![]() |
Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Tanah bukan hanya objek fisik yang bernilai ekonomis, tetapi juga mengandung nilai simbolik, kultural, dan spiritual dalam kehidupan masyarakat adat. Di Minangkabau, tanah ulayat merupakan warisan leluhur yang tidak hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga penopang eksistensi dan identitas kolektif. Ia diwariskan secara turun-temurun, dikelola secara komunal oleh kaum atau suku, dan diatur oleh norma adat yang menjunjung prinsip musyawarah dan keadilan sosial.
Tanah ulayat tidak dapat dipahami sekadar sebagai lahan pertanian atau aset ekonomi, melainkan sebagai manifestasi dari peradaban yang hidup—warisan nilai-nilai luhur, sistem sosial, dan struktur hukum adat.
Namun, dalam konteks modernitas dan ekspansi kapitalisme global, tanah ulayat menghadapi tekanan yang semakin kompleks: konflik agraria, perampasan lahan, marginalisasi hukum adat, dan terputusnya pewarisan nilai antargenerasi.
Modernisasi yang tidak berdimensi kultural seringkali mereduksi tanah ulayat menjadi sekadar aset produktif. Negara pun, dalam berbagai regulasinya, belum sepenuhnya mampu mengakomodasi keberadaan dan kekhususan tanah ulayat, sehingga terjadi tumpang tindih antara sistem hukum adat dan sistem hukum nasional. Hal ini menimbulkan kekacauan normatif, konflik vertikal antara masyarakat adat dan negara, serta konflik horizontal antar komunitas lokal.
Tulisan ini hadir sebagai refleksi akademik terhadap peran strategis tanah ulayat sebagai legacy peradaban yang mengandung muatan sosiokultural dan yuridis.
Fokus pada konteks Minangkabau, tulisan ini akan menelaah makna, fungsi, serta tantangan kontemporer yang dihadapi tanah ulayat, sekaligus menawarkan strategi pelestarian berbasis kearifan lokal.
Esensi dari “Tanah Ulayat sebagai Legacy Peradaban” adalah bahwa tanah ulayat bukan sekadar sumber daya fisik, melainkan warisan nilai, norma, dan sistem hidup kolektif yang mencerminkan peradaban masyarakat adat.
Secara ringkas, berikut inti atau esensi utamanya:
1. Identitas Kolektif dan Warisan Nilai
Tanah ulayat. merepresentasikan jati diri komunitas adat, terutama Minangkabau, yang memandang tanah sebagai bagian dari pusaka tinggi—tidak boleh dijual dan harus diwariskan. Ia mengandung nilai keadilan sosial, spiritualitas, dan gotong royong yang diturunkan antargenerasi.
2. Sistem Hukum dan Kedaulatan Lokal
Tanah ulayat dikelola melalui hukum adat yang hidup, bukan oleh hukum negara. Ia menjadi cermin kedaulatan komunitas dalam mengatur ruang hidup dan sumber daya secara mandiri dan bermartabat.
3. Pilar Keberlanjutan Ekologis dan Sosial
Sebagai bentuk kepemilikan kolektif, tanah ulayat mendorong pengelolaan berkelanjutan, tidak eksploitasi, dan berpihak pada keseimbangan alam serta kesejahteraan bersama.
4. Ancaman Modernitas dan Kapitalisme
Wacana ini juga menyoroti bahwa dalam arus modernisasi dan tekanan kapitalisme global, tanah ulayat mengalami pengikisan makna, perampasan, dan konflik, terutama karena benturan dengan sistem hukum negara dan pasar bebas.
5. Urgensi Revitalisasi dan Perlindungan
Menempatkan tanah ulayat sebagai legacy peradaban berarti mengakui pentingnya revitalisasi nilai-nilai adat, penguatan kelembagaan adat, dan perlindungan hukum untuk mempertahankan fungsi sosial, budaya, dan ekologisnya di masa kini dan mendatang.
Tanah Ulayat dalam Perspektif
Sosio-Kultural
Tanah ulayat merupakan bentuk hak milik kolektif yang khas dalam masyarakat adat, terutama di Minangkabau, yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kepada suatu kelompok kekerabatan seperti suku atau kaum. Tanah ini tidak dapat diperjualbelikan secara individual karena mengandung nilai spiritual dan sosial yang tinggi.
Dalam masyarakat Minangkabau, tanah ulayat dikenal dengan ungkapan “pusako tinggi” yang bersifat tidak boleh dialihkan, hanya boleh dimanfaatkan untuk kesejahteraan anggota kaum.
Koentjaraningrat (2009) menjelaskan bahwa struktur sosial masyarakat adat Indonesia umumnya bercorak komunal, dan tanah ulayat mencermin kan pola tersebut. Ia merupa kan bagian dari sistem sosial yang menegaskan identitas, solidaritas, dan kesinambungan antar generasi.
Menurut von Benda-Beckmann (1979), hak ulayat tidak bisa dipahami dalam kerangka hukum barat yang individualistik. Hak ulayat lebih bersifat relasional, dinamis, dan dijalankan berdasarkan norma adat yang disepakati bersama dalam komunitas.
Warisan Peradaban dan Intergenerational Justice. Dalam teori warisan peradaban (legacy of civilization), sebagaimana dikembangkan oleh Edward Shils (1981), suatu peradaban ditandai oleh kesinambungan nilai, norma, dan simbol yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks ini, tanah ulayat bukan hanya warisan fisik, tetapi merupakan bentuk nyata dari intergenerational justice—keadilan antar generasi yang menjamin hak hidup dan kelangsungan komunitas di masa depan (Rawls, 1971).
Dalam pendekatan ekologi budaya, sebagaimana dijelaskan oleh Julian Steward (1955), hubungan manusia dengan lingkungannya terbentuk berdasarkan adaptasi sosial dan budaya yang terus berkembang. Tanah ulayat menjadi ekspresi adaptasi tersebut, di mana manusia memelihara ruang hidup secara berkelanjutan.
Hukum Adat dan Paradigma Hak Kolektif. Pendekatan antropologi hukum melihat hukum adat sebagai sistem normatif yang hidup dan dijalankan dalam praktik sehari-hari. Ter Haar (1948) mengemukakan bahwa hukum adat bersifat kontekstual dan tidak terpisah dari struktur sosial dan kultural masyarakat. Dalam hal ini, tanah ulayat dijaga melalui sistem kekerabatan, tokoh adat, dan peran ninik mamak sebagai otoritas moral.
Hak kolektif atas tanah ulayat juga diperkuat dalam berbagai instrumen internasional, seperti United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP, 2007), yang mengakui hak masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya secara turun-temurun.
Modernisasi dan Krisis Tanah Ulayat
Modernisasi dan kebijakan pembangunan nasional seringkali membawa paradigma hukum negara yang bersifat positivistik dan individualistik. Menurut Merry (1988), hal ini menciptakan “legal pluralism” yang memunculkan konflik antara hukum negara dan hukum adat. Dalam kasus tanah ulayat, tumpang tindih klaim antara negara, swasta, dan masyarakat adat sering kali terjadi karena tidak adanya pengakuan formal atas hak komunal.
Scott (1998) dalam Seeing Like a State menegaskan bahwa negara modern cenderung menyederhanakan struktur sosial lokal untuk kepentingan administratif, yang berdampak pada pengabaian sistem adat yang kompleks dan organik. Oleh karena itu, pelestarian tanah ulayat memerlukan rekonstruksi pendekatan hukum yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam sistem nasional.
Solusi atas Pro-Kontra Tanah Ulayat dalam Konteks Modernitas
1. Rekognisi Formal dan Integrasi Hukum Adat ke dalam Sistem Nasional
Konflik antara hukum adat dan hukum negara dapat diredam dengan rekognisi yang tegas terhadap hak ulayat dalam regulasi nasional. Penguatan pasal-pasal dalam UUPA (UU No. 5/1960), Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, dan pengarusutamaan hak kolektif dalam RUU Masyarakat Adat menjadi langkah strategis.
Pemerintah daerah juga harus menyusun Perda khusus tentang Tanah Ulayat yang berbasis partisipasi masyarakat adat.
2. Revitalisasi Lembaga Adat dan Literasi Generasi Muda. Untuk mengatasi keterputusan nilai antargenerasi, perlu dilakukan revitalisasi peran ninik mamak dan lembaga KAN (Kerapatan Adat Nagari) agar mampu menjadi mediator yang adaptif terhadap zaman. Di sisi lain, generasi muda harus dilibatkan dalam pendidikan adat berbasis nilai, melalui kurikulum lokal, dokumentasi digital, dan pelatihan kepemimpinan adat.
3. Model Tata Kelola Kolaboratif: Adat, Negara, dan Pasar
Solusi inovatif. adalah membangun model tata kelola kolaboratif antara masyarakat adat, pemerintah, dan dunia usaha. Misalnya: skema community-based land management di mana tanah ulayat dimanfaatkan secara produktif oleh komunitas, tetapi tetap di bawah pengawasan adat, dengan pendampingan hukum dan teknologi dari negara dan pihak ketiga.
4. Sertifikasi dan Pemetaan Partisipatif Tanah Ulayat. Agar tanah ulayat tidak mudah dirampas atau diklaim oleh pihak luar, pemetaan partisipatif dan sertifikasi komunal perlu dilakukan secara luas. Ini dapat memanfaatkan dukungan dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), NGO, dan pemerintah daerah, dengan menggunakan pendekatan spasial, historis, dan kultural.
5. Ekonomi Adat Berbasis Keberlanjutan dan Keadilan Sosial.
Untuk merespons kebutuhan ekonomi modern, tanah ulayat dapat dimanfaatkan melalui unit usaha adat (BumNag atau BumKaum) yang mengedepankan prinsip keadilan sosial dan kelestarian. Misalnya, pengembangan agrowisata adat, hutan nagari lestari, atau pertanian organik berbasis kearifan lokal.
Penutup
Tanah ulayat bukan masalah masa lalu, tetapi soal masa depan. Jika diposisikan secara bijak, ia bukan penghambat pembangunan, melainkan pilar peradaban alternatif yang menjawab krisis ekologis, krisis identitas, dan ketimpangan sosial akibat pembangunan yang eksploitatif. Solusi atas pro-kontra tanah ulayat harus berpijak pada semangat rekonsiliasi antara warisan adat dan tantangan modernitas.
ds.09052025.
*Guru Besar dan Dosen Pengasuh Mata Kuliah Islam dan Budaya Minangkabau pada UIN Imam Bonjol