![]() |
Oleh: Ridwan Arif, S.Fil.I, M.I.S, Ph.D, Tk. Bandaro
DATA PRIBADI DAN KELUARGA
Nama kecilnya ialah Sirun. Tuanku Panjang adalah gelar yang dianugerahkan guru kepadanya setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren. Di kalangan masyarakat beliau masyhur dengan panggilan “Buya Ungku Panjang”. Dalam tulisan ini selanjutnya disebut Syekh Ungku Panjang. Syekh Ungku Panjang dilahirkan di Toboh Marunggai, Nagari Sikucur Barat, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman pada 1 April 1925 dari pasangan Mighrab (ayah) dan Citam (ibu). Dalam sistem kekerabatan Minangkabau ia berasal dari suku Sikumbang. Syekh Ungku Panjang memiliki tiga orang istri Ramalah, Ya’ni dan Rosmaniar. Isteri pertama (menikah pada tahun 1949 M) berasal dari Alahan Kiau, Korong Koto Bangko, Nagari Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging; isteri kedua berasal dari Korong Toboh Marunggai, Nagari Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam; sedangkan isteri ketiga berasal dari Korong Tigo Jerong, Nagari Kudu Ganting Barat, Kecamatan V Koto Timur. Di antara tiga orang isteri ini, hanya dua orang isteri yang memiliki anak, yaitu isteri pertama dan isteri ketiga.
Dengan istri pertama Syekh Ungku Panjang dikaruniai enam orang anak:
Syamsiar
Nursyam
Hasanah
Arnatliati
Sultanul Arifin, S.Sos.,M.H. (Kepala Kantor Komnas HAM Provinsi Sumetera Barat)
Nurhaida
Dengan istri kedua ia dianugerahi lima orang anak:
H. Abdurrahman, S.E. (Kasi di Pusat Pembekalan Angkutan Angkatan Darat [BEKANGAD], Cijantung)
Mawar
Ratena
Ramsini
Khairil Amsal
RIWAYAT PENDIDIKAN
Syekh Ungku Panjang mendapatkan pendidikan awal keislaman yaitu belajar membaca al-Qur’an dari orang tua dan surau-surau di kampungnya. Setelah beranjak remaja, beliau diantar oleh orang tuanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman kepada seorang ulama, yaitu Syekh Bajai, Tk. Sidi, yang masyhur dengan panggilan Buya Ungku Sidi Batang Ceno. Batang Ceno adalah nama kampung di mana ia mendirikan surau, sebuah kampung kecil di Korong Koto Bangko, Nagari Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging. Buya Batang Ceno adalah murid dari Syekh Ungku Panjang Ujung Gunung Sungai Sariak. Dalam masa belajar di Batang Ceno, Syekh Ungku Panjang juga pernah belajar di beberapa Surau (pesantren) seperti Surau Ujung Gunung dengan Syekh Ungku Panjang Ujung Gunung (murid Syekh ‘Aluma Koto Tuo), Surau Kiambang dengan Syekh H. Isma’il Kiambang dan Surau Koto Tuo dengan Syekh Angku ‘Aluma Koto Tuo.
Walaupun sudah menyelesaikan pendidikan di Surau Batang Ceno dan dianugerahi gelar Tuanku Panjang, Syekh Ungku Panjang belum puas dengan ilmu yang dimilikinya. Beliau masih berkeinginan untuk menambah ilmu. Ia mencoba melayangkan pandangan ke arah darek (dataran tinggi Minangkabau), lalu jatuhlah pilihannya pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Koto Panjang, yang terletak di Lampasi, Tigo Nagari, Payakumbuh. MTI ini dipimpin oleh Syekh H. Mukhtar Angku Lakuang (w. 1978 M). MTI Koto Panjang adalah salah satu MTI yang memiliki murid yang ramai pada masa itu. Ini tidak lepas dari kebesaran pimpinan dan pengasuhnya yaitu Angku Lakuang. Angku Lakuang adalah salah seorang ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) terkemuka dan merupakan Ketua Mahkamah Syar’iyah (kini Pengadilan Agama) Payakumbuh pertama. Di MTI Koto Panjang Syekh Ungku Panjang belajar lebih kurang dua tahun dan kemudian kembali ke kampung halaman untuk mengabdikan ilmuya kepada masyarakat.
PENGABDIAN DAN KONTRIBUSI
Mendirikan Pondok Pesantren
Setelah memiliki ilmu yang memadai, tibalah masanya buat Syekh Ungku Panjang untuk mengabdikan ilmunya kepada agama dan masyarakat. Sekitar tahun 1950, ia mendirikan pesantren di tanah milik keluarga istrinya di Alahan Kiau, Korong Koto Bangko, Nagari Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging. Pendirian pesantren ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Banyak orang tua yang datang mengantarkan anak mereka ke pesantren ini untuk dididik dan diajar dengan berbagai cabang ilmu keislaman. Kebanyakan santri berasal dari Kecamatan Sungai Geringging, Kecamatan Sungai Limau dan Kecamatan V Koto Kampung Dalam.
Pergolakan dalam negeri yaitu pemberontakan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 telah menyebabkan situasi yang tidak aman di masyarakat. Pada waktu itu banyak masyarakat yang mengungsi ke kampung lain yang dipandang aman. Buya Ungku Panjang juga tidak ketinggalan. Ia bersama keluarga dan murid-muridnya memilih Korong Sungai Janiah, Nagari Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam sebagai tujuan. Di Sungai Janiah Buya Ungku Panjang memilih kawasan yang menjorok ke kawasan perbukitan yang dikenal dengan Olo Sungai Janiah. Menurut Buya H. Yunaidi, Tk. Simarajo, dipilihnya kawasan ini oleh Buya Ungku Panjang sebagai tempat mengungsi karena kawasan ini dipandang lebih selamat. Ini karena Olo Sungai Janiah adalah kawasan yang dikelilingi oleh perbukitan. Sebelum kedatangan Buya Ungku Panjang ke Olo Sungai Janiah, di kampung ini sudah berdiri sebuah surau kampung yang disebut “Surau Olo”.
Suasana perang saudara antara APRI (sekarang TNI) dan tentara PRRI tidak menyurutkan semangat Buya Ungku Panjang untuk melanjutkan kegiatan keilmuan. Di kampung tempat ia mengungsi ini, Syekh Ungku Panjang menginisiasi pendirian lembaga pendidikan baru yang diberi nama Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah. Berdirinya Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah tidak lepas dari dukungan masyarakat setempat yang pada masa itu dibawah kepemimpinan Wali Korong yaitu Bapak Ujus (Wali Ujus). Pada tahap awal, kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan di surau kampung yang sudah ada yaitu Surau Olo. Seiring berjalannya waktu, karena jumlah santri yang semakin ramai sehingga bangunan surau lama tidak memadai lagi sebagai tempat belajar dan asrama santri, maka masyarakat Sungai Janiah di bawah kepemimpinan Buya Ungku Panjang dan Wali Ujus merubuhkan bangunan lama dan membangun surau baru yang lebih besar dan bertingkat dua. Walaupun secara formal surau ini sudah memakai nama Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf, namun masyarakat tetap lebih suka menyebutnya dengan “Surau Olo”. Pendirian Pondok pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat terutama yang berasal dari Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kecamatan Sungai Limau dan Kecamatan Sungai Geringging.
Pada tahun 1967, Syekh Ungku Panjang juga menginisiasi berdirinya pondok pesantren di kampung halamannya, yaitu Toboh Marunggai, Nagari Sikucur Barat, Kecamatan V Koto Kampug Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Ia berkolaborasi dengan urang sumando-nya (suami dari keponakannya), Ustadz Roti, yang merupakan lulusan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Kayu Tanam, Kecamatan 2X11 Kayu Tanam. Lembaga pendidikan ini juga diberi nama Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Toboh Marunggai. Pendirian pesantren ini mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat sekitar baik yang berasal dari Kecamatan V Koto Kampung Dalam maupun Kecamatan Sungai Geringging. Mengingat Toboh Marunggai berada di perbatasan dua kecamatan. Pesantren ini berhasil meluluskan beberapa orang lulusan (tuanku).
Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf baik yang di Alahan Kiau, di Sungai Janiah maupun di Toboh Marunggai mempertahankan cara tradisional yaitu dengan sistem halaqah (tanpa sistem kelas seperti dalam sistem pendidikan modern). Di ketiga pesantren ini diajarkan berbagai bidang ilmu keislaman seperti tata bahasa arab (nahwu dan sharaf), tafsir, hadis, ulum al-hadits, balaghah, sejarah nabi dan sahabat (tarikh), manthiq, ushul fiqh, fiqh, aqidah (ilmu kalam) dan tasawuf secara umum dan khusus (Tarekat Syathariyah). Dengan demikian, para santri tidak hanya dikader menjadi ulama yang ‘alim di bidang ilmu-ilmu syari’at, tetapi juga mendalam dalam pemahaman tasawuf dan tarekat. Dengan kata lain, para santri disiapkan menjadi pendakwah (da’i), ulama syari’at sekaligus pengembang Tarekat Syathariyah di masyarakat. Tentu saja para santri diajar kemahiran (skill) berbicara di depan umum (public speaking) karena mereka nantinya akan menjadi da’i dan guru umat.
Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Alahan Kiau, Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Toboh Marunggai dan Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah telah melahirkan banyak ulama, pendakwah (da’i), guru umat, aparatur sipil Negara (ASN), politikus dan tokoh masyarakat, di antara yang terkemuka ialah:
Buya Taheruddin, Tk. Sutan ‘ulama, pendakwah, guru Tarekat Syathariyah dan mantan Ketua Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Kota Medan.
Buya Lasykar Harun, Tk. Nan Kuniang, (w. 2023 M), guru sepuh di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Malalo, Kabupaten Tanah Datar.
Buya Zainul Abidin, Tk Bagindo, guru sepuh di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah dan ulama terkemuka di Kecamatan V Koto Kampung Dalam;
Buya Ramli, BA, Tk. Muncak (mantan kepala sekolah MTsN Padang Alai, Kec. V Koto Timur);
Abdul Kadir, Tk. Sinaro, khalifahnya di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah;
Alif Akmal, Tk. Bandaro, pendakwah (da’i) terkenal di daerah Padang Pariaman;
Darwinis Zein, B.A, Tk. Sutan Majolelo, (Politisi dan mantan anggota DPRD Kabupaten Padang Pariaman);
Abdul Kasar, Tk. Rangkayo Sati, menantu sekaligus khalifahnya di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Alahan Kiau.
Menjadi Guru Umat dan Mengembangkan Tarekat Syathariyah
Sebagaimana disinggung di atas, pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Ungku Panjang bukan hanya tempat mengkader calon ulama tetapi juga sebagai majelis pengajian tasawuf khususnya Tarekat Syathariyah. Dengan kata lain pesantren ini juga berfungsi sebagai pusat pengembangan Tarekat Syathariyah di daerah Padang Pariaman. Disebabkan pengajian ini adalah pengajian Tarekat Syathariyah, maka yang diizinkan menghadiri majelis ini hanya orang yang telah berbai’at dengan Syekh Ungku Panjang atau dengan murid-muridnya. Bai’at adalah prosesi memasuki sebuah tarekat. Majelis pengajian Tarekat Syathariyah di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Alahan Kiau dilaksanakan pada malam Rabu, di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah pada malam Jum’at.
H. Yunaidi Tk. Simarajo pernah bercerita, pada tahun 1970-an, majelis pengajian Tarekat Syathariyah yang diadakan oleh Buya Ungku Panjang di di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Toboh Marunggai mendapat sambutan yang luar biasa dari umat. Walaupun majelis pengajian dilaksanakan pada malam hari, namun jama’ah yang hadir luar biasa ramainya. Mereka datang bukan hanya dari kampung tempat beradanya pondok pesantren yaitu Toboh Marunggai, tetapi juga dari korong-korong tetangga seperti dari Durian Dangka, Balai Sikucur, Alahan Tabek, Koto Padang, Koto Panjang, Bukit Bio-bio dan lain-lain. Umumnya jama’ah datang ke majelis pengajian dengan cara berjalan kaki. Ini karena pada waktu itu di samping belum banyak masyarakat yang memiliki sepeda motor juga faktor kondisi jalan. Pada umunya kampung-kampung di Nagari Sikucur pada masa itu adalah daerah terisolir. Jangankan dengan kenderaan roda empat, kendaraan roda dua (sepeda motor) pun masih sukar mencapai kampung-kampung tertentu.
Melalui pengajian-pengajian khusus ini dan melalui para santri-santrinya Buya Ungku Panjang telah memainkan peran penting dalam pengembangan Tarekat Syathariyah di Kabupaten Padang Pariaman khususnya, di Sumatera Barat umumnya, melanjutkan perjuangan guru-gurunya. Melalui para muridnya, Buya Ungku Panjang juga berperan penting dalam mengembangkan Tarekat Syathariyah di perantauan seperti Kota Medan, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu dan lain-lain.
Menjadi Mufti Nagari
Kealiman dan ketokohannya dalam bidang agama menjadikan Buya Ungku Panjang dipercaya untuk mengemban amanah jabatan mufti nagari. Pada tahun 1965 ia resmi menjadi Mufti Nagari Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging.
Menjadi Ulama Penggerak (Mendorong Pembangunan di Masyarakat)
Buya Ungku Panjang bukan hanya seorang ulama yang mencukupkan diri dengan aktivitas mendidik/ mengajar santri dan mencerdaskan umat dengan memberikan ceramah atau pengajian. Ia juga seorang yang aktif dan terlibat dalam kegiatan pembangunan di masyarakat. Ini dapat dilihat dari aktivitasnya dalam mendorong pembangunan dan renovasi surau dan masjid. Ia tidak tenang melihat masjid atau surau yang sudah tua atau rusak sehingga tidak layak huni. Tanpa menunggu lama, ia mengajak masyarakat bermusyawarah untuk melakukan renovasi surau atau masjid tersebut atau; jika bangunan lama sudah tidak bisa direnovasi maka diusahakan membangun bangunan baru. Di antara masjid yang digerakkan pembangunannya oleh Buya Ungku Panjang ialah Masjid Durian Perak, Korong Toboh Marunggai; sebuah surau di Toboh Marunggai (di samping rumah orang tuanya); Masjid Bukit Bio-Bio; Masjid Koto Hilalang; Masjid Lubuak Kambie, Korong Sungai Janiah; semua surau dan masjid ini berada di Kecamatan V Koto Kampung Dalam. Masjid-masjid yang beliau gerakkan pembangunnya di Kecamatan Sungai Geringging ialah Masjid Raya Sungai Rantai dan Masjid Raya Kubu, Alahan Kuranji. Ia juga menggerakkan pembangunan masjid di Kecamatan V Koto Timur yaitu Masjid Tigo Jerong, Nagari Kudu Ganting Barat.
Buya Ungku Panjang juga berjasa dalam mendorong pembangunan jalan dan jembatan. Pada masa itu kampung kelahiran Buya Ungku Panjang (Nagari Sikucur) dan kampung isteri pertamanya di mana berdiri surau (pesantren) pertamanya (Koto Bangko) kebanyakan masih terisolir. Jangankan kendaraan roda empat, kendaraan roda dua (sepeda motor) pun kadang-kadang sukar mencapai kampung-kampung di nagari tersebut. Ada dua cara yang dilakukan oleh Buya Ungku Panjang dalam mengusahakan pembangunan jalan dan jembatan: 1) mengajak masyarakat untuk melaksanakan gotong royong untuk membuat jalan baru; 2) menjadi penyambung lidah masyarakat kepada pemerintah untuk membangun jembatan. Kedekatan hubungannya dengan partai politik (Golongan Karya, sekarang Partai Golkar) dan pemerintah daerah (terutama bupati) ia manfa’atkan untuk kepentingan masyarakat. Ia melobi pemerintah untuk memperhatikan pembangunan kampungnya dan kampung tempat berdirinya pesantren yang ia pimpin. Sebagai seorang tokoh ulama yang disegani, tentu saja “ucapan” Buya Ungku Panjang “didengar” oleh pihak pemerintah. Dengan demikian, walaupun ia bukan seorang wakil rakyat secara formal (anggota DPRD), namun ia sukses memainkan peran wakil rakyat yaitu menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah.
Di antara pembangunan jalan dan jembatan yang berhasil terwujud berkat upaya Buya Ungku Panjang ialah jalan dari Alahan Kuranji ke Sungai Rantai; jalan dari Alahan Kiau ke Koto Bangko; jalan menuju pesantrennya di Sungai Janiah dan jalan di Tigo Jerong (kampung isteri keduanya); jembatan gantung di Toboh Marunggai; Jembatan Gantung di Pulau Aie dan; jembatan gantung di Alahan Kiau.
PAHAM KEAGAMAAN
Sebagai seorang ulama Tarekat Syathariyah, dalam pandangan keagamaan Syekh Ungku Panjang mengikuti paham keagamaan guru-guru beliau yang bersilsilah kepada Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh ‘Abdul Ra’uf al-Fanshuri al-Singkili yaitu mengikuti aliran Ahl Sunnah wal-Jama’ah dalam konsep Imam Abu Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dalam akidah, Mazhab Syafi’i dalam fikih dan, Tarekat Syathariyah dalam tasawuf. Beliau memegang teguh paham keagamaan ini. Ia berpesan kepada murid-murid dan jama’ahnya untuk senantiasa istiqamah dalam meyakini dan mengamalkan paham keagamaan yang ia warisi dari guru-gurunya.
KEPRIBADIAN/ KARAKTER
Syekh Ungku Panjang adalah seorang tokoh ulama sufi kharismatik dan disegani yang di Kabupaten Padang Pariaman. Kebesaran Buya Ungku Panjang tentu tidak lepas dari kepribadiannya yang bisa menjadi teladan bagi umat.
Di antara kepribadian Syekh Ungku Panjang ialah terbuka dan mudah bergaul dengan kalangan manapun. Ia memiliki jaringan pergaulan yang luas. Selain membina hubungan baik dengan rekan sejawat di kalangan ‘ulama Syathariyah khususnya di Kabupaten Padang Pariaman, ia menjalin hubungan baik dengan pimpinan partai politik dan pejabat pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi.
Syekh Ungku Panjang adalah tokoh yang bukan hanya bergaul dengan kalangan elit, tetapi ia juga bergaul dengan baik dengan kalangan masyarakat awam. Aktivitasnya dalam menggerakkan pembangunan di masyarakat seperti pembangunan surau, masjid dan jalan menunjukkan baiknya pergaulan Syekh Ungku Panjang dengan masyarakat.
Kepribadian lainnya dari Syekh Ungku Panjang ialah ramah dan komunikatif. Kepribadian ini berkaitan dengan dan mendukung kepribadian pertama yaitu terbuka dan mudah bergaul. Suksesnya Syekh Ungku Panjang dalam menjalin hubungan baik dengan sesama ulama, kalangan elit pemerintahan, pimpinan partai politik dan masyarakat awam karena ia mampu berkomunikasi dengan baik. Dengan kalangan elit pemerintahan dan pimpinan partai politik misalnya ia mampu berkomunikasi dengan percaya diri. Sedangkan dengan kalangan masyarakat awam misalnya ia adalah seorang yang ramah dan mampu menempatkan diri dengan baik sehingga masyarakat tidak merasa kikuk berkomunikasi dengannya. Baik dengan kalangan elit maupun kalangan masyarakat awam, dalam percakapan kadang-kadang ia melemparkan humor segar atau candaan ringan sekadar untuk mencairkan suasana dan menciptakan keakraban. Bagaimanapun dalam berkomunikasi ia tetap menjaga muru’ah-nya sebagai seorang tokoh ulama.
KETERLIBATAN DI BIDANG POLITIK DAN HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH
Sebagaimana disinggung di atas, Syekh Ungku panjang adalah seorang tokoh ulama yang menjalin hubungan baik dengan pimpinan partai politik dan pejabat pemerintah. Hubungan Syekh Ungku Panjang dengan pimpinan partai politik adalah simbiosis mutualisme yaitu hubungan saling menguntungkan. Pihak partai politik mendekati para tokoh ulama untuk mendapatkan suara yang banyak pada setiap pemilu. Sudah jelas ulama adalah ikutan umat yang memiliki banyak jama’ah. Sementara itu tokoh ulama mendukung partai tertentu agar wakil rakyat dari partai tersebut nantinya bisa menjadi penyambung lidah jama’ah yaitu menyampaikan aspirasi jama’ah. Terkait dukungan politik, pada awalnya Syekh Ungku Panjang mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun kemudian, ia mengikuti pilihan politik dari pihak pimpinan DPP Jama’ah Syathariyah (yang didirikan dan dipimpin oleh Buya Tuanku Mudo Ismail bin Syekh Angku Aluma Koto Tuo) yaitu Golongan Karya (sekarang Partai Golkar).
Syekh Ungku panjang juga memiliki hubungan dekat dengan pihak pemerintahan seperti Bupati Padang Pariaman beberapa periode, sejak Bupati Kolonel TNI (Purn.) H. Anas Malik (Bupati Padang Pariaman dua periode yakni 1980-1985 dan 1985-1990); Bupati H. Zainal Bakar, SH (Bupati Padang Pariaman periode 1990-1993 dan Gubernur Sumatera Barat periode 2000-2005); dan Bupati Ir. H. Nasrul Syahrun (Bupati Padang Pariaman periode 1994-1998). Bupati-bupati ini sering mengunjungi Syekh Ungku panjang di pesantrennya baik Pesantren Dinul Ma’ruf Alahan Kiau maupun Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah. Syekh Ungku Panjang juga mejalin hubungan dekat dengan Kepala Kantor Departemen Agama (sekarang Kantor Kementerian Agama) Kabupaten Padang Pariaman.
WAFAT
Syekh Ungku Panjang wafat pada 2 April 2000 di Rumah Sakit Yos Sudarso, Kota Padang setelah dirawat beberapa hari. Para murid beliau, pengikut (jama’ah) Tarekat Syathariyah khususnya, masyarakat Padang Pariaman umumnya merasa kehilangan karena kepergian seorang tokoh ulama sufi yang kharismatik. Kebesaran Syekh Ungku Panjang tercermin pada hari wafatnya, yaitu tumpah ruahnya umat yang datang melayat, mengungkapkan rasa belasungkawa dan mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Beliau dimakamkan di depan mihrab suraunya dalam komplek Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Alahan Kiau. Kepemimpinan di Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Alahan Kiau dan majelis pengajian Tarekatnya diemban oleh salah seorang murid sekaligus menantunya, Abdul Kasar, Tk. Rangkayo Sati. Sedangkan untuk Pondok Pesantren Dinul Ma’ruf Sungai Janiah, pengganti (khalifah) yang disepakati ialah Abdul Kadir, Tk. Sinaro. Untuk mengenang jasa Syekh Buya Ungku Panjang, murid-muridnya menetapkan ziarah tahunan ke makamnya dua kali dalam setahun yaitu: 1) pada setiap hari Senin antara kegiatan dua safar di Ulakan (antara safar besar dan safar kecil); 2) pada setiap tanggal 29 Sya’ban.
Sumber data:
Wawancara dengan Sultanul Arifin, S.Sos., M.H. pada 24 Mei 2025;
Wawancara dengan Ali Muzar, Tk. Mudo pada 24 Juni 2025;
Cerita-cerita yang penulis dapatkan dari ayahnya, Buya H. Yunaidi, Tk. Simarajo saat penulis masih remaja;
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Madrasah_Tarbiyah_Islamiyah_Koto_Panjang
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pondok_Pesantren_Tarbiyah_Islamiyah_Malalo
Selesai ditulis di Nareh, 15 Juli 2025, jam 7.
30 pagi