![]() |
Oleh: Hendra Tuanku Bandaharo Panjang
Syekh H. Dawamad Tuanku Panjang lebih masyhur dengan Ungku Panjang VII Koto Sungai Sariak. Ulama kharismatik ini adalah pendiri Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf Islami, Ujuang Gunuang, juga dikenal dengan sebutan Surau Kubu, karena letaknya di Ujuang Kubu yang telah melahirkan ratusan ulama berpengaruh.
Dawamad Syekh Ungku Panjang, diperkirakan lahir pada tahun 1886 M di Pasia Laweh, Lareh Nan Panjang Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman. Beliau dikenal berperawakan tinggi besar. "Si Dawam". Itulah panggilan sehari-hari masyarakat kepadanya. Dia tumbuh remaja bersama para pendekar, masyhur sebagai ahli bela diri "Silat Ulu Ambek". Ulu Ambek adalah seni pertunjukan pencak silat, tanpa adanya persentuhan fisik di antara dua petarung yang menampilkan konflik atau pertarungan secara estetis. Beliau sering tak terkalahkan di medan gelanggang Ulu Ambek.
Pada suatu hari, beliau bertemu dengan lawannya yang seimbang dalam sebuah momentum festival nagari, ditonton oleh lapisan masyarakat. Beliau bertarung sepenuh hati, mempertaruhkan harga diri dan komunitasnya. Namun saat itu beliau terdesak ke tepi parit dan berusaha bertahan, tapi akhirnya beliau dinyatakan kalah oleh janang, panitia festival. Penonton bersorak riuh. Beliau sangat malu karena kekalahan itu. Tersiarlah kabar bahwa "Si Dawam buluih".
Sejak hari itu beliau ditinggalkan dan diolok-olok. Rasa malu yang sangat besar menghantuinya siang dan malam. Hatinya gundah bercampur sedih. Tidak lama kemudian, beliau memutuskan untuk pergi meniggalkan kampung halaman serta keluarganya.
Pada saat itu telah masyhur di Koto Tuo, Agam ulama besar yang sangat alim, memiliki murid dan jaringan intelektual yang sangat banyak, yaitu Syekh Aluma Koto Tuo, Mursyid Akbar Syattariyah di zamannya. Syekh Ungku Panjang pergi menuju Koto Tuo, dengan tujuan belajar ilmu agama.
Beliau belajar dalam kondisi sudah dalam fase dewasa baru mulai belajar kitab nahwu, sharaf, tafsir, fiqih, dan lanjut belajar ilmu aqidah, tasawuf, mantiq, ma'ni, bayan, hadits, sirah dan lain-lainnya.
Tanpa memandang usia, beliau tidak segan-segan berguru tuo (panggilan kepada santri senior) hormat dan menjaga adab kepada santri yang lebih muda usianya dari beliau.
Karena yang berharga bagi seseorang itu adalah ilmunya, bukan usianya. Semangat yang tinggi dan disiplin waktu, membuat beliau sangat tekun belajar dan taat beribadah, hingga beliau menemukan kedamaian hidup.
Maka lahirlah istilah dari beliau, "nak cadiak buek pakaro, nak susah pabanyak takok, nak sanang pai ka surau". Artinya, jika ingin cerdik buatlah perkara (masalah yang banyak). Jika ingin susah perbanyaklah bengkalai. Jika ingin senang mengajilah ke surau.
Di surau Syekh Aluma Koto Tuo, beliau sangat rajin belajar dan patuh kepada guru, hingga beliau dengan cepat menangkap pelajaran yang diberikan guru. Sampai beliau menjadi ahli bidang ilmu tafsir, fiqih dan tasawuf disamping ilmu lainnya. Pada suatu hari, beliau disuruh mamakie oleh Syekh Aluma (berkeliling kampung minta sedekah untuk melatih mental).
Dengan tubuhnya yang besar dan tinggi, sudah tidak layak mamakie, dimana biasanya mamakie hanyalah santri junior yang masih dibawah umur yang mulai melatih jiwa. Namun karena perintah guru, tidak ada alasan untuk membantahnya. Beliau pergi tanpa berkomentar dan tanpa ragu-ragu. Setelah berjalan beberapa lama keliling kampung, di tengah perjalanan beliau melewati pematang sawah, dimana ada orang yang sedang membajak sawah. Orang itu melihatnya dan memperhatikannya, lalu berkata dengan nada melecehkan:
"Pakiah sebesar ini masih mamakie,,?
Sebaiknya berusaha banting tulang, membajak sawah seperti saya ini, bukan enak-enaknya minta sedekah, dasar pemalas".
Langkah beliau berhenti dan menoleh, lalu menjawab: "Bapak ingin saya membajak sawah?
Silakan bapak istirahat, biar saya gantikan membajak". Orang itu segera membelokkan bajaknya, merasa segan lalu berkata sambil berpura-pura tersenyum:
"Oh bukan. Aku hanya bercanda. Kamu lanjutkan saja perjalananmu," katanya.
Beliau menganggap itu memang hanya gurauan saja. Lalu beliau beranjak pergi. Beberapa langkah beranjak, orang itu menggerutu dan mengulang kembali kata-katanya.
Beliau tertegun dan berbalik mendekati orang itu dan berkata: "Baiklah pak, aku akan mencoba membajak, silakan bapak istirahat lepaskanlah bajak itu, aku akan menggantikan. Beliau pun menyingsingkan sarungnya dan masuk ke dalam sawah. Tapi orang itu kembali berkata, tidak. Aku hanya bercanda. Dia terus membajak dan tidak mau melepaskan bajaknya.
Beliau membiarkannya dan beranjak lagi. Setibanya di luar, orang itu kembali menggerutu dengan nada melecehkan. Beliau menoleh ke belakang dan bangkitlah darah pendekarnya, lalu mengajak orang itu bertarung. Beliau membuka langkah silat jari-jarinya terjurai. Terjadilah pertempuran di dalam sawah itu. Orang-orang sekitar yang sedang bekerja, terkejut lalu berdatangan secara berlari dan melerainya. Akhirnya mereka diselesaikan oleh niniak mamak nagari serta pemuka masyarakat. Sejak saat itu hilanglah pandangan sinis dan remeh kepada para pakiah (santri).
Pada tahun 1930, Syekh Dawamad Tuanku Panjang menyelesaikan pendidikannya di Koto Tuo. Beliau turun dari Koto Tuo dan kembali ke Sungai Sariak, VII Koto, ke kampung halamannya. Dianugerahi gelar "Tuanku Panjang" karena postur tubuhnya yang tinggi dan besar. Awalnya, beliau diamanahkan oleh masyarakat mendiami dan mengajar di Buluah Kasok, sebuah surau sederhana, namun saat itu penjajah merajalela mengincar para ulama, aktivitas mengajarnya tidak berjalan lancar. Akhirnya beliau meninggalkan Surau Buluah Kasok.
Tidak lama setelah itu, beliau kembali ke Koto Tuo menemui Syekh Aluma dan meminta arahan langkah apa yang sebaiknya dilakukan. Sesaat Syekh Aluma menatap langit, kemudian berkata: "Di Sungai Sariak Ujung Gunuang dirikanlah Pondok Pesantren,". Syekh Ungku Panjang langsung mengiyakannya dengan penuh keyakinan. Syekh Aluma membekalinya dengan santri baru sebanyak 40 orang. Syekh Ungku Panjang kembali ke Sungai Sariak diiringi oleh santri baru dan semangat baru, dikepalai santri senior tiga orang yang ahli di bidangnya masing-masing yaitu: 1.Tuanku Imam Enek, yang kemudian masyhur dengan panggilan Buya Ungku Imam Cacang. 2.Tuanku Sidi Musa, kemudian masyhur dengan Buya Ungku Sidi Musa Tapakis Ulakan 3.Tuanku Razali, yang kemudian masyhur dengan Ungku Tukang Ampalu.
Sesampainya di Sungai Sariak, langsung menuju Ujuang Gunuang Sungai Durian. Disebut juga Ujuang Kubu, yang sebelumnya tanah itu sudah diwakafkan kepada Syekh Ungku Panjang. Mereka bekerja sama membangun Pondok Pesantren, kemudian diberi nama Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf Islami. Maka masyhurlah namanya "Syekh Dawamad Ungku Panjang Sungai Sariak Ujuang Gunuang".
Syekh Ungku Panjang aktif mengajar di Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf Islami sebagai pimpinan, dan dibantu oleh tiga ulama hebat dari Koto Tuo sebagai generasi awal. Pada tahun 1932, ketiganya menyelesaikan pendidikannya dibawah bimbingan Syekh Ungku Panjang dan kembali ke kampung halamannya masing-masing. Ketiganya berhasil menyebarkan Islam dan membuka cabang pondok pesantren baru di kampungnya masing-masing.
Pada generasi kedua tercatat dalam buku Induk Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf, dua orang yang tamat belajar tingkat tujuh pada tahun 1939, yaitu 1. Jurir Tuanku Sidi, 2. Mekjan Tuanku Sidi. Diantara keduanya, Mekjan Tuaku Sidi kembali ke kampungnya, yaitu Kampung Bendang, Sungai Sariak.
Sedangkan Jurir Tuanku Sidi mengabdi di Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf sebagai Wakil Pimpinan Syekh Ungku Panjang.
Kepribadian Syekh Ungku Panjang
Beliau dikenal arif dan bijak serta pandai bergaul dan menyayangi murid-muridnya. Syekh Ungku Panjang mahir dalam bidang tafsir dan fiqih. Setiap tahunnya menjelang Ramadhan diwiridkannya tadarus Tafsir Jalalain, karya Imam Jalaluddin As Suyuthi dan Jalaluddin Al Mahalli, khatam dalam satu bulan, dan tadarus Fiqih Minhaj Thalibin, karya Imam An Nawawi juga khatam dalam satu bulan. Wirid ini masih berlanjut hingga sekarang dilanjutkan oleh khalifahnya.
Walau latar belakangnya dari kalangan pendekar yang tangguh, namun beliau tidak mengajarkan silat Ulu Ambek kepada murid-muridnya secara langsung. Ketika beliau terdesak dalam persoalan yang sulit, maka beliau mempererat duduknya secara bersila. Semakin sengit perdebatan, semakin erat silanya. Argumennya semakin kuat, tak tersolang oleh siapa pun. Seni berargumentasi itu, beliau wariskan dengan gaya seni silat Ulu Ambek.
Bersama istrinya, Ummi Dayang, Syekh Ungku Panjang fokus mengajar dan tidak pernah meninggalkan pesantren. Setiap tahun, semakin ramai santri berdatangan dari segala pelosok. Tercatat dalam buku induk pesantren yang dinyatakan tamat belajar dibawah pimpinan Syekh Ungku Panjang dan Ummi Dayang serta Ungku Sidi Jurir, sebanyak 250 orang santriwan dan santriwati. Yang tidak tercatat tidak kalah banyak pula.
Hubungan Syekh Ungku Panjang dengan Syekh Dawad Ungku Saliah Karamatullah
Selain dari sahabat salapiak sakatiduran di Surau Koto Tuo, sama-sama duduk berhalaqah di hadapan Syekh Aluma, juga sama-sama sekampung halaman. Sekembalinya dari Koto Tuo, mereka sama-sama mengembangkan Islam di Sungai Sariak VII Koto. Hubungannya semakin erat dengan membentuk hubungan keluarga. Syekh Ungku Saliah dijadikan mamak rumahnya.
Saat Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf Ujuang Gunuang dilanda air yang meluap, dimana lokasi pesantren ini diapit oleh dua sungai, yaitu Batang Mangoe dan Batang Katiak. Ketika musim hujan tiba, pesantren ini dikepung oleh dua sungai yang bertemu di Lubuak Tano meluap naik hingga ke halaman pesantren.
Pernah suatu ketika, Batang Katiak meluap hingga sampai ke teras pesantren, dan seperti akan menghanyutkan pesantren ke laut. Syekh Ungku Panjang membiarkannya dan tidak merasa khawatir dengan hal itu. Orang-orang sudah panik dan sibuk merencanakan membuatkan dam pembatas aliran sungai. Namun tidak lama kemudian, datanglah Syekh Ungku Saliah membawa semen satu sak. Tanpa berkata apa-apa, Ungku Saliah melemparkan semen itu ke tepi Batang Katiak dekat Pesantren Dinul Ma'ruf, maka disebutlah hal itu "Pancang Ungku Saliah". Sejak saat itu, ketika hujan lebat datang Sungai Batang Katiak meluap dan mendekat ke Pancang Ungku Saliah, tiba-tiba petir menyambar dekat tepi sungai, maka aliran sungai langsung pindah menjauh dari Pesantren Dinul Ma'ruf.
Hal itu sering terjadi. Hingga sekarang Batang Katiak sudah berulang kali mengikis halaman Pesantren Dinul Ma'ruf, namun tidak sampai mencapai bangunan pesantren walau lokasinya sangat dekat dengan tepi sungai.
Syekh Ungku Saliah adalah penghubung antara Syekh Aluma dengan Syekh Ungku Panjang. Setelah Syekh Ungku Panjang menetap di Sungai Sariak Ujuang Gunuang, sibuk mengurus murid-muridnya, hubungannya dengan Syekh Aluma tetap utuh. Beliau menjadi guru besar di Sungai Sariak, namun dia merasa hanyalah murid yang kecil, patuh dan taat terhadap perintah gurunya.
Diceritakan dari beberapa Alumni Pesantren Dinul Ma'ruf, pada suatu hari Syekh Aluma berpesan kepada Syekh Ungku Saliah, Syekh Aluma berkata, sampaikan kepada Dawamad Tuanku Panjang, bahwa tubuh saya penat, kaki saya pegal. Saya ingin dipijat oleh Dawamad Tuanku Panjang. Syekh Ungku Saliah segera turun dari Koto Tuo, tiba di Sungai Sariak Ujuang Gunuang tengah malam dan menyampaikan pesan itu kepada Syekh Ungku Panjang. Tidak ada kata besok atau nanti, Syekh Ungku Panjang langsung bangkit saat itu juga dan berangkat ke Koto Tuo malam itu, menempuh hutan belantara dengan jalan kaki tengah malam pekat hingga beliau tiba di Koto Tuo dan langsung memijat Syekh Aluma. Tentu saja bukan hanya sekedar memijat, tapi ada beberapa hal yang dibicarakannya secara khusus antara guru dengan murid. Dalam Syattariyah disebut dengan "Talqin secara khusus". Syekh Ungku Panjang sudah mngetahui hal itu, karena itu beliau tidak sekedar memandang perintah memijat saja, tapi ada sesuatu dibalik itu.
Di penghujung usia, Syekh Ungku Panjang ingin menunaikan ibadah haji. Beliau mendaftar haji dan sudah beberapa kali dipanggil petugas haji, namun beliau tidak mau berangkat.
Ketika ditanya alasannya kenapa belum berangkat? Jawabnya belum saatnya. Pada tahun 1968 Syekh Ungku Panjang mendapat panggilan haji kembali. Kali ini barulah beliau mau berangkat. Maka beliau menunjuk salah seorang muridnya menggantikan posisinya (khalifahnya), yaitu Syekh Basyaruddin Tuanku Basa. Hal itu diluar dugaan orang banyak. Terjadilah ketegangan di kalangan murid-muridnya. Ada yang mengusulkan calon khalifah yang dirasa patut, yaitu tiga muridnya yang pertama, ada yang mengusulkan yang lain. Tapi Syekh Ungku Panjang menolak semuanya, hingga ada yang berani bertanya secara empat mata.
Kenapa Ungku Basyaruddin yang ditunjuk sebagai pengganti, kenapa bukan yang lain, seperti Ungku Sidi Jurir yang sudah lama mengabdi di pesantren ini, juga jauh lebih alim dari Ungku Basyaruddin? Syekh Ungku Panjang sejenak menengadah ke langit lalu menjawab dengan singkat: "Ndak Tantu di ang doh..! Artinya: "Kamu tidak tahu tentang ini, dan nanti kamu akan mengetahuinya". Maka semua orang terdiam dalam penasaran. Ada yang menilai beliau tidak bijak, ada yang menganggap Ungku Sidi Jurir tidak pantas dan penilaian lainnya yang bermacam-macam.
Setelah menetapkan kepemimpinan Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf, Syekh Ungku Panjang bersama Ummi Dayang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, beliau istirahat di sisi Ummi Dayang karena esoknya rombongan akan kembali pulang, akan tetapi beliau wafat pada saat itu di Mekkah Al Mukarramah.
Ummi Dayang pulang membawa kabar kewafatan beliau di Mekkah, setibanya Ummi Dayang di rumah, Syekh Ungku Sidi Jurir juga menyusul wafat.
Barulah diketahui maksud Syekh Ungku Panjang mengundur waktu berangkat haji, karena beliau ingin wafat di tanah suci, dan menunjuk Syekh Ungku Basyaruddin sebagai khalifahnya saat keberangkatannya, bukan Ungku Sidi Jurir. Karena beliau sudah mengetahui, bahwa Ungku Sidi Jurir juga akan menyusul wafat. Maka hilanglah semua keheranan dan kebingungan orang-orang sebelumnya.
Syekh Ungku Basyaruddin menggantikan posisi Syekh Ungku Panjang, sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf sejak tahun 1968 sampai tahun 2001. Dan pada Tahun 2001 Syekh Ungku Basyaruddin Wafat. Sebelum kewafatannya, beliau telah menunjuk Buya Syekh Mahyuddin Tuanku Khatib Majolelo sebagai khalifahnya. Pondok Pesantren Dinul Ma'ruf Syekh Ungku Panjang dipimpin oleh Buya Syekh Mahyuddin Ungku Khatib Majolelo sejak tahun 2001 hingga sekarang.
Narasumber:
1. Buya Syekh Ungku Sutan Muslim yang masyhur dengan "Ungku Kareh" Sungai Geringging, murid langsung dari Syekh Ungku Panjang, dan ditashih oleh Buya Syekh Mahyuddin Ungku Khatib Majolelo, khalifah kedua Syekh Ungku Panjang.