![]() |
Pada hari Rabu, tanggal 12 Juni 2025, pukul 11.03 WIB, sebuah pertemuan yang sarat makna berlangsung di jantung kota Pekanbaru. Titip Elyas, S.Pd., C.CT., General Manager Metro Press Indonesia, diundang secara khusus oleh Buya Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag., yang dikenal pula dengan gelar kehormatannya, Tuanku Mudo. Undangan tersebut tidak dilangsungkan secara formal di ruang pertemuan hotel, melainkan di sebuah tempat yang lebih hangat dan santai: Pairing Coffee, sebuah kafe elegan yang terletak tidak jauh dari Hotel Pangeran Pekanbaru.
Di balik pertemuan ini, tersimpan keresahan intelektual mendalam yang telah lama mengendap dalam hati dan pikiran Buya Duski. Sebelum mengundang Titip Elyas, beliau telah lebih dahulu berdiskusi secara intens dengan para ulama dan kaum intelektual di Pariaman dan Padang. Diskusi-diskusi itu tidak hanya membicarakan masa kini, namun menelusuri kembali jejak-jejak pemikiran dan spiritualitas para pendahulu, khususnya warisan petuah Syaikh Burhanuddin Ulakan.
Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Buya Duski, warisan itu kini mulai mengalami penyimpangan. Ada tiga keresahan utama yang beliau tangkap dalam berbagai forum intelektual yang diikutinya:
1. Otoritatif – Kiprah dan keberadaan para Tuanku—yang dahulu menjadi panutan spiritual dan moral masyarakat—kini mulai dipandang sebelah mata, terutama oleh kalangan modernis. Otoritas spiritual Syaikh Burhanuddin dan para penerusnya belum cukup kuat untuk menembus arus besar zaman.
2. Distorsi – Ajaran-ajaran Syaikh Burhanuddin, termasuk tradisi basafa yang sakral di Ulakan, telah mengalami banyak penyimpangan makna dan praktik. Apa yang dahulu bernilai tinggi, kini kehilangan ruhnya karena ditafsirkan secara sembarangan oleh generasi penerus.
3. Stagnansi Modal Sosial dan Intelektual – Di tengah arus perubahan yang cepat, peran keilmuan, keagamaan, dan sosial para Tuanku seakan berjalan di tempat. Gagasan dan langkah nyata tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Untuk menjawab keresahan tersebut, Buya Duski menawarkan sebuah formula strategis: 3E – Experience, Experiment, Expectation. Menurutnya, jalan perubahan dimulai dari pengalaman, diuji melalui eksperimen intelektual dan sosial, lalu diarahkan dengan ekspektasi yang tajam terhadap masa depan.
Dalam obrolan santai namun serius di Pairing Coffee, beliau mengutarakan gagasan besar: pentingnya menyusun ensiklopedia Tuanku. Sebuah karya ilmiah monumental yang akan mendokumentasikan ajaran, peran, dan kiprah para Tuanku sepanjang sejarah—dengan tujuan utama untuk:
Menguatkan otoritas spiritual dan sosial para Tuanku di tengah masyarakat,
Mengurangi distorsi dan penyimpangan terhadap ajaran aslinya,
Menggunakan dan menggerakkan kembali modal sosial, intelektual, dan keagamaan yang selama ini stagnan.
Titip Elyas, sebagai tokoh muda yang aktif di dunia penerbitan, menyambut gagasan itu dengan penuh semangat. Baginya, proyek tersebut bukan sekadar kerja literasi, tetapi jihad intelektual untuk menyelamatkan warisan ulama Sumatera Barat yang nyaris tenggelam di tengah modernitas.
Dalam percakapannya, Buya Duski juga menyinggung prinsip dasar kehidupan:
"Gajimu sesuai prestasimu. Manusia adalah lokomotif perubahan."
Dengan nada teduh namun tegas, beliau menyampaikan bahwa Tuhan telah menyediakan seluruh fasilitas kehidupan, dan manusia diminta untuk merebutnya dengan kesungguhan. "Soal hidup adalah soal kita. Tuhan menyediakan fasilitas, maka rebutlah fasilitas itu…" tuturnya mantap.
Makna doa “Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina 'azabannar” pun tak luput dari refleksi beliau. Menurut Buya Duski, doa itu merupakan permohonan akan kenikmatan sepanjang waktu tanpa henti. Doa itu bukan hanya tentang dunia dan akhirat semata, tetapi tentang keberkahan yang terus-menerus mengalir dalam setiap detik kehidupan.
Pertemuan hari itu ditutup dengan komitmen awal: untuk bersama-sama memulai gerakan dokumentasi besar tentang para Tuanku. Di tengah aroma kopi yang menggoda dan lalu-lalang pengunjung Pairing Coffee, lahirlah gagasan perubahan yang bisa jadi akan mengguncang kembali kesadaran kultural masyarakat Sumatera Barat.
Dan sejarah, kadang memang dimulai dari obrolan hangat dua tokoh yang peduli.
Penulis: Titip Elyas