![]() |
Oleh: Ridwan Arif, S.Fil.I, M.I.S., Ph.D, Tuanku Bandaro
ASAL USUL KETURUNAN DAN KELUARGA
Nama kecil beliau ialah Zubir. Tuanku Kuniang adalah gelar anugerah dari gurunya setelah dipandang layak menjadi guru. Kata “Kuniang” dalam gelar “Tuanku Kuniang” merujuk kepada warna kulitnya yang kuning langsat. Di kalangan masyarakat dan murid-muridnya, ia lebih masyhur dengan panggilan “Buya Ungku Kuniang” atau “Buya Surau Batang Kapecong” atau “Buya Surau Lubuak Tajun”. Surau Batang Kapecong adalah nama tradisional dari pesantren yang ia dirikan dan ia pimpin yaitu Pondok Pesantren Darul Ikhlas I, sedangkan Surau Lubuak Tajun nama tradisional dari pesantrennya yang lain yaitu Pondok Pesantren Darul Ikhlas II. Selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Buya Ungku Kuniang”.
Buya Ungku Kuniang dilahirkan di Korong Kampuang Paneh, Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman dari pasangan Haji Syamsuddin dan Hajjah Tiramaik pada tahun 1942. Buya Ungku Kuniang memiliki dua orang istri yaitu Hajjah Zulbaidah (menikah pada tahun 1964) yang berasal dari Korong Toboh Ketek, Nagari Toboh Ketek, dan Hajjah Yuslimar (menikah pada tahun 1975) asal Korong Sarang Gagak, Nagari Pakandangan, keduanya dari Kecamatan Enam Lingkung. Ketika menikah dengan isteri pertama, Buya Ungku Kuniang masih berstatus sebagai santri (“pakiah” dalam istilah Pariaman), yaitu tiga tahun sebelum dianugerahi gelar “tuanku”.
Dengan isteri pertama Buya Ungku Kuniang dikaruniai dua orang anak yaitu Mukhlis, Tk. Bagindo dan Ibnu Ruslan (meninggal pada umur lebih kurang 2 tahun), sedangkan dengan isteri kedua ia dianugerahi tiga orang anak yaitu H. Suhaili, Tk. Mudo; aminullah (meninggal pada umur lebih kurang 1 tahun); dr. Hj. Nelly Azmi dan siti Fatimah Zahra (meninggal pada umur lebih kurang 3 hari).
RIWAYAT PENDIDIKAN
Sebagaimana kebiasaan anak-anak Minang, Buya Ungku Kuniang memperoleh pendidikan awal keagamaan yaitu pelajaran membaca al-Qur’an dari orang tua dan surau di kampungnya. Pendidikan formalnya ialah Sekolah Rakyat (kini dikenali dengan Sekolah Dasar).
Setelah menamatkan pendidikan di SR, ia diantar oleh orang tuanya ke surau (pondok pesantren) untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman yang dalam istilah Minangnya disebut “mangaji”. Guru beliau yang pertama ialah Syekh Buya Ungku Andah yang mengajar di suraunya (pesantren) di Sarang Gagak, Nagari Pakandangan. Syekh Buya Ungku Andah adalah murid dari Syekh Kamumuan (memiliki nama Buyuang Kandang). Syekh Kamumuan adalah kakek dari Syekh Buya Mato Aie (Syekh Abdul Razak) dan menantu dari Syekh Aminullah (Syekh Mato Aie). Kelak Syekh Buya Ungku Andah ini menjadi bapak mertua dari Buya Ungku Kuniang.
Setelah belajar lebih kurang dua tahun dengan Syekh Ungku Andah, sang guru memerintahkan Buya Ungku Kuniang untuk belajar dengan anaknya, Buya H. Mansuruddin, Tk. Bagindo yang memimpin surau (pesantren) di Lubuak Ipuah. Tidak lama belajar di Surau Lubuak Ipuah, yaitu lebih kurang satu tahun, sang guru meminta Buya Ungku Kuniang untuk pindah mengaji ke Surau Kabun, Kecamatan Ulakan Tapakis (sekarang dikenali dengan Pondok Pesantren Syekh H. Musa), salah satu pesantren terkenal di daerah pesisir Minangkabau pada masa itu. Pesantren ini dipimpin oleh seorang ulama Syathariyah terkemuka di daerah Padang Pariaman yaitu Syekh H. Musa, Tk. Sidi Basa.
Tentang perintah dua orang guru pertama yang menyarankan untuk pindah belajar (mengaji) ke surau lain, Buya Ungku Kuniang pernah bercerita, sebagaimana diriwayatkan oleh salah seorang muridnya, Syamsul Bahri, Tk. Bandaro Sati, “Ketika Syekh Buya Ungku Andah dan Buya Mansur meminta saya pindah belajar, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah gerangan yang menyebabkan sang guru memerintahkan saya pindah mengaji ke surau lain? Namun pada waktu itu saya tidak berani untuk bertanya”. Teka-teki itu terjawab ketika di kemudian hari Syekh Buya Ungku Andah melamar Buya Ungku Kuniang untuk menjadi menantunya (dalam adat Pariaman, dalam masalah pernikahan/perkawinan, pihak pengantin perempuan meminang calon pengantin lelaki). Jadi, jelas Buya Ungku Kuniang, mungkin Syekh Buya Ungku Andah dan Buya Ungku Mansur kurang nyaman mengajar calon menantu dan calon adik ipar (urang sumando). Apalagi misalnya ketika menjelaskan materi pengajian fiqh yang berkaitan dengan masalah perempuan.
Setelah belajar lebih kurang delapan tahun di Surau Kabun, pada tahun 1967 Buya Ungku Kuniang dianugerahi gelar “Tuanku Kuniang”. Pemberian gelar Tuanku Kuniang menandakan ia dipandang telah memiliki ilmu agama yang memadai dan karena itu telah layak dan diberi izin (ijazah) untuk menyampaikan dan menyebarkan ilmu yang telah didapatkan kepada masyarakat.
Walaupun sudah dianugerahi gelar tuanku yang menandakan ia sudah layak menyebarkan ilmu yang dimiliki kepada umat, namun Buya Ungku Kuniang masih tetap tinggal di almamaternya, Surau Kabun. Di samping terus memperdalam ilmu dengan gurunya, ia mengabdi sebagai guru bagi para yunior dan kadang-kadang mewakili gurunya mengajar di tingkat yang paling tinggi ketika sang guru berhalangan. Setelah mengabdi lebih kurang dua tahun di almamaternya, tibalah saatnya bagi Buya Ungku Kuniang untuk menetap di kampung halaman, mendidik generasi muda dan menyebarkan ilmu yang telah dimiliki kepada masyarakat.
Buya Ungku Kuniang adalah seorang yang memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Walaupun ia telah mendirikan pesantren di kampung halaman, bersama dua orang saudara sepupu sekaligus seniornya di Surau Kabun yaitu Syekh. H. Nashruddin, Tk. Sinaro dan Syekh H. Mansurdin, Tk. Muncak, Buya Ungku Kuniang masih terus belajar. Kali ini ia mendalami ilmu tasawuf melalui Kitab al-Hikam dan Tarekat Syathariyah dengan Syekh Abuya Mato Aie. Sejak itu Buya Ungku Kuniang resmi menjadi murid Syekh Buya Mato Aie dalam bidang tasawuf/ Tarekat. Walaupun sebelumnya ia sudah ber-bai’at Tarekat Syathariyah dengan gurunya Syekh H. Musa di Tapakis, namun kemudian ia memperdalam kajian tasawuf/ Tarekat Syathariyah ini dengan Buya Mato Aie. Hal ini, menurut penuturan puteranya H. Suhaili Tk. Mudo, adalah arahan dari Syekh H. Musa sendiri. “Nanti kalau tuanku sudah menetap di kampung perdalamlah ilmu tasawuf/ tarekat dengan Ungku Mato Aie”, begitu arahan dari Syekh H. Musa. Dengan demikian secara resmi silsilah Tarekat Syathariyah yang diturunkan oleh Buya Ungku Kuniang kepada para muridnya adalah melalui Syekh Buya Mato Aie. Secara umum, walaupun sudah mendirikan pesantren dan sudah memiliki banyak santri, Buya Ungku Kuniang tetap berada di bawah bimbingan Syekh Buya Mato Aie sampai wafatnya sang guru.
PAHAM KEAGAMAAN
Sebagai seorang ulama Tarekat Syathariyah, dalam pandangan keagamaan Buya Ungku Kuniang mengikuti paham keagamaan guru-guru beliau yang bersilsilah kepada Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh ‘Abdul Ra’uf al-Fanshuri al-Singkili yaitu mengikuti aliran Ahl Sunnah wal-Jama’ah dalam konsep Imam Abu Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dalam akidah, Mazhab Syafi’i dalam fikih dan, Tarekat Syathariyah dalam tasawuf. Beliau memegang teguh paham keagamaan ini. Ia berpesan kepada murid-murid dan jama’ahnya untuk senantiasa istiqamah dalam meyakini dan mengamalkan paham keagamaan yang ia warisi dari guru-gurunya.
PENGABDIAN DAN KONTRIBUSI
Mendirikan Pondok Pesantren
Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Surau Kabun Tapakis, dan dilanjutkan dengan mengabdi di almamater selama lebih kurang dua tahun, sekitar tahun 1969 Buya Ungku Kuniang pulang ke kampung halaman untuk menyebarkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapatkan kepada generasi muda dan masyarakat. Ketika hendak berangkat pulang, sang guru yaitu Syekh H. Musa menginstruksikan kepada beberapa orang santrinya untuk ikut bersama Buya Ungku Kuniang. Dengan kata lain, sang guru memberi amanah kepada Buya Ungku Kuniang untuk membuka surau (pesantren) baru di kampungnya. Maka ikutlah beberapa orang santri (sebelas orang) dengan Buya Ungku Kuniang. Di kampung halaman, yaitu Kampung Paneh, Buya Ungku Kuniang mengajar santri tidak sendirian. Ia bekerjasama (berkolaborasi) dengan dua orang kakak sepupu sekaligus kakak seperguruannya (senior) yaitu Syekh. H. Nashruddin, Tk. Sinaro dan Syekh. H. Mansurdin, Tk. Muncak. Tiga orang saudara sepupu ini mendirikan surau (pondok pesantren) yang berdekatan dengan surau kaum yang sudah lama berdiri yaitu surau kaum Suku Panyalai. Surau kaum ini dikenal dengan nama Surau Kandang. Pondok pesantren yang didirikan diberi nama Pondok Pesantren Darul Ulum. Namun di kalangan masyarakat, pesantren ini lebih akrab dengan nama tradisionalnya yaitu Surau Kandang (tidak berbeda dengan nama surau kaum) atau Surau Kambie Sabatang (Kambie Sabatang adalah nama kampung kecil tempat pesantren berdiri). Dalam masa lima tahun pertama berdirinya, Pondok Pesantren Darul Ulum telah menghasilkan beberapa orang lulusan (tuanku) seperti Buya Mansur, Tk. Sutan (asal Nagari Kudu Gantiang, Kecamatan V Koto Timur), Buya H. Yunaidi, Tk. Simarajo (asal Nagari Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam), Buya Drs. Bustami, Tk. Sidi (asal Nareh, Kota Pariaman), Buya Syafi’i, Tk. Bagindo (asal Pauh V, Kota Padang), Buya Amiruddin, Tk. Bagindo (mantan Tuanku Qadhi Ulakan dan pendiri Pondok Pesantren Syekh Burhanuddin al-Muhajirin, Sungai Rotan, Kota Pariaman), dan lain-lain.
Setelah mengajar lebih kurang enam tahun di Pondok Pesantren Darul Ulum, Kampung Paneh, Buya Ungku Kuniang merintis pendirian pondok pesantren baru di kampung isteri pertamanya yaitu di Nagari Toboh Ketek, Kecamatan Enam Lingkung. Lembaga pendidikan baru ini diberi nama Pondok Pesantren Darul Ikhlas. Masyarakat dan para murid lebih akrab menyebut dengan nama tradisionalnya yaitu Surau Batang Kapecong. Batang Kapecong adalah nama sungai yang berdekatan dengan komplek pesantren. Murid pertama pesantren ini adalah dua santri yang diutus oleh Syekh Haji Musa, Tapakis yaitu Bakri (kelak diberi gelar Tuanku Kuniang) dan Syahril (kelak diberi gelar Tuanku Sutan).
Pada tahun 1975 Buya Ungku Kuniang menikah dengan isteri kedua yaitu Hajjah Yuslimar yang berasal dari Korong Sarang Gagak, Nagari Pakandangan, tidak jauh dari kampung isteri pertama. Di kampung isteri kedua ini Buya Ungku Kuniang merintis pendirian pesantren baru. Pesantren ini juga diberi nama Pondok Pesantren Darul Ikhlas. Disebabkan sebelumnya sudah berdiri Pondok Pesantren Darul Ikhlas di Toboh Ketek, maka yang pertama ditambahkan angka I (Pondok Pesantren Darul Ikhlas I) dan yang kedua ditambahkan angka II (Pondok Pesantren Darul Ikhlas II). Di kalangan masyarakat dan murid-murid, pesantren terakhir ini lebih dikenal dengan nama Surau Lubuak Tajun. Namun berbeda dengan pondok pesantren yang pertama (Surau Batang Kapecong), Pondok Pesantren Darul Ikhlas II dikhususkan bagi santri yang mengaji (belajar di pesantren) sambil belajar di sekolah umum seperti SMP/ MTsN dan SMA/MAN.
Pendirian Pondok Pesantren Darul Ikhlas I dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas II mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Banyak orang tua yang datang mengantarkan anak-anaknya untuk mengaji (belajar) di dua pesantren ini. Mereka berasal dari berbagai kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman bahkan dari kabupaten lain di Sumatera Barat seperti Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Darul Ikhlas I dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas II mempertahankan cara tradisional yaitu dengan sistem halaqah (tanpa sistem kelas seperti dalam sistem pendidikan modern). Di kedua pesantren ini diajarkan berbagai bidang ilmu keislaman seperti tata bahasa arab (nahwu dan sharaf), tafsir, hadis, ulum al-hadits, balaghah, sejarah nabi dan sahabat (tarikh), manthiq, ushul fiqh, fiqh, aqidah (ilmu kalam) dan tasawuf secara umum dan khusus (Tarekat Syathariyah). Dengan demikian, para santri dikader menjadi ulama yang menguasai ilmu-ilmu zahir (‘ulūm al-syarī’ah) dan ilmu batin (ilmu tasawuf dan tarekat). Dengan kata lain, para santri disiapkan menjadi pendakwah (da’i), ulama syari’at sekaligus pengembang Tarekat Syathariyah di masyarakat. Tentu saja para santri dibekali dengan kemahiran berbicara di depan umum (ceramah). Kemahiran lain yang diajarkan kepada santri adalah pertukangan baik pertukangan bangunan maupun pertukangan kayu (termasuk pertukangan perabot). Kebanyakan alumni kedua pesantren ini memiliki kemahiran pertukangan.
Pondok Pesantren Darul Ikhlas I dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas II telah melahirkan banyak lulusan yang mengabdi di berbagai profesi seperti pimpinan pondok pesantren, pendakwah (da’i), guru umat (ilmu-ilmu syari’at dan ilmu tasawuf/ Tarekat Syathariyah), guru sekolah/ madrasah, aparatur sipil Negara (ASN), dosen, birokrat, pengusahaa, penyuluh agama, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Di antara alumni yang terkemuka ialah:
Bakri, Tuanku Kuniang, da’i dan guru Tarekat Syathariyah di Nagari Toboh Ketek;
Syahril, Tk. Sutan, da’i dan guru Tarekat Syathariyah di Nagari Toboh Ketek;
Raisman, Tk. Kuniang, da’i dan guru Tarekat Syathariyah di Nagari Sikabu, Kecamatan Lubuk Alung;
Kamarudin, Tk. Panjang, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darul Hidayah, Barangan, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak. Pesantren ini kemudian dipindahkan ke Korong Tanjuang Baringin, Nagari Toboh Ketek, Kecamatan Enam Lingkung;
Ihsanul Arifin, Tk. Bagindo;
Basran, Tk. Sidi;
M. Taher, Tk. Kuniang; alumni no. 5, no. 6 dan no.7 ini adalah bersaudara kandung yang dipercaya oleh Buya Ungku Kuniang untuk memimpin dan mengajar di Pondok Pesantren Darul Muttaqin (Surau Aie Bulakan), Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar;
Iskandar Zulkarnain, Tk. Sutan, Pimpinan Pondok Pesantren Luhur Syekh Burhanuddin, Tanjung Medan, Kecamatan Ulakan Tapakis;
Sumawir, Tk. Shaliah, mantan anggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan;
Suhatri Bur, SE, MM, Dt. Putiah, Bupati Kab. Padang Pariaman periode 2021-2024;
Dr. Sawirman, M.Hum, dosen dan kepala UPT Pusat Bahasa Universitas Andalas (UNAND), Padang;
H. Amril, S.Pd., M.Pd., Tk. Kuniang, Kepala Seksi Pendidikan Islam (Pendis) Kantor Kementerian Agama Kota Pariaman dan; pendiri/pimpinan Pondok Pesantren Baitul Makmur, Nagari Padang Toboh Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis;
Zul Helmi, Tk. Sidi, mantan anggota DPRD Kabupaten Padang Pariaman;
Bahrul Fahmi, S.AP., Tk. Marajo, Kepala Seksi Pendidikan Madrasah, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tanah Datar;
Hamzah, Tk. Mudo, pimpinan Pondok Pesantren Darul Wa’izhin (Surau Batu Gadang), Balai Sabtu, Nagari Lubuk Pandan, Kecamatan 2X11 Enam Lingkung;
H. Syafrudin, Tk. Mudo, Direktur PT Bumi Madinah Ihsani (Perusahaan Tour and Travel Umrah dan Haji Plus);
H. Zuriadi ZS, A.Md, Tk. Mudo, Direktur PT Alfadani Insan Madani (Perusahaan Tour and Travel Umrah dan Haji Plus);
Banyak lagi alumni yang aktif sebagai pendakwah (da’i) dan guru umat (guru Tarekat Syathariah) baik di Sumatera Barat maupun di perantauan seperti di Kota Medan, Kota Pekanbaru, Kota Jambi, Kota Batam, Provinsi Bengkulu, Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Provinsi Jawa Barat.
Sebagai Pendakwah (Da’i)
Sejak menyelesaikan pendidikan di pesantren Buya Ungku Kuniang mulai aktif berdakwah dan menjadi guru pada pengajian-pengajian rutin di masyarakat. Dengan demikian ada dua jenis pengajian yang dihadiri oleh Buya Ungku Kuniang:
Pengajian yang bersifat insedentil di waktu-waktu tertentu, biasanya terkait dengan peringatan hari-hari besar Islam seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, peringatan Isra’ Dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, dan lain-lain. Pengajian jenis ini biasa disebut dengan istilah tabligh akbar. Dalam konteks pengajian tabligh akbar ini, Buya Ungku Kuniang tidak hanya memberikan ceramah di Kabupaten Padang Pariaman dan kabupaten-kabupaten lain di Sumatera Barat, bahkan kadang-kadang ia memenuhi undangan para perantau Minang seperti di DKI Jakarta dan sekitarnya. Perjuangan penceramah (da’i) dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat pada zaman mudanya Buya Ungku Kuniang (sekitar tahun 1970-an sampai 1980-an) sungguh luar biasa. Ini karena pada waktu itu kendaraan yang banyak dipakai di masyarakat ialah sepeda. Sangat jarang ditemui orang yang mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Pada masa mudanya Buya Ungku Kuniang mengayuh sepeda berpuluh kilometer (dari Nagari Pakandangan ke Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kecamatan Sungai Limau, atau Kecamatan Sungai Geringging misalnya) untuk memenuhi undangan dakwah.
Sebagai Guru Umat dan Pengembang Tarekat Syathariyah
Aktivitas sebagai guru agama bagi masyarakat, membimbing masyarakat dengan ilmu agama baik ilmu syariat maupun ilmu tasawuf (Tarekat Syathariyah) di beberapa surau (guru tetap). Kegiatan ini dapat dibedakan kepada:
Pengajian yang dilaksanakan di pesantrennya yaitu Pesantren Darul Ikhlas I dan Pesantren Darul Ikhlas II dan di pesantren gurunya yaitu Pondok Pesantren Luhur Surau Mato Aie. Di Pondok Pesantren Darul Ikhlas I jadwal pengajiannya ialah pada malam Rabu dan Kamis pagi (setelah shalat Shubuh); di Pondok Pesantren Darul Ikhlas II jadwal pengajiannya ialah pada malam Sabtu dan Ahad pagi (jam 10.00 pagi sampai sesaat sebelum masuk waktu shalat Zhuhur), sedangkan di Pondok Pesantren Luhur Surau Mato Aie jadwal pengajiannya ialah pada setiap Sabtu siang.
Pengajian rutin di surau-surau masyarakat di berbagai kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman seperti:
Surau Aro, Rimbo Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kec. Enam Lingkung;
Sebuah Surau di Bayue, Nagari Pauh Kamba, Kecamatan Nan Sabaris;
Masjid Rimbo Kalam, Pasir Laweh, Nagari Anduring, Kec. 2X11 Kayu Tanam;
Masjid Marantiah, Nagari Katapiang, Kecamatan Batang Anai;
Surau Tembok, Sungai Laban, Nagari Kurai Taji, Kecamatan Nan Sabaris;
Surau Banda Kaciak, Nagari Limpato Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak;
Sebuah Surau di Pauh, Nagari Katapiang, Kecamatan Batang Anai;
Majelis pengajian di surau-surau masyarakat dan di Pondok Pesantren Darul Ikhlas (I DAN II) adalah termasuk kategori pengajian khusus (pengajian tasawuf, khususnya Tarekat Syathariyah). Karena itu hanya jama’ah yang sudah mengikuti prosesi bai’at dibenarkan mengikuti pengajian ini. Walaupun pengajian ini disebut dengan pengajian tasawuf/ tarekat, namun materi yang disampaikan dalam pengajian ini tidak terbatas pada materi tasawuf/ tarekat. Buya Ungku Kuniang juga memasukkan materi tentang akidah dan fiqh. Nampaknya metode pengajian Buya Ungku Kuniang ini mengikuti metode guru beliau yaitu Syekh Abuya Mato Aie. Metode ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan (harmonisasi) pemahaman dan pengamalan tasawuf dengan syari’at. Melalui pengajian pengajian khusus ini dan melalui para santri-santrinya Buya Ungku Kuniang telah memainkan peran penting dalam pengembangan Tarekat Syathariyah di Kabupaten Padang Pariaman khususnya, di Sumatera Barat umumnya, melanjutkan perjuangan guru-gurunya. Melalui para muridnya, Buya Ungku Kuniang juga berperan penting dalam mengembangkan Tarekat Syathariyah di Ranah dan rantau yaitu beberapa kabupaten di Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Pesisir Selatan dan; beberapa provinsi di Pulau Jawa seperti Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Di Pulau Jawa Buya Ungku Kuniang telah mendirikan lebih kurang 25 majelis pengajian tasawuf/ Tarekat Syathariyah. Karena berdomisili di kampung halaman, Buya Ungku Kuniang mempercayakan pembimbingan jama’ah di setiap majelis tersebut kepada para muridnya (para tuanku alumni Pesantren Darul Ikhlas) yang berdomisili di Pulau Jawa. Biasanya ia menyempatkan mengunjungi majelis pengajian di Pulau Jawa ini setahun sekali yaitu pada bulan Sya’ban. Di antara 25 majelis pengajian ini, jama’ah di empat majelis pengajian telah berhasil mendirikan surau sebagai pusat kegiatan pengajian. Surau-surau tersebut diberi nama Surau Darul Ikhlas. Tentu saja pembangunan surau ini tidak lepas dari binaan dan bimbingan Buya Ungku Kuniang. Empat surau tersebut beserta pembimbingnya ialah: Surau Darul Ikhlas Lenteng Agung, Kota Jakarta Selatan (pembimbing: Nasril, Tk. Mudo); Surau Darul Ikhlas Sawangan, Depok (pembimbing: Ridwan, Tk. Malin); Surau Darul Ikhlas Jalur, Kota Sukabumi (pembimbing: Wadi, Tk. Kuniang); Surau Darul Ikhlas Pengalengan, Kab. Bandung (pembimbing: Wadi, Tk. Kuniang). Empat surau ini berada di bawah seorang koordinator yaitu Wadi, Tk. Kuniang.
Melakukan Pembaruan dalam Pendidikan Surau (Pondok Pesantren)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Pondok Pesantren Darul Ikhlas II (Surau Lubuak Tajun) dikhususkan bagi santri yang mengaji sambil sekolah. Artinya para santri belajar di pesantren dan juga belajar di sekolah umum seperti SMP/ MTsN dan SMA/MAN. Dengan demikian pesantren ini boleh disebut sebagai “pesantren siswa”.
Dalam hal ini Buya Ungku Kuniang telah melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan surau tradisonal yang tidak membenarkan santri mengaji sambil sekolah. Tampaknya dengan sistem ini, dalam pemikiran Buya Ungku Kuniang, pesantren bukan hanya tempat mendidik calon ulama. Semua generasi muda muslim memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan di pesantren terlepas dari cita-cita mereka seperti seperti aparatur sipil Negara, guru, dosen, birokrat, pengusaha, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Dengan bekal pendidikan agama yang didapatkan di pesantren, diharapkan ajaran Islam dapat mewarnai jiwa para santri ini kelak apapun profesi mereka. Faktanya sebagian dari alumni pesantren ini melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan menjadi sarjana. Bahkan ada di antara mereka yang melanjutkan pendidikan ke strata dua (S2) dan strata tiga (S3/ Doktoral). Di antara alumni Pondok Pesantren Darul Ikhlas II ini ialah Dr. Sawirman, M.Hum (kepala UPT Pusat Bahasa Universitas Andalas, Padang) dan H. Amril, Tk. Kuniang, S.Pd., M.Pd (Kepala Seksi Pendidikan Islam Kantor Kementerian Agama Kota Pariaman).
Menjadi Mufti Nagari Nagari Pakandangan
Kealiman Buya Ungku Kuniang dalam ilmu-ilmu keislaman terutama fiqh menjadikannya dipercaya mengemban jabatan mufti nagari pakandangan pada tahun 2008. Jabatan ini sebelumnya diemban oleh kakak sepupu sekaligus seniornya yaitu Syekh H. Nashruddin, Tk. Sinaro. Disebabkan Buya Ungku Sinaro tidak mampu lagi memegang jabatan ini karena factor usia dan kesehatan, maka ia menunjuk Buya Ungku Kuniang sebagai mufti berikutnya. Buya Ungku Kuniang memegang jabatan ini sampai akhir hayatnya.
Menulis Buku tentang Hujjah ‘Amaliah Kaum Syathariyah
Sebagai upaya membentengi amalan-amalan Kaum Syathariyah, Buya Ungku Kuniang menulis sebuah buku tentang dalil-dalil dari amalan kaum Syathariyah yang diberi judul Syifa’ al-Qulub fi Izalat al-Raib wa Taqallub (obat hati dalam menghilangkan keraguan). Amalan-amalan tersebut umumnya adalah masalah khilafiyah yang sering dipermasalahkan oleh aliran lain terutama kaum modernis seperti: masalah memulai puasa dengan melihat anak bulan (ru’yat al-hilal), masalah hisab taqwim, masalah melafazkan niat shalat (membaca ushalli), masalah khutbah dengan Bahasa Arab, masalah membaca do’a qunut dalam shalat shubuh, masalah raka’at shalat tarawih, masalah hadiah pahala dan lain-lain. Dalam buku tersebut Buya Ungku Kuniang mengemukakan dalil-dalil dari al-Qur’an, hadits dan pernyataan ulama mazhab, dalam hal ini mazhab syafi’i. Tujuan Buya Ungku Kuniang menulis karya ini adalah sebagai bekal bagi para da’i dan ulama muda Syathariyah sekaligus menunjukkan kepada pihak yang sering mengkritik amalan kaum Syathariyah bahwa amalan-amalan kaum syathariyah memiliki dalil, karena itu mari saling menghormati.
D. KEALIMAN DAN KEPRIBADIAN
Kealiman Buya Ungku Kuniang telah mulai menonjol sejak ia masih menjadi santri di Surau Kabun, Tapakis. Beliau pernah ditunjuk untuk mewakili gurunya mengajarkan kitab Khudri (kitab ilmu nahwu yang merupakan syarah dari matan Alfiah Ibn Malik). Buya Ungku Kuniang ‘alim pada berbagai cabang ilmu-ilmu keislaman yang termaktub dalam kitab kuning. Beliau mampu mengajarkan kitab Hāsyiah al-‘Allāmah al-Banānī, sebuah kitab yang terkenal dalam bidang ilmu ushul fiqh. Sudah umum diketahui di kalangan dunia pesantren, kitab ini tergolong kitab yang sukar memahaminya.
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Buya Ungku Kuniang ialah kepiawaiannya dalam berdakwah (memberikan ceramah). Sangat jarang ditemui di kalangan ulama yang memiliki kemampuan yang setara antara menguasai pemahaman kitab kuning (‘alim atau malin dalam istilah Minang-nya) dan kepiawaian dalam ceramah (berdakwah). Dalam konteks dakwah, Buya Ungku Kuniang adalah da’i berbakat. Pada masanya ia dipandang sebagai salah seorang pendakwah terkenal (da’i kondang) di Padang Pariaman khususnya, Sumatera Barat umumnya. Dalam berdakwah, Buya Ungku Kuniang sangat lihai mengemas materi dakwahnya. Di samping materi yang bersifat serius dan berkualitas, ia menyelipkan humor-humor segar untuk menarik perhatian jama’ah dan membangunkan mata yang mulai mengantuk. Materi pengajiannya jelas dan tegas dan mudah dimengerti oleh pendengar. Syekh H. Sirun, Tk. Panjang menggambarkan gaya ceramah Buya Ungku Kuniang dengan analogi ubi kayu, “Banyak daun dan banyak isi”. Maksudnya dakwahnya berisi tetapi tetap menarik karena diselingi dengan humor”.
Dari segi kepribadian, Buya Ungku Kuniang adalah seorang yang disiplin. Sebagai seorang guru yang mendidik dan mengajar santri, ia senantiasa berusaha untuk tetap hadir mengajar. Jika ia berhalangan ia menunjuk wakil yang menggantikannya dalam mengajar. Di antara murid-murid Buya Ungku Kuniang yang pernah menjadi wakilnya dalam mengajar ialah: Raisman, Tk. Kuniang; Iskandar Zulkarnain, Tk. Sutan; Buyung, Tk. Bagindo; Basran, Tk. Sidi dan; Hamzah, Tk. Mudo.
Kepribadian berikutnya dari Buya Ungku Kuniang ialah rajin dan menghargai waktu. Ia rajin bekerja, baik sebagai petani di sawah, di ladang atau sebagai tukang (tukang bangunan dan tukang perabot). Dalam hal ini ia tidak banyak berbeda dengan kakak sepupunya, Syekh H. Nashruddin, Tk. Sinaro. Pekerjaan pembangunan rumah di rumah isteri pertamanya di Toboh Ketek; dan rumah isteri kedua di Sarang Gagak; gedung-gedung pesantrennya baik di Darul Ikhlas I maupun di Darul Ikhlas II dikerjakannya sendiri dengan dibantu oleh para santri. Dengan demikian pembangunan gedung-gedung (surau dan asrama santri) di Pesantren Darul Ikhlas dikerjakan secara mandiri tanpa mengupah tukang bangunan dari luar. Pengerjaan pembangunan gedung pesantren secara mandiri ini juga kesempatan bagi santri untuk belajar ilmu/ kemahiran pertukangan. Maka tidak mengherankan pada umumnya para alumni pesantren ini memiliki kemahiran bertukang. Pada masa mudanya Buya Ungku Kuniang bahkan membuat sendiri perabot keperluan rumahnya seperti lemari pakaian, lemari hias, tempat tidur dan lain-lain.
Dalam hal pertanian, di antara jenis tanaman yang pernah diusahakannya ialah kacang tanah. Ketika ada jam’ah yang bertamu ke rumahnya, dengan gembira ia menceritakan “Kursi tamu ini adalah hasil dari berladang kacang tanah”. Bahkan pada usia yang mulai agak sepuh, di sebuah pengajian ia bercerita bahwa ia masih sempat menanam sayur kangkung. Hal ini ia ceritakan kepada jama’ah untuk memotivasi mereka agar mereka menjadi insan yang rajin dan menghargai waktu. Menurutnya, jika masyarakat kampung rajin bertani, berladang atau bercocok tanam, maka hal itu bisa menghemat pengeluaran mereka. Tidak banyak yang perlu mereka beli di pasar. Tidak perlu lahan yang luas, pekarangan rumah pun memadai untuk tempat menanam aneka jenis sayuran dan bahan masakan seperti kunyit, jahe, serai, ubi kayu, bayam dan kangkung. Bidang pertanian lainnya yang digarap Buya Ungku Kuniang ialah sawah-padi. Seorang santrinya bercerita, setiap sore setelah shalat ‘ashar, Buya menyempatkan diri pergi ke sawah. Rajinnya Buya Ungku Kuniang dalam bertani juga sebagai bagian dari upayanya memberi keteladanan kepada umat. Dalam satu ceramahnya ia pernah menyampaikan “Jangan biarkan lahan-lahan terbiar. Garaplah lahan yang ada sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus ungkapan rasa terima kasih kepada nenek moyang. Betapa nenek moyang kita dulu bersusah payah meneroka hutan belantara untuk dijadikan lahan pertanian. Sekarang kita mendapati lahan yang sudah siap pakai, kenapa masih malas?”. Dalam hal bertani, putera beliau H. Suhaili, Tk. Mudo menceritakan, Buya pergi bertani (ke sawah) juga sebagai bentuk memberi keteladanan kepada masyarakat. Ketika sawah-padi masyarakat diserang hama tikus, banyak petani yang merasa putus asa sehingga malas menggarap sawah mereka. Buya memberikan dakwah bil-hal. Ia ambil cangkul lalu pergi ke sawah. Menurutnya, sebagai orang yang beriman, musibah yang datang tidak boleh membuat kita putus asa dari rahmat Allah. Kita mesti senantiasa berusaha dan berdoa. Sikap yang mesti dipakai oleh orang beriman ialah optimis, selalu berharap akan rahmat Allah SWT. Sifat rajin dan menghargai waktu adalah dua sifat positif. Dua sifat ini juga mencerminkan aktivisme. Sifat/ kepribadian Buya Ungku Kuniang ini mematahkan tuduhan sebagian pengkritik tasawuf dan ahli sufi yang mengatakan tasawuf identik dengan sikap pasif (pasivisme dan pemalas).
Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, Buya Ungku Kuniang belajar membuat pola pakaian dan menjahit. Tidak perlu waktu lama, ia sudah berhasil membuat (menjahit) baju untuk diri sendiri. Kegiatan menjahit pakaian ini bagi nya adalah sebagai pengisi waktu senggangnya yang sebelumnya diisi dengan kegiatan bertukang. Puteranya, H. Suhaili, Tk. Mudo meminta agar ia tidak lagi terlibat dalam kerja-kerja pembangunan gedung pesantren karena alasan umur dan kesehatan.
Kepribadian lainnya dari Buya Ungku Kuniang ialah rajin membaca. Dengan kata lain, salah satu hobinya ialah membaca. Pada masa-masa senggangnya, ia gunakan untuk membaca. Sebagai seorang guru yang mengajar santri, Buya Ungku Kuniang tentu perlu membaca (muthala’ah) materi yang akan diajarakan kepada santri. Sebagai seorang pendakwah, Buya Ungku Kuniang perlu banyak membaca sebagai upaya mempersiapkan materi dakwah. Sebagai seorang ulama, guru umat dan mufti, Buya Ungku Kuniang banyak membaca agar ia mampu menjawab pertanyaan umat serta tidak salah dalam memberikan fatwa. Bahan bacaannya beragam. Ia tidak membatasi diri dengan kitab-kitab turats (kitab kuning). Ia juga membaca buku-buku umum untuk memperluas wawasan.
Kepribadian berikutnya dari Buya Ungku Kuniang ialah teguh memegang prinsip (teguh pendirian) dan tegas. Kepribadian ini jelas terlihat ketika beliau mempertahankan ajaran dan amalan-amalan (‘amaliyah) kaum Syathariyah dari serangan aliran lain (terutama kaum modernis). Walaupun ia seorang yang humoris, namun ketika mempertahankan hal-hal yang prinsip sifat tegasnya tidak bisa ditawar. Dalam hal mempertahankan prinsip tidak ada kata kompromi dalam kamus hidupnya.
Kepribadian lainnya dari Buya Ungku Kuniang ialah senantiasa tampil bersih dan rapi. Dengan kata lain ia termasuk tokoh ulama yang menjaga penampilan. Bukan hanya penampilan diri tetapi juga rumah dan komplek pondok pesantrennya senantiasa bersih dan indah. Baik bangunan rumah maupun gedung pesantrennya senantiaa direnovasi dan diperindah. Fakta ini meruntuhkan anggapan sebagian orang yang membayangkan pesantren identik dengan hal yang kumuh dan kotor.
Kepribadian Buya Ungku Kuniang yang tidak kalah menariknya ialah humoris. Sebagaimana telah disinggung di atas, Buya Ungku Kuniang ialah seorang da’i kondang yang sangat piawai dalam menyampaikan materi dakwah. Salah satu faktor kesuksesannya dalam berdakwah ialah kreativitasnya dalam membuat humor segar dalam setiap ceramahnya. Bukan hanya dalam ceramah pada acara tabligh akbar atau majelis pengajian di masyarakat, bahkan dengan murid-muridnya (para tuanku) pada pengajian alumni (kajian kitab tasawuf al-Hikam) yang dilaksanakan sebulan sekali di pesantrennya, ia juga sering menyelipkan humor. Memiliki selera humor mendatangkan manfaat tersendiri seperti mencairkan suasana, menghilangkan kebosanan dan menarik audiens untuk mengikuti pengajian sampai akhir.
Semua kepribadian yang dimiliki oleh Buya Ungku Kuniang boleh dikatakan hampir persis sama dengan kepribadian yang dimiliki oleh kakak sepupu dan seniornya yaitu Syekh. H. Nashruddin, Tk. Sinaro.
KETERLIBATAN DI DUNIA POLITIK DAN HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH
Buya Ungku Kuniang adalah seorang tokoh ulama yang menjalin hubungan baik dengan pimpinan partai politik dan pemerintah. Hubungan Buya Ungku Kuniang dengan pimpinan partai politik adalah simbiosis mutualisme yaitu hubungan saling menguntungkan. Pihak partai politik mendekati para tokoh ulama untuk mendapatkan suara yang banyak saat pemilu (pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah). Sudah jelas ulama adalah ikutan umat yang memiliki banyak jama’ah. Sementara itu tokoh ulama mendukung partai tertentu agar wakil rakyat atau kepala daerah terpilih dari partai tersebut nantinya bisa menjadi penyambung lidah jama’ah dan menunaikan hajat jama’ah dan ‘ulama . Terkait dukungan politik, Buya Ungku Kuniang mengikuti pilihan politik gurunya, Syekh Buya Mato Aie. Sebagaimana Syekh Buya Mato Aie pernah mendukung Partai Nahdlatul Ulama (Partai NU) dan kemudian pada tahun 1977 beralih mendukung Golongan Karya (setelah reformasi berganti nama menjadi Partai Golongan Karya) sampai akhir hayatnya, begitu juga dukungan politik Buya Ungku Kuniang dan tokoh ulama lainnya yang di bawah bimbingan Syekh Buya Mato Aie. Lahirnya era reformasi menyebabkan lahirnya partai-partai baru bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan. Para ulama di bawah bimbingan Syekh Buya Mato Aie berkumpul di Surau Mato Aie untuk menentukan arah dukungan politik. Pada rapat tersebut Buya Ungku Kuniang mengusulkan agar para jama’ah pengikut Syekh Buya Mato Aie tetap setia mendukung Golongan Karya (Golkar). Ia mengemukakan argumen, selama ini para wakil rakyat dari Golkar mampu dan berjasa melindungi jama’ah syathariyah di Sumatera Barat dalam mengamalkan ajaran (amaliyah) yang mereka yakini. Namun ketika berdirinya Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) pada akhir tahun 2006, Buya Ungku Kuniang beralih mendukung partai tersebut. mungkin ini faktor kedekatan hubungan Buya Ungku Kuniang dengan pendiri partai yaitu Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. wiranto melalui Jenderal TNI (Purn) R. Hartono.
Buya Ungku Kuniang adalah seorang tokoh ulama yang sering mendapat kunjungan dari pejabat dan pimpinan partai politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Di antara pejabat dan tokoh yang mengunjunginya ialah:
1. Jenderal TNI (Purn.) R. Hartono, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), pada tahun 1997;
2. K.H. Zainuddin MZ, sebagai Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR), pada tahun 2002;
3. K.H. Hasyim Muzadi, sebagai Ketua Umum Tanfidziah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada sekitar tahun 2015;
4. Drs. H. Hasan Basri Durin, Gubernur Sumatera Barat dua periode yakni 1987-1992 dan 1992-1997;
5. H. Zainal Bakar, SH, sebagai Bupati Kab. Padang Pariaman periode 1990-1993 dan Gubernur Sumatera Barat periode 2000-2025;
6. H. Muslim Kasim, S.E., M.M., Akt., Bupati Kab. Padang Pariaman dua periode yaitu 2000-2005 dan 2005-2010 dan Wakil Gubernur Sumatera Barat periode 2010-2015.
WAFAT
Buya Ungku Kuniang wafat pada hari Sabtu, 26 Muharram 1438/ 29 Oktober 2016 jam 01.00 dini hari di suraunya, Pondok Pesantren Darul Ikhlas II (Surau Lubuak Tajun) dalam usia lebih kurang 74 tahun. Kepemimpinan di dua pesantren serta majelis pengajian tasawuf (Tarekat Syathariyah) yang ditinggalkannya dilanjutkan oleh puteranya, Buya H. Suhaili, Tk. Mudo. Untuk mengenang jasanya, murid-muridnya menetapkan ziarah tahunan ke makamnya pada setiap hari Sabtu terakhir bulan Muharram. Umat telah kehilangan seorang tokoh ulama kharismatik dan multi talenta yang sukar dicari gantinya. Rasa kehilangan dan duka yang mendalam dizahirkan oleh beberapa orang tokoh ulama Padang Pariaman seperti di bawah ini:
1. Syekh H. Ali Imran Hasan (pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan): “Telah habis tempat bersandar”. Pernyataan ini beliau ulang sebanyak 10 kali.
2. Syekh H. Nashruddin, Tk. Sinaro (pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum, Kampung Paneh): “Kita telah kehilangan suluh. Terlalu cepat beliau pergi, seharusnya saya yang pergi (wafat) duluan”.
3. Tuanku Mudo Ismet Isma’il (Ketua Umum DPP Jama’ah Syathariyyah): “Beliau adalah pembimbing saya”.
Sumber data:
Wawancara dengan Buya H. Suhaili, Tk. Mudo pada tahun 2017 dan 5 Juli 2025;
Wawancara dengan Syamsul Bahri, S.Pd.I., Tk. Bandaro Sati pada dan 25 Juni 2025;
Cerita-cerita yang didengar langsung oleh penulis dari Buya Ungku Kuniang dalam ceramah-ceramahnya sepanjang penulis belajar (nyantri) di Pondok Pesantren Darul Ulum, Kampung Paneh (antara tahun 1994-2000 M);
Apria Putra, “Bila Maulid Didendangkan: Satu Waktu di Surau Lubuak Ipuah, Pariaman”, https://surautuo.blogspot.com diakses pada 1 Juli 2025.
Selesai ditulis di Nareh, 15 Juli 2025, jam 10.38 pagi