapat ditebus dengan taubat nasuha: menyesal, berhenti, dan bertekad tidak mengulangi. Hak Manusia tidak cukup dengan istighfar, melainkan harus ada pemulihan hubungan: mengembalikan hak, meminta maaf, atau mendoakan kebaikan. Hadis Nabi ﷺ: “Tunaikanlah hak-hak itu sebelum datang hari kiamat, di mana tidak ada dinar dan dirham, melainkan pahala dan dosa.” (HR. Bukhari).
2. Rekonsiliasi sebagai Jalan Kesucian
Imam al-Ghazali menekankan bahwa kezaliman kepada sesama akan menjadi beban di akhirat bila tidak ditunaikan di dunia. Rekonsiliasi (al-islah) adalah upaya menutup luka sosial, memulihkan hubungan, dan menjaga ukhuwah. Inilah inti ajaran tasawuf: membersihkan diri dari dosa kepada Allah sekaligus membersihkan hati dari kebencian sesama.
3. Dimensi Psikologis
Rasa bersalah (guilt) dan rasa malu (shame) adalah beban batin akibat kesalahan. Jika tidak diselesaikan, akan menimbulkan kecemasan, depresi, bahkan konflik berkepanjangan. Permintaan maaf, pengembalian hak, dan doa kebaikan adalah bentuk terapi rekonsiliasi, yang mengembalikan kesehatan jiwa dan memperkuat harga diri. Dengan rekonsiliasi, pelaku merasa lega, korban merasa dihargai, dan masyarakat mendapat kedamaian.
4. Esensi Utama
Rekonsiliasi dosa dan kezaliman adalah perpaduan antara taubat spiritual dan rekonsiliasi sosial. Ia menegaskan bahwa dosa bukan sekadar hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga horizontal dengan manusia. Kesempurnaan taubat hanya tercapai jika kedua sisi ini ditunaikan.
Jadi, esensi rekonsiliasi dosa dan kezaliman adalah penyucian diri dari kesalahan dengan taubat kepada Allah serta pemulihan hubungan dengan manusia melalui pengembalian hak, permintaan maaf, dan amal kebaikan; yang sekaligus menjadi terapi spiritual dan psikologis.
5. Langkah Keluar dari Kesalahan
Imam al-Ghazali membagi kaifiyat menjadi beberapa cara: Taubat kepada Allah. Dengan istighfar, menyesali dosa, meninggalkan maksiat, dan bertekad tidak mengulangi.
Mengembalikan Hak. Jika kesalahan berupa materi (harta, barang, utang), wajib dikembalikan atau diganti. Meminta Halal (al-Istihlal). Jika berupa ucapan (ghibah, fitnah, celaan), wajib mendatangi orang tersebut dan meminta maaf, atau minimal mendoakan kebaikan untuknya jika permintaan maaf justru menambah masalah.
Mendoakan Kebaikan dan Menyebutkan Kebaikan. Sebagai penebusan ghibah, seseorang dianjurkan memperbanyak doa ampunan untuk orang yang digunjing, serta menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis lain. Sedekah dan Amal Jariyah. Untuk menghapus dosa sosial yang tidak bisa dikembalikan secara langsung (misalnya korban sudah meninggal), Imam al-Ghazali menganjurkan memperbanyak sedekah atas nama orang yang dizalimi.
Dasar Al-Qur’an dan Hadis
QS. An-Nisa: 10: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya mereka itu menelan api ke dalam perutnya...” QS. Ali Imran: 135: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat Allah lalu memohon ampun...” Hadis: “Barang siapa menzalimi saudaranya, hendaklah ia meminta halal darinya sebelum datang hari kiamat, yang saat itu tidak ada dinar dan dirham, melainkan pahala dan dosa.” (HR. Bukhari).
6. Kesulitan Keluar dari Dosa Sosial.
Dosa kepada Allah bisa dihapus dengan taubat. Dosa kepada manusia akan terus membebani hingga ia ridha, atau Allah sendiri yang memutuskan dengan keadilan-Nya di akhirat. Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menekankan: lebih baik menjaga diri sebelum jatuh dalam kezaliman, daripada bersusah payah menebusnya.
7. Relevansi Praktis
Dalam konteks sekarang, bab ini mengajarkan etika rekonsiliasi dan restorative justice. Jika kita menyakiti orang lain di media sosial, keluarga, atau organisasi, tidak cukup hanya beristighfar — harus ada pemulihan hubungan. Bab ini relevan untuk pendidikan moral, hukum Islam, bahkan rekonsiliasi sosial-politik di masyarakat.
Kesalahan (khatha’) dan kezaliman (zulm) adalah dua sisi gelap dalam perjalanan hidup manusia. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (juz II, bab keempat) mengajarkan kaifiyat (cara) agar seorang Muslim dapat keluar dari jerat dosa dan kezaliman, baik yang menyangkut hak Allah maupun hak manusia. Artikel ini mencoba menguraikan gagasan al-Ghazali dengan melibatkan nash Al-Qur’an dan hadis, fatwa ulama, serta kajian psikologis modern sehingga dapat menjadi pedoman rekonsiliasi spiritual dan sosial.
Penguatan
Keseimbangan Vertikal dan Horizontal.
Rekonsiliasi dosa dan kezaliman menegaskan keseimbangan antara ḥuqūqullāh (hak Allah) dan ḥuqūq al-‘ibād (hak manusia). Dalam pandangan al-Ghazali, taubat nasuha adalah jalan kembali kepada Allah, sedangkan raddu al-mazālim (pengembalian hak) adalah syarat sahnya rekonsiliasi dengan manusia. Ini menunjukkan bahwa agama Islam tidak hanya menekankan ibadah ritual, tetapi juga menuntut etika sosial yang adil dan beradab.
Kekuatan Hadis dan Fatwa Ulama.
Hadis Nabi ﷺ yang menekankan pentingnya “meminta kerelaan hari ini juga sebelum datang hari tanpa dinar dan dirham” (HR. Bukhari) memperlihatkan urgensi penyelesaian konflik sosial di dunia. Ulama fiqh sepakat bahwa dosa yang menyangkut hak orang lain tidak bisa gugur hanya dengan istighfar. Fatwa klasik dan kontemporer juga mendukung konsep ini, bahkan dalam kerangka hukum modern, ia sejalan dengan gagasan restorative justice.
Psikologi Rekonsiliasi
Kajian psikologi modern menguatkan bahwa rekonsiliasi adalah proses terapi jiwa. Perasaan bersalah yang diselesaikan dengan permintaan maaf, pengembalian hak, atau sedekah melahirkan catharsis (kelegaan batin). Sebaliknya, rasa bersalah yang dipendam dapat berubah menjadi trauma, depresi, dan konflik batin. Dengan demikian, ajaran Ihya’ Ulumuddin terbukti kompatibel dengan ilmu psikologi kontemporer.
Relevansi Kontekstual
Di era media sosial dan konflik sosial-politik, konsep rekonsiliasi ini bukan sekadar ajaran klasik, tetapi menjadi tuntunan praktis. Fitnah digital, ujaran kebencian, dan perpecahan sosial hanya bisa dipulihkan dengan pendekatan al-islah (perdamaian). Maka, ajaran Imam al-Ghazali perlu dihadirkan kembali dalam diskursus pendidikan moral, hukum Islam, dan budaya damai di masyarakat modern.
Konklusi
Rekonsiliasi dosa dan kezaliman adalah jalan penyucian diri yang menyatukan tiga dimensi: Spiritual: taubat nasuha sebagai ikatan kembali kepada Allah. Sosial: pemulihan hubungan dengan sesama melalui pengembalian hak, permintaan maaf, dan amal kebaikan. Psikologis: penyembuhan jiwa dari rasa bersalah dan luka batin, menuju ketenangan (sakīnah) dan keseimbangan hidup.DS.25082025.
Imam al-Ghazali dengan tegas mengingatkan bahwa taubat sejati tidak sempurna tanpa rekonsiliasi sosial. Dosa pribadi bisa dihapus dengan istighfar, tetapi dosa sosial hanya bisa terhapus bila korban dizalimi memaafkan atau haknya dikembalikan.
Dengan demikian, rekonsiliasi dosa dan kezaliman adalah manifestasi dari Islam sebagai agama rahmat, yang mengajarkan penyucian diri, keadilan sosial, dan perdamaian hati. Ia menjadi pedoman untuk membangun masyarakat yang damai, adil, dan bermartabat—dimulai dari penyucian individu hingga terciptanya harmoni kolektif.