![]() |
اَلْأَكْلُ وَالشُّرْبُ بَيْنَ الْوَقَارِ وَالْعَادَة
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Pada sore hari Selasa, beberapa hari yang lalu dalam pekan ini, aku dijadwalkan mengisi pengajian ba’da Magrib di salah satu masjid dalam kota Pariaman. Dalam perjalanan menuju lokasi, sekitar satu kilometer sebelum sampai, aku melewati kawasan jajanan kuliner yang cukup ramai.
Perut terasa lapar, maka aku singgah di sebuah warung bubur yang sudah sering aku kunjungi, bernama 'Juragan Bubur.' Aku memesan satu porsi bubur campur dan duduk di dalam warung itu membelakangi jalan. Saat suapan terakhir masuk ke mulut, aku menyadari warung tersebut sangat ramai. Banyak orang datang membungkus bubur dan membawanya pulang.
Salah seorang pembeli berkata, “Kalau enak, pasti langganan.” Dan aku pun tersenyum—karena akulah pelanggan itu. Namun yang lebih membuatku tertegun adalah dua lembar kertas yang ditempel di sisi dalam warung: yang satu bertuliskan anjuran membaca basmalah sebelum makan, dan yang lainnya anjuran makan sambil duduk.
Aku meminta izin kepada pemilik untuk memotretnya. Rasanya luar biasa menemukan semangat sunnah hidup di tempat yang sederhana.
Pengalaman ini mengingatkanku pada momen yang kontras. Saat umrah Ramadhan di Makkah dua bulan lalu, aku sering membeli ayam goreng di sebuah restoran cepat saji yang sangat ramai. Tidak ada kursi. Hanya meja kecil menempel ke dinding untuk kita hadapi sambil berdiri. Bahkan jika duduk di lantai dan di emperan, bisa ditegur oleh karyawan restoran.
Aku pun terkenang kembali—pertama kali dalam hidupku menghadiri acara makan bersama yang dilakukan sambil berdiri adalah pada awal 2000-an, di sebuah resepsi pernikahan di sebuah hotel mewah di Jakarta. Tidak ada kursi. Semua tamu berdiri sambil makan. Aku, yang merasa tidak nyaman, akhirnya jongkok di pojok sambil makan.
Lalu muncul pertanyaan: bagaimana pandangan Islam terhadap makan atau minum sambil berdiri?
Dalam literatur hadits, tema ini termasuk salah satu yang disebut secara eksplisit.
Berikut riwayat-riwayatnya:
Hadits 1
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
> «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا»
“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang minum sambil berdiri.”
Ketika ditanya, “Bagaimana dengan makan?” Anas menjawab:
> “ذَاكَ أَشَدُّ”
“Itu lebih utama untuk ditinggalkan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1879)
Hadits 2
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma:
> «كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ»
“Kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa makan sambil berjalan, dan minum sambil berdiri.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1880)
Hadits 3
Dari Al-Jarud bin Al-Mu’alla radhiyallahu ‘anhu:
> «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا»
“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang minum sambil berdiri.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1881)
Hadits 4
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
> «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرِبَ مِنْ زَمْزَمَ وَهُوَ قَائِمٌ»
“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam minum air zamzam dalam keadaan berdiri.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1882)
Hadits 5
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
> «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا»
“Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam minum sambil berdiri dan sambil duduk.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1883)
Pendapat Ulama: Penjelasan Al-Mubarakfuri rahimahullah
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, beliau mengutip perkataan Imam An-Nawawi rahimahullah:
"Pendapat yang benar adalah bahwa larangan dalam hal ini (minum sambil berdiri) dibawa kepada makna makruh tanzih (makruh tetapi tidak haram). Adapun perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum sambil berdiri adalah sebagai penjelasan bolehnya, maka tidak ada masalah dan tidak ada pertentangan. Inilah pendapat yang kami sebutkan, dan wajib berpegang kepadanya."
Beliau melanjutkan:
"Adapun orang yang mengklaim adanya nasakh (penghapusan hukum) atau semacamnya, maka sungguh ia telah keliru dengan kekeliruan yang nyata. Bagaimana mungkin kita menyimpulkan adanya nasakh padahal masih mungkin untuk mengkompromikan antara hadits-hadits, seandainya pun ada penetapan waktu terjadinya, dan dari mana pula ia bisa memastikan hal itu?"
Dan ditambahkan lagi:
"Jika ada yang bertanya: 'Bagaimana mungkin minum sambil berdiri dianggap makruh padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya?' Maka jawabannya: Sesungguhnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dimaksudkan untuk menjelaskan kebolehan, maka hal itu tidak disebut makruh. Bahkan penjelasan tersebut adalah kewajiban beliau."
"Telah tetap bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhuk satu kali-satu kali, dan beliau pernah thawaf dengan mengendarai unta, padahal telah disepakati bahwa berwudhuk tiga kali-tiga kali dan thawaf dengan berjalan kaki adalah lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang melakukan suatu perkara untuk menunjukkan kebolehannya, lalu membiasakan yang lebih utama darinya. Seperti itu pula: mayoritas wudhuk beliau adalah tiga kali-tiga kali, mayoritas thawaf beliau adalah dengan berjalan kaki, dan mayoritas minum beliau adalah sambil duduk."
(Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami' at-Tirmidzi, Makkah, Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, th. 1425 H - 2004 M,
7/2252)
Penutup
Sore itu di warung bubur, aku belajar bahwa adab bukanlah milik eksklusif tempat mewah. Justru kadang, warung sederhana bisa lebih mewakili sunnah dan wibawa Islam.
Makan dan minum sambil duduk bukan hanya masalah posisi tubuh. Ia mencerminkan ketundukan, ketenangan, dan penghargaan atas nikmat Allah subhanahu wata'ala. Sunnah ini hidup di tengah kita bukan untuk memberatkan, tapi untuk mendidik dan membentuk karakter mulia.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang memuliakan sunnah dalam hal besar maupun kecil.
Pariaman, Sabtu, 26 Dzulqa'dah 1446 H / 24 Mei 2025 M
Tulisan ini bisa juga diakses di http://mahadalmaarif.com