![]() |
Oleh: Armensyah Pili Tuangku Kuniang Kamulie
PADANG PARIAMAN, -- Pulo nama yang dibawanya sejak lahir. Tentunya nama yang diberikan oleh ayah dan ibunya; Daik Tanjung dan Piak Etek. Pulo lahir 1934, sebagai buah perkawinan anak dari kaum Suku Tanjung, ayahnya Pulo dengan anak dari kaum Suku Piliang, ibunya di Durian Kuniang, Nagari Sungai Sirah Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Padang Pariaman.
Pulo ini lebih masyhur dengan sebutan Buya Tuanku Kaciak Pulo. Bagi masyarakat yang seangkatan atau di atas dia, lebih banyak menyebutnya dengan Ungku Kaciak Pulo. Tapi anak sasian beliau, menyapanya dengan panggilan Buya. Maka jadilah Buya Tuanku Kaciak Pulo. Banyak berguru dan tempat mengaji dulunya, membuat beliau menjadi ulama yang istiqamah, teguh pendirian, aktif membuat dan menghidupkan wirid pengajian Tarekat Syattariyah di suraunya.
Pulo sepertinya, orang yang sejak kecil pergi mengaji. Sampai akhir hayatnya, beliau banyak menghabiskan waktunya di surau. Mengajar dan belajar. Dalam catatan dia sendiri, yang beliau tulis dalam bentuk nazam berbahasa Arab Melayu, Pulo dengan jelimet mencatat riwayat dia dalam menuntut ilmu agama di sejumlah tempat.
Pertama kali Pulo meninggalkan kampungnya, Durian Kuniang, Sungai Geringging sebelum Indonesia merdeka. Diperkirakan enam sampai tujuh tahun menjelang kemerdekaan, beliau diantar oleh ayahnya, Daik Tanjung ke Mudiak Padang, Tandikek.
Seperti diceritakannya dalam buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab Melayu itu, Pulo berangkat dari rumah orangtuanya dengan beberapa orang, dalam rombongan kecil yang dipimpin langsung oleh ayahnya. Berjalan kaki dari Sungai Geringging ke Mudiak Padang, Tandikek. Jauh. Pastilah itu. Zaman itu masih dalam suasana perang, tak mudah untuk berjalan sejauh itu. Ada rasa letih, cemas iya pula, harap pun ikut berkecamuk dalam hati dan pikiran, mengingat jalanan yang tempuh berada di hutan belantara.
Dari Durian Kuniang, rombongan kecil yang dibawa Daik Tanjung ini melewati Munggai, Nagari Sikucua. Kini masuk Sikucua Barat. Terus ke Bukit Bio-Bio, melewati Padang Alai, terus ke Gunuang Tigo. Mendaki gunung itu, lalu turun di baliknya, tiba di wilayah Mudiak Padang, Tandikek. Cemas bercampur harap yang berkecamuk dalam pikiran, pas Subuh menjelang, rombongan ini tiba di Mudiak Padang, Tandikek, tepatnya di Surau Sipinang.
Pukul empat, Subuh menjelang itu, anak siak Surau Sipinang sudah sibuk. Meski masih ada sebagian yang di tempat tidur, tapi suasana sudah mulai ribut untuk mandi dan berwudhu. Kehadiran Pulo dan rombongan ini sudah diketahui oleh sebagian anak siak Surau Sipinang itu. Melihat kondisi itu, Pulo dan rombongan segera ke tempat wudhu, mengambil air sembahyang, dan ikut Shalat Subuh berjamaah. Buya Tuanku Sutan yang memimpin Surau Sipinang jadi imam Shalat Subuh kala itu.
Buya Tuanku Sutan ini adalah ulama yang harum namanya. Memimpin anak siak mengaji di Surau Sipinang, Mudiak Padang. Sampai ke Durian Kuniang, Sungai Geringging kebesaran nama beliau Buya Tuanku Sutan bergema. Tak terkecuali Daik Tanjung, ayah Pulo. Maka niat untuk mengantarkan anak mengaji, Daik Tanjung langsung ke Mudiak Padang ini, tempat Buya Tuanku Sutan mengajar.
Sehabis Subuh, Daik Tanjung langsung mendatangi Buya Tuanku Sutan. Silaturahmi dan sekalian menyerahkan putranya, Pulo untuk dijadikan anak siak di surau itu. Menyerahkan serta kokoh, pasan ndak baturuti, pitaruah ndak baunyian. Selesai menyerahkan anaknya, Daik Tanjung pun langsung balik ke Durian Kuniang, Sungai Geringging.
Pulo langsung menyalami ayahnya yang tidak bisa menungguinya di Surau Sipinang. Dia ikuti langkah ayahnya keluar surau. Dari tepi teras surau itu, Pulo memandangi terus langkah demi langkah ayahnya. Lama, dan terus menghilang dari pandangan mata. Sebagai anak baru, sehari, dua hari, sampai sebulan di situ, Pulo masih belum dapat rasa. Hatinya masih terpaut jauh, di balik Gunuang Tigo, nun jauh di Durian Kuniang, Sungai Geringging sana. Dia ingat terus ayah dan ibunya. Hatinya terus berkecamuk antara hidup yang tinggal bersama orangtua sama dengan situasi perang yang mengancam nyawanya. Pulang kampung tak berani. Kampung belum aman. Penjajah masih menguasai daerah ini. Tapi di Surau Sipinang, Pulo tetap dibawah pengawasan dan asuhan gurunya, Buya Tuanku Sutan.
Waktu berjalan. Rasa enak mengaji, ibadah lima waktu yang terus terpelihara dengan berjemaah dalam ajaran disiplin guru, Pulo sepertinya mulai merasakan akan haus terhadap ilmu pengetahuan. Ditambah sejuknya kampung kecil Sipinang, membuat anak siak Mudiak Padang nyaman mengaji. Sedang enak mengaji, bergaul dengan banyak anak siak dari berbagai kampung, setidaknya Pulo mulai merasakan cinta pada ilmu.
Sayang, masa demikian tak pula bisa berlangsung lama. Hanya setahun tiga bulan Pulo di Mudiak Padang, Buya Tuanku Sutan berpulang. Ajal sampai bilangan sudah, Buya Tuanku Sutan meninggal dunia. Namun, sebelum beliau wafat, Pulo pernah menerima wasiat gurunya, agar terus mengaji ke Ampalu Tinggi.
Pasca wafatnya Buya Tuanku Sutan, Pulo sedikit mengalami keguncangan. Pergolakan batin yang cukup deras, antara balik ke kampung atau meneruskan amanah guru, pergi mengaji ke Ampalu Tinggi. Dalam kebimbangan itu, Pulo melangkah pasti, sesuai nuraninya yang menyuruh dia untuk terus mengaji ke Ampalu Tinggi. Dia kemaskan barang-barangnya, lalu minta izin kepada kawan atau anak siak yang dituakan, lalu Pulo berangkat ke Ampalu Tinggi.
Ke Ampalu Tinggi, Pulo berjalan sendiri. Tiba di Pondok Pesantren Luhur Kalampaian itu, dia temui Syekh H. Ibrahim, sang guru besar yang memimpin jalannya anak siak mengaji. Tanpa memberitahu orangtua di kampung, Pulo langsung diterima sebagai anak siak yang melanjutkan kanjinya sehabis di Mudiak Padang, Tandikek.
Di Ampalu Tinggi, Pulo memulai adaptasi baru. Lingkungan baru. Zaman itu, Ampalu Tinggi masih sibuk. Meski di luar sana perang masih berlangsung, anak siak mengaji cukup terbilang ramai di Surau Kalampaian itu.
Masih dalam buku catatan Pulo, yang ditulisnya dalam bahasa Arab Melayu, di Ampalu Tinggi beliau agak lebih lama mengaji, ketimbang di Mudiak Padang. Sampai dua tahun tiga bulan mengaji dengan Syekh H. Ibrahim. Dalam tempo selama itu, beliau ingin pindah, tapi masih ingin mengaji.
Minta izin ke guru untuk pindah mengaji ke Lubuk Pandan, suraunya Syekh H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, yang lebih dikenal dengan Ungku Shaliah Pengka. Oleh Syekh H. Ibrahim, Pulo diizinkan pindah. Singkat cerita, pindahlah anak Durian Kuniang, Sungai Geringging ini ke Lubuk Pandan.
Lubuk Pandan kala itu belum bernama Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum. Melainkan Surau Kapalo Sawah. Atau Surau Ungku Shaliah Lubuk Pandan. Di sini, sepertinya Pulo kian merasakan akan arti penting ilmu pengetahuan. Ilmu agama yang dikaji setiap saat, dari berbagai kitab.
Tiga tahun belajar di Lubuk Pandan, Pulo diajak pindah oleh seniornya yang sekampung dengannya, dari Lubuk Pandan ke Kamumuan Sungai Limau. Tentu ajakan pindah itu diterima, karena Sungai Limau lebih dekat lagi ke kampungnya, Sungai Geringging. Namun, beliau tetap minta izin, mohon pamit ke guru. Bagi Pulo, izin dan restu guru adalah penentu dalam melangkah ke muka. Oleh guru, Syekh H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, diizinkan. Izin dapat, Pulo dan seniornya berangkat dari Lubuk Pandan menuju Sungai Limau.
Kamumuan Sungai Limau sudah punya nama hebat. Terkenal dengan Surau Kolam Tigo, dipimpin oleh Syekh Abdul Manan, anak dari Syekh Kamumuan atau Syekh Ungku Imam Pasang yang lebih populer juga dengan sebutan Syekh XII Koto. Saat Pulo pindah dari Lubuk Pandan ke situ, Surau Kolam Tigo dipimpin oleh Syekh Buya Tuanku Haluih Bahaudin.
Syekh Bahaudin Tuanku Haluih adalah alumni Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) Canduang, Kabupaten Agam. Beliau mengambil sanad Tarekat Syattariyah dengan Syekh Abdul Manan, anak dari Syekh Kamumuan.
Bersama Syekh Bahauddin Tuanku Haluih inilah Buya Pulo Tuanku Kaciak belajar berbagai disiplin ilmu keislaman secara matang dan dengan waktu yang lebih lama dari sebelumnya.
Ilmu yang dipelajarinya di Surau Kamumuan, adalah Tafsir, fiqih, ilmu kalam, ilmu mantiq, balaghah, ushul fiqih, tasawuf, musthalah hadis, dan ilmu Tarekat Syattariyah. Buya Pulo Tuanku Kaciak sempat juga jadi tenaga pengajar di Surau Kamumuan.
Dalam buku catatan nazham yang beliau tulis sendiri disebutkan, bahwa beliau belajar di Surau Kamumuan tahun 1949 dan pulang ke kampung halaman tahun 1958. Pulang kampung karena pecahnya perang antara PRRI (sebuah gerakan pengkritik pemerintah pusat di Sumatera Barat) berhadapan dengan tentara pemerintahan Indonesia.
Satu tahun lebih Buya Pulo Tuanku Kaciak belajar di Surau Mudiak Padang, dua tahun lebih di Ampalu Tinggi, tiga tahun lebih di Lubuk Pandan, dan sembilan tahun di Kamumuan. Berarti lebih dari 15 tahun, beliau belajar ilmu agama. Setalah itu baru beliau diberi gelar Tuangku oleh guru beliau di Kamumuan. Menurut istrinya, Pulo diberikan gelar Tuanku Kaciak oleh gurunya di Kamumuan Sungai Limau, setelah beliau pulang kampung, sudah kawin dan punya seorang anak.
Paham Keagamaan
Buya Pulo Tuanku Kaciak dalam paham Keagamaan, mengikuti paham gurunya yang bersanad kepada Syekh Burhanuddin dan Syekh Abdurrauf, yaitu bermazhab ke Imam Syafi'i dalam masalah fiqih, bermazhab As'ary dalam hal teologi dan bermazhab Syattariyah dalam aliran tarekat. Beliau mengajarkan kepada jamaah tiga paham keagamaan itu, di setiap pengajian yang beliau adakan.
Sebagai seorang guru pengajian agama, Buya Tuanku Kaciak Pulo memberikan ceramah kepada jamaah di surau, dengan tema pengajian yang bergantian, sesuai dengan tiga pemahaman yaitu fiqih Syafi'i, teologi As'ary dan Tarekat Syattariyah. Yang paling sering Buya Tuanku Kaciak Pulo sampaikan dalam memberikan ceramah kepada jamaah, adalah pengajian yang diawali dengan kajian fiqih ibadah (dalam Mazhab Syafi'i), dan di akhiri dengan kajian ilmu tauhid.
Metode seperti ini diterapkan oleh Buya Tuanku Kaciak Pulo, agar jamaah memiliki pemahaman yang seimbang antara pengetahuan tentang fiqih ibadah, sebagai praktek yang akan dipersembahkan kepada Allah SWT yang disertai dengan pengetahuan ilmu tauhid. Fiqih ibadah jalan penghambaan lahiriah, yang dilakukan oleh jasmani, sedangkan ilmu tauhid sebagai jalan penghambaan batiniah yang dilakukan oleh akal pikiran dan hati. Di hari-hari tertentu, beliau juga mengkhususkan kajian Tarekat Syattariyah, dengan mengajarkan ilmu pengajian tubuh ('A'yan kharajiah dan a'yan tsabitah, sampai kepada wujud 'Am dan wujud muhad) serta mengajarkan juga kajian martabat tujuh.
Sifat Dua Puluh (Ilmu Tauhid)
Dalam memahami ilmu ketuhanan, Buya Tuanku Kaciak Pulo lebih menekankan jamaah untuk mempelajari sifat Tuhan yang dua puluh, sekaligus sebagai standar dalam mengukur paham-paham yang lahir dari tasawuf falsafi. Oleh karena itu, beliau di setiap pengajian tentang paham ketuhanan, lebih banyak mengurai kajian sifat Tuhan yang dua puluh, atau aqidah lima puluh. Menurut pemahaman beliau, seseorang tidak akan tahu dengan Tuhan kalau tidak mempelajari sifat ketuhanan. Buya Tuanku Kaciak pernah berkata kepada penulis, bahwa kemanapun mengaji (tarekat) standarnya adalah ilmu sifat dua puluh. Sifat dua puluh adalah konsep teologi Ahlussunah waljamaah dalam memahami Tuhan dan alam.
Mengkritik Paham yang Meremehkan Syari'at
Buya Tuanku Kaciak Pulo sangat menentang keras paham atau ajaran kebatinan yang meremehkan syari'at. Baginya, tak ada kompromi terhadap siapa yang meremehkan syari'at, seperti tak perlu lagi sembayang lima waktu kalau sudah mengetahui ilmu ma'rifat, dan menentang ajaran nikah batin (nikah berdua saja antara laki-laki dan perempuan tanpa ada wali dan saksi yang sah). Ketika bicara tentang suatu paham yang meremehkan syari 'at, beliau dengan tegas dan dengan suara lantang menentang paham tersebut, dan beliau selalu siap memperdebatkannya dengan siapapun.
Buya Tuanku Kaciak Pulo juga menentang paham Wahdatul Wujud dalam konteks hulul dan ittihad, bahwa Tuhan dan alam adalah satu, Tuhan menempati alam. Ungkapan seperti "lapiak pandan, basi ladiang" yang sering dimunculkan oleh aliran kebatinan, adalah bentuk pemahaman yang hulul dan ittihad, di mana zat pandan diibaratkan dengan Tuhan dan nama lapiak (tikar) diibaratkan dengan alam, dan alam adalah Tuhan itu sendiri. Artinya, alam dan Tuhan itu wujudnya satu. Hanya nama yang berbeda. Pemahaman seperti ini yang dianut sebagian masyarakat, berdampak dengan meremehkan syari'at. Beliau Buya Tuanku Kaciak Pulo adalah satu-satunya tokoh yang menentang keras ajaran ini.
Kontribusi dan Pengabdian di Tengah Masyarakat
Buya Tuanku Kaciak Pulo bersama jamaah mendirikan sebuah surau, dengan nama Surau Nurul Yaqin (sekitar tahun 1980 an). Beliau ditetapkan sebagai guru wirid pengajian di sana. Sejak saat itu ia mencoba mengajar kitab kuning, namun tak ada satupun muridnya yang bertahan. Hanya satu sampai dua tahun murid yang belajar bersamanya lalu pergi merantau. Pada tahun 2003, Buya Tuanku Kaciak Pulo mulai mengajar kitab lagi, dan penulis adalah salah satu muridnya, belajar dengan Buya Tuanku Kaciak Pulo sampai beliau berpulang ke rahmatullah pada tahun 2005.
Pemikiran Tentang Murid Terhadap Guru
Buya Tuanku Kaciak Pulo adalah orang yang sangat terbuka dan tidak anti terhadap kritik. Terhadap muridnya, ia berharap agar lebih alim dari padanya, dan itu selalu ia sampaikan dalam memberikan motivasi kepada muridnya setiap selesai mengaji kitab kuning. Beliau mengingatkan murid-muridnya, agar hati-hati dan teliti dalam menuntut ilmu agama. Pesan beliau, bahwa setiap kaji (ilmu) itu harus diteliti, harus diukur dengan Quran dan hadis, ijma' dan qiyas dan kaidah fiqih lainnya, walupun kaji (ilmu) itu keluar dari mulutnya sendiri. Pemikiran beliau dalam konteks ini selaras dengan spirit keilmuan Imam Syafi'i dan gurunya Imam Malik, bahwa telitilah pendapatnya dan apabila pendapatnya bertentangan dengan Quran dan sunnah, maka tinggalkan. Prinsip Buya Tuanku Kaciak Pulo yang penulis sebutkan sebelumnya, juga sejalan dengan prinsip guru beliau yang ketiga, yaitu Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, pimpinan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan. Penulis mendengar dari Buya Zainudin Tuanku Bagindo Basa, pimpinan Pondok Pesantren Lubuk Pua. Ia menuturkan, dalam suatu persoalan kalau ilmu dan dalil diajukan kepadanya (Syekh Abdullah Aminudin Tuanku Shaliah Lubuk Pandan), ia akan menerimanya walaupun datang dari muridnya sendiri. Sifat dan prinsip seperti itu juga melekat di dalam diri Buya Tuanku Kaciak Pulo.
Prinsip dalam Mengamalkan Fiqih
Buya Tuanku Kaciak Pulo termasuk orang yang berani berbeda dengan orang lain dalam soal mengamalkan ilmu agama. Ketika mengamalkan ilmu yang menurutnya didasari dalil yang sah, maka ia tak pernah kenal takut untuk mengamalkannya walaupun diancam dan dibully oleh orang yang tidak suka dengan prinsip keilmuannya itu. Salah satu contohnya, adalah soal puasa. Dalam masalah puasa Ramadhan, Buya Tuanku Kaciak adalah orang yang sering dahulu berpuasa dari orang yang ada di kampungnya. Hal ini karena ia memakai metode hisab Arbaiyah, di mana metode ini lebih dahulu dalam merukyah hilal. Alasan Buya Tuanku Kaciak memakai metode hisab Arbaiyah, karena seringnya hilal muncul sebelum jadwal merukyah. Surau Kamumuan secara geografis dekat dengan pantai, tentu dengan mudah melihat kemunculan hilal. Ketika hilal terlihat sebelum jadwal merukyah, di samping itu telah dilakukan pula observasi setempat, lalu diadakan muzakarah besar dengan diundangnya seluruh tokoh dan pimpinan pesantren di Padang Pariaman, namun yang datang hanya sekitaran wilayah XII Koto (Sungai Geringging, Sungai Limau, Gasan dan daerah lainnya). Setelah dilakukan analisa di lapangan dan didukung dengan dalil dan kaidah-kaidah yang ada dalam ilmu taqwim, maka ditetapkan Arbaiyah sebagai metode perhitungan dalam menentukan bulan Hijriyah. Ini terjadi di masa Syekh Bahaudin Tuanku Haluih Kamumuan. Metode hisab Arbaiyah inilah yang Buya Tuanku Kaciak amalkan, walaupun mendapat reaksi dari sejumlah tokoh agama serta masyarakat di kampungnya. Beliau dengan keteguhan dan patuh kepada kaidah keilmuan, ia tetap menjalankan metode yang ia anggap benar.
Pesan Kepada Murid Soal Melanjutkan Mengaji ke Kamumuan dan Lubuk Pandan
Tiga tahun Buya Tuanku Kaciak mengajar penulis di suraunya sendiri, dan tentunya tiga tahun itu keilmuan penulis belum memadai untuk berkiprah dalam masyarakat dengan berdakwah atau mengajar kitab. Tahun 2005, Buya Tuanku Kaciak Pulo jatuh sakit dan ia tidak bisa mengajar lagi. Pada saat itu, beliau berkata kepada penulis, nanti setelah ia tiada agar penulis melanjutkan belajar ilmu agama ke Surau Kamumuan atau ke Lubuk Pandan (Ponpes Madrasatul 'Ulum). Hanya dua tempat itu yang Buya Tuanku Kaciak pesankan kepada penulis, yang pada akhirnya penulis memilih ke Surau Kamumuan. Walaupun memilih Surau Kamumuan, hubungan ke Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan tetap penulis jalin, dengan sering berdiskusi ke sana, khususnya dengan almarhum Buya Marzuki Tuanku Nan Basa.
Keluarga
Upik Lapau nama istri Buya Tuanku Kaciak Pulo. Sama-sama sekampung dengannya, Sungai Geringging. Dari perkawinan itu, beliau dikaruniai tujuh orang putra dan putri, yakni Amrizal, Ali Amran, Syafrimusa, Zulkifli, Muslim, Desi Arisandi, dan Idris.
Wafat
Buya Tuanku Kaciak wafat pada tahun 2005 di Rumah Sakit Umum Pariaman, dimakamkan dekat Surau Nurul Yaqin, yaitu surau pengajian yang beliau bangun bersama jamaah wiridnya. Jamaah wiridnya sangat merasa kehilangan. Penulis baru tiga tahun belajar bersamanya, sangat merasakan kehilangan sosok yang tidak pemarah, tidak mengekang pikiran, memberi ruang kepada muridnya untuk mengajukan argumen dalam soal pemikiran keagamaan.
Sumber rujukan dalam penulisan:
1. Buku Nazham ditulis oleh Buya Tuanku Kaciak Pulo tenang riwayatnya menuntut Ilmu.
2. Informasi dari anak dan istrinya
3. Informasi Buya Tuanku Sabar Kamumuan (pengajar di Surau Syekh Kamumuan)