![]() |
Marzuki Tuanku Labai Nan Basa diwawancarai Heri Sutikno, terkait disertasi doktornya di Lubuk Pandan. |
Rancana kito ka mandoa basamo untuak kesembuhan Buya. Ruponyo Buya mandahului kito basamo. Innaa lillahi wa Inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah Buya kito, hari ini (Minggu (6/9/2020) menjelang Maghrib. Ini pesan di WAG alumni PPMU Lubuk Pandan yang saya baca sehabis Magrib. Pesan itu ditulis oleh salah seorang alumni, Abdurrahman Tuanku Kuniang. H. Marzuki Tuanku Labai Nan Basa sejak beberapa pekan belakangan mengalami sakit. Sakitnya cenderung menurun dari waktu ke waktu, meskipun telah dibawa berobat ke berbagai rumah sakit dan klinik.
Marzuki berpulang dalam usia 72 tahun. Dia mulai mengajar di Lubuk Pandan akhir tahun 1994, mendampingi Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Menjelang akhir hayanta, Marzuki diangkat jadi khalifah oleh Buya Lubuk Pandan. Kurang lebih 25 tahun lamanya Marzuki mengabdi di Lubuk Pandan, meneruskan tradisi mengaji di pesantren yang didirikan pada 1940 M itu.
Kabar melalui dunia maya secepat kilat menyebarnya. Alumni dari berbagai daerah di Sumbar ini, sejak senja Minggu itu telah hadir di Lubuk Pandan. Sehabis Isya, dilakukan tahlil yang dipimpin Marulis Tuanku Mudo, yang malam itu langsung dinobatkan jadi khalifah Buya Lubuk Pandan. Persetujuan itu disepakati antara alumni dan niniak mamak, tokoh masyarakat Kampuang Guci, Lubuk Pandan.
Marzuki meninggalkan seorang istri, empat orang putra, dan ratusan santri yang tengah menuntut ilmu di pesantren yang terletak di Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman itu. Sejak Minggu malam hingga Senin petang, lokasi pesantren masih dipadati oleh jemaah yang datang menziarahi makamnya di komplek gubah Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Guru besar Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Batang Kabung, Padang, Buya H. Idris Tuanku Mudo, pimpinan Pesantren Darul Ikhlas Batang Kapecong dan Lubuk Tajun, Pakandangan, Buya Suhaili Tuanku Mudo, Khalifah Buya Ali Imran Hasan Ringan-Ringan, Zulhamdi Tuanku Kerajaan Nan Shaliah, Pimpinan Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, Tuanku Labai Rais ikut memberikan penghormatan terakhirnya.
Asisten I Setdakab Padang Pariaman yang juga Ketua Yayasan Pesantren Nurul Yaqin, Idarussalam Tuanku Sutan, Heri Firmasyah Tuanku Khalifah, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Padang Pariaman Dr. H. Zainal Tuanku Mudo serta banyak ulama dan pimpinan pondok pesantren lainnya di Padang Pariaman yang hadir, dan ikut menyelenggarakan jenazah almarhum Marzuki. Tuanku Afredison, anggota DPRD Padang Pariaman dari PKB yang mewakili alumni menyampaikan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah hadir, memberikan kabar duka kepada pimpinan pesantren ini.
"Sesuai tradisi yang berlaku di tengah masyarakat, maka almarhum kita kajikan mulai malam ini, hingga 100 hari nantinya," kata dia. Dia berharap, para santri, alumni, jemaah dan pimpinan pesantren ikut memberikan doa, agar almarhum ini ditinggikan derajatnya di sisi Allah Swt.
Marzuki adalah orang yang sempurna nilai-nilai Madrasatul 'Ulum-nya. Dia waktu kecil mengaji di sini, bersama Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, lalu tamat dan pulang kampung. Beberapa tahun di kampung, dijemput kembali oleh alumni untuk mengajar di Lubuk Pandan atas restu Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Jadi, besar dan lama di Lubuk Pandan, tanah Lubuk Pandan pun memintanya untuk berdiam di lingkungan pesantren ini.
Baik Afredison, Tuanku Datuak Batuah Nan Kuniang yang mewakili keluarga besar Nagari Singgalang, dan H. Amiruddin Shaleh, anak Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya. "Maklum, selama dia mengajar di sini, bergaul dengan masyarakat Lubuk Pandan dan Padang Pariaman, maupun dengan santrinya sendiri, tentu ada salah dan janggalnya. Mohon untuk dimaafkan," katanya.
Amiruddin Shaleh yang telah dianggap kakak oleh keluarga besar Madrasatul 'Ulum merasa tercengang melihat perkembangan dan kemajuan pesantren yang didirikan ayahnya itu. "Pesantren ini di masa depannya harus lebih bagus dan lebih terkenal lagi. Tugas berat yang diemban Marulis Tuanku Mudo bersama alumni untuk menjadikan pesantren ini tidak hilang dari peredaran. Marzuki ini masih tergolong adik oleh saya, lantaran usia saya lebih tua dari dia," kata Amiruddin Shaleh sambil menahan air matanya keluar.
"Saya tidak alumni, dan tidak pernah mengaji di sini," kata Amiruddin. Tamat SD, Amiruddin disuruh merantau oleh ayahnya, Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah ke Tanah Rencong Aceh, menuntut ilmu. Kenapa demikian? "Kata Buya waktu itu, kalau kamu mengaji dengan saya, nanti kalau durhaka, akan ada dua dosa durhaka kamu ke saya. Satu durhaka ke guru yang telah mengajarkan kamu ilmu. Yang kedua durhaka anak kepada orangtuanya. Makanya saya disuruh merantau mencari ilmu," ceritanya.
Menurut Amiruddin, keshalehan ayahnya (Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah 1908 -1996) adalah karena ilmu diamalkannya. Dan itu diketahui banyak muridnya dan masyarakat. Banyak orang berilmu tapi kurang amalannya. "Buya, semakin banyak dia membaca kaji dalam kitab semakin tinggi dan banyak pula amalannya. Shalat berjemaah tiap waktu oleh Buya semacam wajib. Dia tak pernah shalat sendirian sepanjang hayatnya," ujarnya.
Tarmizi, yang mewakili masyarakat Lubuk Pandan tak tahan titikan air matanya. Kata-katanya serak, sambil menyampaikan betapa pesantren ini punya arti tersendiri. "Jangan ragu lagi untuk menyerahkan anak mengaji dan menuntut ilmu di Lubuk Pandan. Kami masyarakat sangat terbuka, dan siap bersama santri dan alumni mengembangkan Madrasatul 'Ulum," ujarnya.
Asisten I Setdakab Padang Pariaman Idarussalam Tuanku Sutan bersaksi bahwa Marzuki orang baik, shaleh, alim. "Semoga amalannya diterima di sisi Allah Swt, serta di tinggikan derajatnya," harapnya.
Dengan adanya lembaga pesantren ini, kata dia, wafat seorang ulamanya, harus tumbuh sekian ulama lagi yang akan melanjutkan tradisi pendidikan pesantren tradisionlanya. Pesantren ini lumayan banyak dan berkembang di Kabupaten Padang Pariaman. "Ini lembaga yang komit dengan aqidah Ahlussunna wal jamaah. Banyak zikir setelah shalat berjemaah, Subuh pakai doa qunut, dan lain sebagainya," ujarnya.
Testimoni
"Man, ini kampung yang paling dingin di Singgalang. Kadunduang namanya. Di atas ini tak ada lagi kampung. Surau ini bangunan yang terakhir," kata Marzuki ke saya, saat dia membawa saya wirid pengajian di Kadunduang, tahun 1995. Saat itu, saya tukang jinjing tas Marzuki yang tengah melakukan safari dakwah di kampungnya, Singgalang, Kabupaten Tanah Datar. Ada tiga malam kami nginap di kampung itu dalam satu kali jalan itu.
Sebelum Marzuki ceramah, dia minta masyarakat untuk manaikan saya terlebih dulu. Artinya, sebagai penceramah pertama saya, yang kedua baru dia. Diajaknya saya ke Singgalang ini, cerita sederhana. Suatu waktu Marzuki diundang oleh orangtua saya untuk memberikan pengajian Israk Mi'raj di Toboh Binu, Nagari Lurah Ampalu. Otomatis, diajak ataupun tidak oleh Marzuki, saya tetap menemaninya.
Lalu, oleh masyarakat Toboh Binu, saya yang diminta ceramah pertama. Tukang kembangkan lapik orang situ menyebutnya. Nah, habis itu, setiap kali ada undangan ceramah keluar, Marzuki selalu membawa saya. Sebagai santri yang baru tamat marapulai, saya mau dan senang sekali ikut itu. Apalagi, uang dapat pula dari masyarakat.
Dari acap pergi bersama Marzuki itulah saya banyak dapat cerita pengalamannya dulu mengaji, cerita ulama hebat, dan tokoh hebat dalam suatu kampung yang diceritakannya dalam perjalanan. Yang paling sering diceritakannya, adalah Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah sering membawanya dulu memberikan pengajian ke berbagai daerah.
Dengan kepergian Marzuki selama-lamanya ini, Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan telah dipimpin tiga generasi, yang diawali oleh Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, Buya Iskandar Tuanku Mudo, dan Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa itu sendiri. Banyak yang sudah dilakukannya, dan tentu masih banyak pula yang belum diajarkannya ke santri di pesantren tersebut.
Sekarang Marulis Tuanku Mudo, alumni yang berasal dari Kabupaten Solok yang telah berumah di Sikabu Lubuk Alung memegang kendali jalannya pondok pesantren ini. "Kami, siapa pun yang disetujui oleh alumni untuk khalifah Buya Lubuk Pandan, sangat setuju," kata Mothia Azis Datuak Nan Basa, anggota DPRD Padang Pariaman yang juga salah seorang niniak mamak kaum Suku Guci, Lubuk Pandan saat berunding dengan alumni beberapa waktu Marzuki berpulang.
"Kami, sesuai siapa yang ditunjuk oleh almarhum, maka kami kokohkan Marulis Tuanku Mudo," ujar H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi, pimpinan Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua saat akan melanjutkan perundingan dengan niniak mamak tersebut.
Marulis pun tak tahan rasa harunya. "Kalau khalifah itu agak berat. Tetapi kalau membantu mengajar, saya siap dengan syarat dukungan dari seluruh alumni," ujar Marulis menjawab rundingan Ahmad Yusuf Tuanku Sidi.
Haul
Muharram ini tepatnya sudah tiga tahun berlalu Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa meninggal dunia.
Pimpinan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk (1995 - 2020) ini meninggalkan kenangan indah tersendiri, terutama buat keluarga besar pesantren yang diteruskannya mengasuh dan memimpin.
Ahad petang di bulan September tahun 2020, di tengah dunia sedang dihebohkan oleh peristiwa covid, Marzuki pergi setelah mengalami sakit.
Marzuki diminta mengajar di Madrasatul 'Ulum oleh guru besar pesantren ini, Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah pada tahun 1995, setelah kepergian Buya Iskandar Tuanku Mudo.
Marzuki wafat dalam usia 72 tahun. Kurang lebih 25 tahun memimpin dan mengasuh pesantren yang berdiri sejak tahun 1940 tersebut.
Lahir di Gantiang, Nagari Singgalang, Kabupaten Tanah Datar 17 April 1948 dari ayah Inun dan ibu Amai Upiak, wafat di Lubuk Pandan tahun 2020. Tamat Sekolah Rakyat (SR) di Singgalang, sekitar berusia 15 tahun dia merantau dan mengaji ke Lubuk Pandan.
Sepertinya, Buya Marzuki seorang pimpinan yang sempurna nilai-nilai Madrasatul 'Ulum-nya. Dia tidak pernah mengaji di tempat lain, selain di Lubuk Pandan bersama Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Sepulang dari mengaji di Lubuk Pandan, dia aktif berdakwah dan mengajar di Panyalaian, Tanah Datar, dan sempat kuliah di Padang Panjang, tapi tidak sampai tamat.
Berbadan sedang, tidak tinggi, Marzuki mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Lahir di Singgalang, Kabupaten Tanah Datar, lama menuntut ilmu di Padang Pariaman, membuat keberadaannya diterima oleh masyarakat.
Ahad (6/8/2023) malam, Madrasatul 'Ulum menggelar Haul ketiga Buya Marzuki. Haul adalah peringatan wafat seseorang, dan banyak dilakukan di kalangan ulama dan pesantren.
Tujuan Haul tentunya memberikan doa dan kaji kepada almarhum, sekaligus membaca biografinya untuk dikenang oleh generasi yang ditinggalkannya.
Agenda Haul itu adalah mengkhatam Quran dan zikir bersama sesudah Magrib. Diawali dengan Magrib berjemaah, lalu langsung ke pokok kegiatan.
Seluruh santri dan alumni yang hadir ikut mengkhatam Quran, membaca secara bersambung. Semakin banyak yang membaca Quran, tentu semakin sedikit yang dibacanya.
Fadhilah membaca Quran itu diperuntukkan buat Marzuki dan buat seluruh guru-guru dan ulama yang punya hubungan, sanad keilmuan dengan Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sang tokoh utama di Lubuk Pandan dengan pesantren ini.
Kemudian, mengkhatam Quran ini juga diharapkan mampu memperkuat kelangsungan pesantren ini hingga terus hadir sepanjang masa.
Usai mengkhatam Quran dan zikir bersama, agenda Haul dilanjutkan dengan halaqah bersama. Haul ketiga ini, panitia menyiapkan tema; "Mengenal Sosok Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa".
Dari halaqah ini, tentu akan banyak cerita dan kisah yang akan diceritakan oleh alumni dan anak mendiang sendiri. Kisah dan cerita baik yang penuh dengan hikmah, adalah sesuatu yang amat penting untuk diwarisi.
Buya Marzuki meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Seorang anaknya sudah menamatkan kaji di Lubuk Pandan. Zulkarnain namanya. Anak sulung Marzuki itu kini berkiprah di tengah masyarakat, lewat pendidikan surau.
Warisan
Lantunan bacaan ayat suci Quran mengisi seluruh ruangan aula besar di lantai dua Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan, Ahad (6/8/2023) malam.
Tak ada suara lain yang terdengar, selain suara dengungan orang mengaji. Dengan irama sendiri-sendiri, terserah pada yang membaca. Ya, santri, alumni hingga ke pimpinan pesantren, serta semua yang hadir ikut mengaji.
Mengaji Quran, sesuai kemampuan masing-masing, dengan satu niat dan satu tujuan, berkahnya untuk guru-guru, terkhusus Marzuki Tuanku Labai Nan Basa, yang malam itu puncak Haul ketiga dia yang diperingati di pesantren yang berdiri 1940 itu.
Setelah mengaji, gemuruh suara pun bersambung dengan melafazkan zikir bersama. Masih sesudah Magrib menjelang pelaksanaan Shalat Isya.
Tentunya dibawah pimpinan Marulis Tuanku Mudo, pimpinan pesantren ini, mengaji dan zikir bersama itu berlangsung sebagai puncak Haul.
Buya Marzuki Tuanku Labai Nan meninggal dunia tahun 2020, tiga tahun yang lalu. Almarhum meninggalkan seorang istri dan empat orang putra.
Wafat dalam usia 72 tahun. Kurang lebih 25 tahun memimpin pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh H Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah ini.
Haul ketiga Marzuki Tuanku Labai Nan Basa ini mengusung tema, mengenal sosoknya. Sosok atau biografinya ini disampaikan oleh alumni, anaknya dan pimpinan pesantren.
Pembacaan biografi ini penting, mengingat perbedaan cara pandang dan cara menafsirkan hubungan guru dengan murid yang tidak bisa sama diantara sekian banyak murid dan alumni.
"Setidak-tidaknya, Haul ketiga ini adalah "mangamehan nan taserak mangumpuan nan taicia". Artinya, semua karakter dan kisah Marzuki terangkum di seluruh alumni, yang tentunya berbeda-beda yang dirasakan dan dialami alumni itu," ujar Abdurrahman Tuanku Kuniang mengawali ceramahnya malam itu.
Abdurrahman, alumni asal Padang Toboh Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman ini memaparkan kisah ketauladanan mendiang secara runut dan terstruktur.
Abdurrahman yang mulai masuk jadi santri di Madrasatul 'Ulum tahun 1999 ini, menilai pentingnya pituah guru dan kisahnya jadi pegangan bersama.
Ada kesamaan tanggal wafat Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa dengan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, yakni tanggal 19. Buya yang tua 19 Jumadil Akhir, dan Buya Marzuki 19 Muharram.
Nasehat dan pituah Buya Marzuki yang dicatat Abdurrahman ini cukup banyak dan sangat menarik untuk dikembangkan.
Besar kemungkinan, nasehat dan pituah ini sangat erat kaitannya dengan pendahulunya, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
"Sering Buya bilang, ibarat ikan kalau di kampung kalian ikan garing, tapi ketika di pondok ini kalian hanya ikan pantau," ujar Abdurrahman.
Demikian itu sering, dan malah jadi pameo. "Artinya, sehebat apapun kita yang pernah mondok di sini dulunya, sebesar apa pun status sosial kita di luar sana, ketika sudah kembali berada di pondok ini, tak ada artinya dan tidak perlu disombongkan di hadapan almamater ini," katanya.
Kemudian yang sering menjadi peringatan Buya Marzuki, sebut Abdurrahman, jangan risau oleh persoalan dunia, tapi risau dan sibuklah dengan urusan akhirat.
Selanjutnya, kata Abdurrahman, sesuatu harus ada dasar dan rujukan kajinya. "Ketika mengaji dia senang kalau santri suka bertanya, dan suka ada sesuatu yang baru. Artinya, terselip di sini, boleh melawan guru dengan kajinya," ulasnya.
Berikutnya, jujur dalam menyampaikan kaji. "Buya menyampaikan kaji sesuai apa adanya, sesuai referensi sendiri. Kalau tak ada ketemu kajinya, ya sampaikan begitu, dan jangan cari pembenaran yang dibuat-buat," sebutnya.
Abdurrahman menyebutkan, bahwa kesungguhan Buya Marzuki dalam mengajar amat luar biasa.
"Dalam kondisi apa pun juga, sakit sekali pun, dia pesankan kepada santri untuk terus mengajar," katanya.
Selalu berpedoman pada guru. "Buya dulu seperti ini. Kalau Buya dulu begini. Artinya, petuah gurunya dulu, pun tak dia abaikan. Melainkan terus dipedomani dengan baik dan benar.
Buya Marzuki, kata Abdurrahman, sangat menganjurkan santri dan muridnya untuk menulis. Menulis kaji dan ilmu yang dipelajari tiap hari.
"Kalian menulislah, biar ilmu bisa tersalurkan kepada generasi yang panjang," kata Abdurrahman menirukan fatwa Buya Marzuki.
Malam itu, Zulkarnain, putra sulung Buya Marzuki juga ikut memberikan materi, terkait judul kegiatan.
Dia menceritakan sedikit kisahnya yang sering berpindah-pindah tempat tinggal bersama buyanya. Lalu, tempat tinggal tak pernah sepi dari tamu.
"Selalu banyak yang datang, siang dan malam, bertanya tentang banyak hal ke Buya Marzuki. Dari berbagai kalangan," katanya.
Sampai terakhir tinggal di sini. Lubuk Pandan, tempat Buya Marzuki dulunya mengaji.
"Saya merasakan, Buya Marzuki, ulama yang diterima banyak orang, pandai menempatkan diri di mana pun juga berada," sebut Zulkarnain.
Sementara, Tuanku Afredison, alumni yang sedang jadi anggota DPRD Padang Pariaman juga memberikan masukan dan materi.
Ketua DPC PKB Padang Pariaman ini berkisah soal pembaruan yang dilakukannya bersama Buya Marzuki dulunya, terasa sekali betapa itu amat penting.
Pro dan kontra dalam melahirkan kebijakan, katanya, adalah sesuatu yang wajar. Yang penting, pondasi dasar tidak berubah dan tidak dirubah di tengah pembaruan itu.
Materi ditutup oleh Buya Marulis Tuanku Mudo, pimpinan pesantren yang melanjutkan proses belajar mengajar sepeninggal Buya Marzuki.
Buya Marulis yang lama tinggal di Koto Buruak Lubuk Alung ini banyak bercerita soal kedekatannya dengan Buya Marzuki. (AD)