![]() |
Oleh: Syahrul Mubarak, S.Pd, M.Hum, Tuanku Bandaro Auliya
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa Syekh Burhanuddin sewaktu belajar di tanah Aceh dulu, ada empat sahabat yang sama-sama belajar kepada Syekh Abdur Rauf. Pada saat Syekh Burhanuddin disuruh gurunya untuk pulang ke ranah Minang guna menyebarkan agama Islam, empat sahabatnya tadi juga ikut pulang. Mereka memiliki keinginan yang sangat besar untuk sama-sama dengan Syekh Burhanuddin mengembangkan agama Islam di kampungnya masing-masing.
Di dorong rasa seperti itulah yang membuat mereka cepat-cepat pulang walaupun belum dapat izin dan do'a restu dari gurunya, mereka pulang atas dasar kemauan sendiri.
Setelah mereka sampai di kampung mereka masing-masing, maka mulailah mereka menyiarkan agama Islam yang mereka bawa dari tanah Aceh. Adapun orang-orang tersebut adalah:
1. Datuk Maruhum Panjang, berjuang menyiarkan Islam di kampungnya sendiri di Padang Ganting.
2. Sitarapang, berjuang mengembangkan Islam di Kubung Tiga Belas Solok
3. Muhammad Natsir, berjuang di kampungnya di Koto Tangah Padang
4. Buyung Mudo, berjuang menyiarkan Islam di Bayang Pulut-Pulut Pesisir Selatan
Mereka semua telah berjuang di tengah-tengah masyarakat untuk membawa umat kepada jalan yang benar (agama Islam), siang dan malam mereka berjuang, suka dan duka mereka hadapi dengan tenang, pahit dan getirnya perjuangan mereka coba dan dengan berbagai cara mereka lakukan.
Maka dengan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, semua perjuangan mereka tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Masyarakat tidak mau mengikuti mereka dan masyarakat tidak mau memperdulikan agama Islam yang telah mereka bawa dari tanah Aceh dimana mereka menuntut ilmu. Semuanya berpaling dan tidak mau menghiraukan agama Islam yang mereka bawa, malah sebaliknya mereka dibenci dan marah mendengarkan kata-kata mereka. Boleh jadi cara mereka mengembangkan Islam tidak seperti cara Syekh Burhanuddin yang bijaksana sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya:
"Serulah manusia ke jalan Allah dengan cara bijaksana dan dengan pelajaran yang baik, serta berdiskusilah dengan mereka dengan jalan yang lebih baik".
Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan agama Islam selalu mendapatkan perhatian masyarakat, beliau dihormati dan disayangi, beliau dipuji dan dimuliakan, semua perkataan beliau diikuti oleh masyarakat sehingga tempat beliau mengajar dari hari ke hari semakin ramai dikunjungi oleh masyarakat yang ingin mempelajari agama Islam.
Sementara itu sahabat Syekh Burhanuddin tadi terus berjuang menyiarkan agama Islam. Mereka berpendapat mengapa Syekh Burhanuddin bisa berhasil padahal ia adalah sahabat seperguruan yang sama-sama belajar di tanah Aceh. Hal itu membuat mereka terus mencoba sekuat tenaga sehingga mencapai hasil sebagaimana Syekh Burhanuddin.
Tetapi apa boleh buat, rencana bagi mereka namun keputusan Allah yang menentukan, segala rencana mereka tidak berjalan dengan baik. Semuanya kandas di tengah jalan, bahkan masyarakat bertambah benci kepada perkataan mereka bahkan ada yang bermaksud untuk membunuh mereka jika mereka tidak berhenti dari mengembangkan agama Islam yang mereka anut.
Pada suatu hari, Buyung Mudo teringat bagaimana perjuangan sahabat mereka masing-masing. Langkah pertama Buyung Mudo mengunjungi Muhammad Natsir di Koto Tangah. Setelah bertemu Buyung Mudo bertanya kepada sahabatnya itu perihal tugasnya di Koto Tangah, apakah syiarnya diterima atau tidak. Kemudian Muhammad Natsir berkata bahwa setiap perkataannya tidak ada yang mau menerima bahkan mereka bertambah benci kepada ia. Orang yang sebelumnya merupakan temannya sekarang menjadi musuhnya karena ia menyiarkan Islam. Lalu Muhammad Natsir bertanya kepada Buyung Mudo bagaimana keadaan di kampungnya, apakah ia berhasil atau tidak. Ia menjawab bahwa itulah alasannya datang ke Koto Tangah karena perjuangannya dalam syiar Islam tidak diterima oleh masyarakat.
Karena keduanya mendapatkan penolakan dari masyarakat, kemudian mereka pergi melihat dua teman yang lainnya yaitu Datuak Maruhum Panjang di Padang Gantiang dan Sitarapang di Solok. Setelah itu mereka berdua pergi menemui Sitarapang, mereka menceritakan pengalaman mereka dalam syiar Islam di kampung mereka masing-masing, rupanya Sitarapang bernasib sama dengan dua temannya tadi yaitu juga mendapat penolakan dari masyarakat. Lalu mereka bertiga pergi mengunjungi Datuak Maruhum Panjang di Padang Ganting untuk menanyakan bagaimana usahanya dalam syiar Islam dan ternyata juga sama dengan tiga temannya tadi.
Setelah keempatnya mendapatkan nasib yang sama, kemudian Datuak Maruhum Panjang sebagai yang tertua berkata, mungkin ini semua adalah ujian dari Allah SWT. karena mereka telah durhaka dan pergi ke kampung halaman mereka tanpa seizin dari guru. Mungkin itulah sebab mereka tidak diterima oleh masyarakat dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat, sementara si Pono (Syekh Burhanuddin) diterima oleh masyarakat dalam syiar Islam di kampungnya.
Atas dasar kesepakatan mereka berempat yang merasa bersalah dan durhaka kepada guru, mereka memutuskan untuk kembali ke Aceh kepada gurunya seraya meminta maaf atas ketidakpatuhan mereka dan berjanji untuk kembali belajar dan memperdalam ilmu tentang agama Islam. Dalam riwayat bahwa kepulangan mereka ke Aceh terjadi pada tahun 1021 Hijriah yang mana itu bertepatan pada saat wafatnya Syekh Ahmadul Qusasi, guru yang tercinta oleh Syekh Abdur Rauf sewaktu di Madinah.
Sesampainya di Aceh, mereka menemui gurunya seraya meminta maaf atas ketidakpatuhan mereka kepada guru. Permintaan maaf ini diwakilkan oleh Datuak Maruhum Panjang selaku yang tertua diantara mereka berempat. Kemudian Syekh Abdur Rauf menjawab bahwa ia telah memaafkan mereka berempat sebelum mereka meminta maaf. Lalu Datuak Maruhum Panjang menceritakan kepada guru mereka tentang perjalanan dakwah mereka yang mendapatkan penolakan dari masyarakat, bahkan ia tambah dibenci oleh masyarakat ketika mereka mengajak masyarakat ke jalan yang benar (agama Islam).
Setelah mendengar penjelasan dari muridnya tadi, Syekh Abdur Rauf menjawab bahwa jika mereka ingin melanjutkan pelajaran tentang agama Islam, maka pergilah kepada Syekh Burhanuddin di kampung halamannya dan belajarlah kepadanya, sebab dia telah saya angkat menjadi khalifah di Minangkabau mewakili saya dalam mengembangkan Islam dan begitu pula semua kitab-kitab telah saya berikan kepadanya.
Setelah mendengar anjuran dan nasehat dari gurunya, dengan senang hati dan dengan menyerahkan diri kepada Allah SWT. mereka berangkat menuju daerah Pariaman untuk menemui Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan dimana dia duduk mengajar.
Sesampainya di Surau Tanjung Medan, mereka bersalam-salaman dengan penuh kasih sayang disebabkan telah lama tidak bertemu. Tak lama setelah itu Syekh Burhanuddin mengajak mereka ke Surau yang telah dibangun untuk mereka tinggal. Surau itu terletak di Padang Lagundi yang letaknya tidak jauh dari pantai Ulakan.
Setelah mengetahui rencana Syekh Burhanuddin, maka dengan suara lemah lembut salah satu diantara mereka berkata bahwa kedatangan mereka ke sini bukan untuk menempati Surau, tapi kedatangan mereka adalah untuk menambah ilmu kami yang belum cukup sebagimana yang telah disetujui oleh guru mereka yaitu Syekh Abdur Rauf.
Dengan bijaksana Syekh Burhanuddin berkata kepada sahabat-sahabatnya itu, bahwa tentang soal yakin menuntut ilmu telah dilakukan sewaktu belajar di Aceh dulu kepada Syekh Abdur Rauf, jadi ia menyampaikan untuk saling tambah dan menambah ilmu masing-masing sesuai garis yang telah ditugaskan guru mereka untuk mengembangkan agama Islam, tugas ini sama-sama kita laksanakan selaku muslim, suka dan duka dalam berjuang kita hadapi dengan tawakal kepada Allah SWT.
Setelah selesai perbincangan, mereka berangkat dari Tanjung Medan menuju Padang Lagundi dimana surau-surau itu telah dibangun serta diiringi oleh anak-anak mengaji yang akan dididik dan diasuh oleh mereka masing-masing. Konon kabarnya tempat itu akhirnya dimasyhurkan sampai sekarang dengan nama tempat "Ulakan", maka di tempat itulah nanti bermakamnya Syekh Burhanuddin yang akan penulis terangkan nanti pada penulisan berikutnya, dan di tempat itu pulalah terjadinya ziarah bersama yang dimasyhurkan dengan nama "Bersyafar" sampai sekarang ini.
Dengan kesungguhan yang mereka berempat belajar kepada Syekh Burhanuddin, Allah SWT. telah membuka pintu hati mereka untuk diisi dengan ilmu agama, akhirnya mereka menjadi orang yang alim, tetapi keahlian mereka tidaklah sama tentang seluk agama. Mereka ahli di bidang masing-masing sebagai tersebut dalam riwayat:
1. Datuk Maruhum Panjang, dari Padang Ganting ahli dan alim dalam ilmu fikih.
2. Sitarapang dari Kubung Tigo Baleh, Solok ahli dan alim dalam bidang nahwu.
3. Muhammad Natsir dari Koto Tangah, Padang ahli dan alim dalam ilmu tafsir.
4. Dan Buyung Mudo dari Bayang Pulut-Pulut ahli dan alim dalam ilmu saraf.
Selanjutnya, setelah mereka menerima ijazah dari Syekh Burhanuddin dan ia berkata pada masyarakat bahwa mulai saat itu sahabat-sahabatnya ini telah ia angkat menjadi khalifahnya di kampung mereka masing-masing yang akan menyiarkan agama Islam ditengah masyarakat.
Setelah itu mereka mengembangkan agama Islam di kampung mereka masing-masing. Sekarang situasi dan zaman sekarang telah jauh berubah, dulu mereka dibenci dan dicaci, sekarang mereka dipuji dan dihormati. Dulu mereka diganggu dan dicaci maki, tapi sekarang mereka dimuliakan dan disayangi. Begitulah bentuk karunia Tuhan yang datang terhadap mereka, Allah Maha Kuasa di atas segala-galanya dan dengan kehendak-Nya segala sesuatu bisa terjadi.
Sumber:
Buku Riwayat dan Perjuangan Syekh Burhanuddin
Wawancara Singkat dengan Tokoh Ulakan