![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Kajian tentang adab (etika) dan adab juga berkaitan dengan pola pikir kehalalan. Halal Mentality bisa dipahami sebagai pola pikir, sikap, dan perilaku yang menjadikan kehalalan sebagai standar utama dalam seluruh aspek hidup—bukan hanya pada makanan, tetapi juga pada cara mencari rezeki, berinteraksi sosial, berpakaian, berbisnis, dan membangun keluarga.
Secara konsep, istilah ini berkembang dari ajaran wara’ (kehati-hatian) dalam Islam dan berakar dari ayat serta hadis, seperti:
QS. Al-Mu’minun: 51 – “Makanlah dari yang halal lagi baik dan beramallah yang saleh…”
Hadis: “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Elemen Utama Halal Mentality
1. Kesadaran Spiritual
Meyakini bahwa halal membawa berkah dan ketenangan jiwa, sedangkan haram/syubhat menutup pintu doa dan mengeraskan hati.
2. Integritas dalam Rezeki dan Aktivitas
Tidak hanya memakan makanan halal, tetapi juga memastikan sumber penghasilan, bisnis, dan aset bebas dari riba, penipuan, korupsi, atau syubhat.
3. Gaya Hidup Bersih dan Bermanfaat
Menjaga tubuh dengan makanan sehat (thayyib), menghindari berlebihan (israf), dan memilih pakaian serta gaya hidup yang pantas.
4. Wara’ (Kehati-hatian)
Menghindari perkara syubhat (yang samar) demi menjaga kehormatan hati dan ketenangan batin.
5. Kepedulian Sosial dan Kolektif
Mendorong keluarga dan komunitas untuk saling mengingatkan dan mengawasi agar tidak terjerumus dalam harta dan praktik yang haram.
Manfaat Psikologis Halal Mentality
Ketenangan batin: Tidak ada rasa was-was atau bersalah karena hidup dari rezeki bersih.
Hati lebih lembut dan peka spiritual: Memudahkan doa, ibadah, dan rasa syukur.
Mencegah stres moral dan konflik batin: Hidup sederhana dan lurus membuat jiwa stabil.
Menjadi pagar dari perilaku kriminal dan konsumtif: Membentuk pribadi berintegritas.
Tafsir untuk QS. Al-Mu’minūn ayat 51:
> يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik (halal) dan beramallah yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
1. Tafsir Klasik
a. Tafsir al-Tabari (Jāmi’ al-Bayān)
Ayat ini memerintahkan para rasul dan umatnya untuk memakan makanan yang halal dan baik (thayyibat) sebagai syarat diterimanya amal.
Al-Tabari menegaskan: makanan yang halal membantu seseorang untuk taat, sedangkan makanan haram menjadi sebab amal tertolak.
Disebutkan hadis: "Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik" (HR. Muslim).
b. Tafsir al-Qurtubi (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān)
Menekankan perintah ini sebagai dasar hukum halal-haram dalam makanan.
Rasul diingatkan agar menjadi teladan: makanan yang halal mempengaruhi kesucian hati dan doa yang mustajab.
Al-Qurtubi juga menegaskan bahwa “thayyibat” mencakup:
1. Halal secara syar’i (bukan hasil riba, curian, penipuan).
2. Baik untuk kesehatan dan tidak najis.
c. Tafsir Ibn Kathir
Ibn Kathir mengaitkan ayat ini dengan hadis tentang seorang musafir yang berdoa, tetapi doanya tertolak karena makanannya haram:
“Bagaimana doanya dikabulkan, sementara makanannya haram, minumannya haram, dan dia diberi gizi dengan yang haram?” (HR. Muslim).
Beliau menegaskan, amal saleh tidak sempurna tanpa sumber yang halal.
2. Tafsir Kontemporer
a. Tafsir Sayyid Qutb (Fī Zhilāl al-Qur’ān)
Ayat ini menunjukkan korelasi antara konsumsi halal dan kualitas spiritual: makanan halal menjadi bahan bakar iman dan amal saleh.
Sayyid Qutb mengingatkan bahwa krisis moral umat sering berawal dari konsumsi harta dan makanan haram, yang membuat hati keras dan amal rusak.
b. Tafsir Wahbah al-Zuhaili (al-Tafsīr al-Munīr)
Menjelaskan bahwa perintah “makan yang baik” tidak hanya berlaku untuk para rasul tetapi juga untuk umat.
Menurut al-Zuhaili, thayyibat berarti:
Halal secara hukum.
Bergizi dan bermanfaat.
Tidak berlebihan (tidak israf).
Amal saleh akan lebih ikhlas jika tubuh disuapi dengan yang halal.
c. Tafsir M. Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah)
Ayat ini menjadi pesan moral: spiritualitas seorang hamba tidak lepas dari apa yang ia konsumsi.
Quraish Shihab menegaskan “makanlah yang halal dan baik” berarti:
1. Cari rezeki secara halal.
2. Pilih makanan bergizi dan bermanfaat.
3. Hindari berlebihan (karena berlebihan menjauhkan dari amal saleh).
Halal menjadi bahan bakar kebaikan, haram menjadi sumber kerusakan amal.
1. Ayat ini bukan sekadar perintah makan halal, tetapi landasan hubungan antara rezeki yang bersih dan diterimanya amal ibadah.
2. Semua tafsir klasik dan kontemporer sepakat: makanan halal membersihkan hati dan doa, sementara yang haram merusak amal.
3. “Thayyibat” mencakup halal, baik, bergizi, dan tidak berlebihan.
Makanan, pakaian dan kepemilikan yang tak pasti halal an haramnya itu adalah subhat,
TINGKATAN SYUBHAT DAN DAMPAKNYA
1. Pembagian Martabat Syubhat
Imam al-Ghazali menyebut bahwa syubhat (perkara samar antara halal dan haram) memiliki beberapa martabat (tingkatan) menurut kadar bahayanya:
1. Syubhat yang Dekat ke Halal
Misalnya: harta yang asalnya halal tapi ada keraguan kecil (akadnya sah, tapi belum yakin bersih sepenuhnya).
Hukumnya: masih boleh diambil jika darurat, tapi lebih utama ditinggalkan demi wara’.
2. Syubhat Murni (Pertengahan)
Tidak jelas apakah halal atau haram, karena sumbernya bercampur (misalnya harta warisan dari orang yang hartanya bercampur riba).
Sikap: dianjurkan meninggalkannya kecuali dalam keadaan terpaksa.
3. Syubhat yang Dekat ke Haram
Harta yang besar kemungkinan haram, meskipun tidak ada bukti pasti (misal: keuntungan dari usaha yang jelas bercampur riba atau penipuan).
Hukum: wajib dihindari karena mendekati haram.
2. Dampak (Mutazarat) dari Syubhat
Al-Ghazali menjelaskan bahwa syubhat membawa kerugian spiritual dan sosial:
Mengeraskan hati (qaswah al-qalb) karena makanan syubhat menghalangi nurani.
Menghalangi doa dan ibadah diterima karena “Allah Maha Suci, tidak menerima kecuali yang suci.”
Menjerumuskan ke dalam haram secara bertahap karena kebiasaan meremehkan syubhat.
Mengurangi keberkahan harta dan umur walau secara lahiriah bertambah.
Membiasakan jiwa pada kelalaian hingga sulit membedakan halal dan haram.
3. Dalil Hadis yang Dipakai
Imam al-Ghazali menguatkan dengan hadis:
"Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya; dan barangsiapa terjerumus dalam syubhat, ia terjatuh ke dalam haram, seperti penggembala yang menggembalakan di sekitar tanah larangan..." (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Sikap Seorang Mukmin (Tingkatan Wara’) terhadap Syubhat
Al-Ghazali membagi orang beriman dalam menghadapi syubhat:
1. Wara’ Mutlak – meninggalkan syubhat dan hanya mengambil yang benar-benar halal.
2. Wara’ Biasa – meninggalkan syubhat berat, tapi masih mengambil syubhat ringan jika darurat.
3. Lengah – tidak peduli dengan syubhat, ini bisa menyeret pada haram.
Orang yang serius menjaga akhirat wajib berhati-hati, karena perkara syubhat adalah “pagar” yang menghalangi orang dari haram.
Meninggalkan syubhat adalah bagian dari kesempurnaan iman dan tanda kehormatan hati.
KESIMPULAN
1. Syubhat adalah “pagar” antara halal dan haram yang berfungsi melindungi seorang mukmin dari jatuh ke dalam dosa.
2. Makanan, rezeki, dan kepemilikan yang tidak jelas (syubhat) mempengaruhi hati dan pikiran, sehingga:
Membuat hati keras (qaswah al-qalb) dan nurani tumpul.
Menjadi sebab doa tertolak dan amal kurang diterima.
Menarik jiwa pada kelalaian dan kebiasaan buruk, hingga terbiasa mendekati haram.
3. Semua tafsir klasik dan kontemporer menegaskan: makanan halal dan thayyibat adalah fondasi amal saleh, kesehatan jiwa, dan keberkahan hidup.
4. Wara’ (kehati-hatian) menjadi kunci, karena meninggalkan syubhat adalah indikasi kesempurnaan iman dan ketenangan hati.
Rekomendasi Psikologis
1. Latih Kesadaran Moral (Moral Mindfulness)
Membiasakan diri mengevaluasi sumber rezeki, makanan, dan pakaian setiap hari.
Menumbuhkan rasa takut kehilangan ridha Allah jika mengonsumsi yang haram atau syubhat.
2. Bangun Disiplin Wara’ sebagai Terapi Jiwa
Hindari syubhat meskipun tidak berdosa secara syar’i, karena menjauhkan dari rasa bersalah (guilt) dan menumbuhkan ketenangan batin.
Terapkan gaya hidup sederhana (tidak israf) agar jiwa tidak rakus dan mudah puas.
3. Terapi Spiritual dan Sosial melalui Halal Life
Mengkonsumsi makanan dan rezeki yang halal meningkatkan energi positif, mempermudah doa dan ibadah, serta mencegah stres batin akibat rasa bersalah.
Ajak keluarga dan komunitas untuk mutual check dalam mencari rezeki, agar ada dukungan moral dan pengingat bersama.
4. Pencegahan Krisis Moral dengan Edukasi Halal
Pendidikan keluarga dan masyarakat harus menekankan keterkaitan halal–jiwa sehat–doa mustajab–keberkahan.
Kampanye “Halal Mentality” di komunitas untuk membentuk collective consciousness tentang bahayanya syubhat.
5. Terapi Ketenangan Hati
Lakukan muhasabah (evaluasi harian): apakah yang dimakan, dipakai, dan dimiliki hari ini bersih dari syubhat?
Gunakan doa Rasulullah SAW: “Ya Allah, cukupkan aku dengan yang halal sehingga aku tidak membutuhkan yang haram, dan cukupkan aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak bergantung kepada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi).
Pesan Psikologis
Menjauhi syubhat bukan sekadar soal hukum, tetapi terapi jiwa: membersihkan hati, menenangkan pikiran, memperkuat rasa syukur, dan membuka jalan keberkahan hidup serta mustajabnya doa.DS.22072025.
*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin Selasa, 22 Juli 2025 . kitab ihya juz 2 h 171