![]() |
Penulis: AD Tuanku Mudo
Masa Mengaji
Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung terkenal dengan "Serambi Mekkah"-nya Padang Pariaman. Betapa tidak, di nagari inilah terlahir banyak ulama yang tersebar di Ranah Minang ini. Di nagari ini banyaknya berdiri pesantren yang mengembangkan kajian kitab kuning dari berbagai disiplin ilmu, guna mencetak kader intelektual dan ulama.
Abdullah Aminuddin yang lazim disebut dengan Tuanku Shaliah Pengka oleh masyarakat itu, juga dilahirkan di Pakandangan pada 1908 M, dari pasangan Syekh Mukaddam, seorang ulama besar di Sungai Rotan, Pariaman di zamannya dengan Hj. Tiambun asal Jambak, Pakandangan. Kebesaran Syekh Mukaddam ini di zaman yang dikenal dengan Kolonial Belanda itu, cukup terkenal di Sungai Rotan yang sekarang telah menjadi wilayah Kota Pariaman. Banyak para santri yang belajar menuntut ilmu di Sungai Rotan kala itu dari Syekh Mukaddam ini. Bahkan ayah Buya Hamka, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah yang populer dengan panggilan Syekh Haji Rasul pernah belajar di sana sebelum belajar ke Makkah Al-Mukarramah, (baca buku Ulama-ulama Oposan).
Di saat itulah Syekh Mukaddam mengembangkan lembaga pendidikan ala surau hingga dia memperoleh keturunan seorang anak yang diberi nama Abdullah Aminuddin, yang kelak juga mendirikan pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum di Nagari Lubuk Pandan, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung. Sebelum Abdullah Aminuddin mendirikan Madrasatul ‘Ulum pada 1940 M, ia telah mengembara belajar kesana-kemari mencari berbagai ilmu yang kelak beliau kembangkan di pesantrennya itu. Maklum, waktu itu masih dalam suasana upaya mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Berkat kerjasama yang baik dari semua pihak, baik masyarakat Lubuk Pandan, maupun santri yang ada waktu itu, Madrasatul ‘Ulum berdiri dengan sangat sederhana.
Untuk menjadi seorang ulama tidak mudah. Banyak hal yang harus dilalui, perlu menuntut ilmu ke banyak ulama, sehingga kelak memiliki referensi yang banyak dalam menghadapi tantangan zaman. Prinsip ini yang dipakai Abdullah Aminuddin. Sebelum ia mendirikan lembaga pendidikan agama, pondok pesantren yang menurut banyak pihak merupakan lembaga pendidikan tertua di nusantara ini, ia mengaji di banyak tempat, berguru di berbagai halaqah, bertemu dan bersua dengan banyak ulama hebat.
Di usia delapan tahun ia telah meninggalkan kampung halamannya Pakandangan, untuk menuntut ilmu Al-Quran ke Nagari Ulakan dengan seorang ulama yang bernama Syekh Bonta. Syekh Bonta di Tanjung Medan, Ulakan. Adalah Khalifah Syekh Burhanuddin. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah mengaji di sini awalnya. Sekitar tahun 1916. Di sana dia sama mengaji dengan Syekh Luttan, anak Syekh Bonta, Syekh Musa Tapakis dan syekh lainnya. Dari Tanjung Medan, Ulakan, ia melanjutkan studinya tentang ilmu sharaf di Koto Tangah, Padang pada 1918 M. Kurang lebih dua tahun di Padang, Abdullah Aminuddin melanjutkan pendidikannya ke Nagari Bintungan Tinggi, Kecamatan Nan Sabaris, Padang Pariaman dengan Syekh Abdurrahman yang dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi. Di sini ia lebih mendalami ilmu fiqh (hukum Islam). Dari Bintungan Tinggi, Abdullah Aminuddin kembali ke Tanjung Medan Ulakan, mendalami ilmu fiqh. Kemudian setelah bumi Padang Panjang digoyang gempa pada 1926 M, Abdullah Aminuddin melanjutkan studinya ke Kamumuan, Sungai Limau dan Manggopoh, Kabupaten Agam dengan Tuanku Muaro yang cukup memiliki kharisma.
Abdullah Aminuddin setelah di Manggopoh, kembali mendalami ilmu ke Ampalu Tinggi, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman dengan Syekh Muhammad Yatim atau yang dikenal dengan Tuanku Mudiak Padang. Selama tiga tahun ia di Ampalu Tinggi, lalu pindah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dengan seorang ulama, yakni Syekh Tuanku Aluma (kakek dari Ismed Ismael Tuanku Mudo, anggota DPRD Sumbar 2004-2009). Selesai di Koto Tuo, Abdullah Aminuddin melanjutkan studinya secara formal ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho Padang Panjang bersama Syekh Muhammad Djamil Jaho, salah seorang ulama pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang terkenal dengan sebutan Inyiak Jaho. Pada bulan Rabi’ul Akhir 1315 H atau 26 Agustus 1932 M, Abdullah Aminuddin menyelesaikan studinya di Jaho.
MTI Jaho
Abdullah Aminuddin tak lama di MTI Jaho. Namun, kisah dan pengalaman keilmuannya kian terasa mendalam ke sekolah itu. Terkenal sebagai anak siak yang ranjin dan pintar. Seringkali guru di kelas kewalahan, ketika belajar kajian yang penuh dengan perdebatan dan diskusi panjang. Dengan merasa kewalahan, sang guru kelas lebih memilih Abdullah Aminuddin ini naik kelas sebelum ujian akhir. Naik kelas secara melompat-lompat, sampai akhirnya Inyiak Jaho tahu dan mengetahui tentang kehebatan dan kerajinan serta keshalehan seorang anak siak yang bernama Abdullah Aminuddin ini. Dari lompat dan disuruh naik ke kelas yang lebih tinggi oleh guru kelas, akhirnya dia harus duduk di kelas terakhir di MTI itu. Kelas terakhir yang langsung bertemu dan dihadapi oleh Inyiak Jaho sendiri.
Dan memang selama di kelas yang langsung Inyiak Jaho mengajar kelompok itu, Abdullah Aminuddin sering kena tanya, sering diminta untuk menjawab apa yang menjadi perdebatan dalam kelas tersebut. Saat akan mengakhiri kelas terakhir itu, Abdullah Aminuddin disuruh langsung mengajar di kelas tujuh itu. Mengajar di kelas lokal unggul, sebagai ujian terberat yang dirasakan Abdullah Aminuddin. Disebut terberat, karena seisi kelasnya dihuni oleh anak siak hebat dan unggul. Tersebut dalam kelas itu seseorang yang kelak mendirikan MTI Malalo, yakni Syekh Zakaria Labai Sati. Di lokal itu benar Abdullah diminta mengajar. Akhirnya, selesai juga, dan ia dinyatakan tamat bersama Zakaria Labai Sati. Meskipun Zakaria Labai Sati lebih duluan masuk MTI Jaho dari dia, Abdullah Aminuddin ini mampu menjadi yang terunggul, sehingga sama angkatan tamatnya dengan Zakaria Labai Sati.
Kelak, jauh setelah itu. Pun ia sudah berusia lanjut, anak siak di Lubuk Pandan ada yang direkomendasikan untuk dapat ijazah MTI Jaho ini, tanpa belajar di situ. Diantaranya, adalah Buya Buchari Rauf. Buchari Rauf adalah anak siak yang pintar. Tersebut pintar, dia mampu mengaji dan sekolah. Ingin melanjutkan kuliah, maka Abdullah Aminuddin mengantarkannya ke MTI Jaho, untuk dapat ijazah. Akhirnya, lewat ijazah Jaho, Buchari Rauf menyelesaikan kuliahnya di IAIN, kini UIN Imam Bonjol, sampai akhirnya jadi dosen di perguruan tinggi itu, setelah sebelumnya sempat jadi politisi di PPP, dan jadi anggota DPRD Sumbar periode 1992-1997. Terkenal sebagai politisi vokalis, idealis.
Tarbiyah Perti
Nama Abdullah Aminuddin, tak banyak yang tahu. Ulama yang lahir 1908 dan meninggal dunia 1996 ini, terkenal dengan "Tuanku Shaliah Pengka". Dia terakhir sekolah dan tamat di MTI Jaho Padang Panjang 1932 M, seangkatan dan sama tamat dengan Syekh Zakaria Labai Sati. Tamat dari Jaho, tak langsung dia ke Lubuk Pandan. Melainkan ia merantau ke Pasaman, dan sempat mengajar di sebuah sekolah Tarbiyah di sana. Tak lama di Pasaman, dia pindah ke Koto Laweh, Tanah Datar, tak jauh dari Jaho. Dan sebelum belajar dengan Syekh Muhammad Djamil Jaho, ia telah berguru ke banyak ulama dan tuanku di Padang Pariaman. Dia pernah berguru ke Syekh Abdurrahman Padang Bintungan, Syekh Muhammad Yatim Mudiak Padang, yang terkenal dengan Ungku Ampalu, Syekh Bonta yang terkenal sebagai Khalifah Syekh Burhanuddin, dan ulama lainnya.
Perjalanan panjang dalam menuntut ilmu ini, membuat dia kaya akan ilmu pengetahuan. Mengamalkan semua ilmu yang dipelajarinya, membuat dia taat dan rajin beribadah. Dan dengan ini pula melekat gelar "Tuanku Shaliah" di dirinya. Syekh Mukaddam Sungai Rotan, Pariaman adalah ayahnya. Seorang ulama besar dan terkenal hebat di zamannya.
Pergerakan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di zaman itu cukup hebat dan terkenal. Pergerakan Inyiak Canduang, Inyiak Jaho dan Syekh Abbas Qadhi Padang Japang masih kuat dan mewarnai jagat Minangkabau ini. Abdullah Aminuddin pernah ikut dalam pergerakan Perti ini. Terakhir, dia sempat jadi anggota Dewan Penasehat DPP Perti, berkali-kali ikut dalam kegiatan Ormas besar yang lahir 1928 ini di tingkat Sumbar dan nasional. Terutama ketika Buya Buchari Rauf ikut berkontribusi di Perti, Abdullah Aminuddin termasuk ulama yang dinantikan kedatangannya dalam kegiatan dan pergerakan Perti di nusantara ini.
Keluarga
Dalam sejarah hidupnya, Abdullah Aminuddin pernah mempunyai lima orang istri. Istrinya yang pertama bernama Siti Arapah melahirkan seorang putra bernama AH. Datuak Sinaro Nan Panjang. Kemudian beliau kawin dengan seorang bernama Siti Nidar, tetapi dengan perempuan yang satu ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Dengan istrinya yang ketiga bernama Jawani, Abdullah Aminuddin mendapatkan dua orang anak; Muhammad Ramli (Alm) dan Abdul Rahman. Sementara dengan istrinya Nurullah terlahir lima orang putra-putri, Drs. Amiruddin Shaleh, Abdul Majid, Aisyah, Zainab dan Zubir. Dan dengan istrinya terakhir, Hj. Gadis beliau mendapatkan sembilan keturunan; Maimunah, Abdul Gafar, Afasah, Abdullah, Tarmizi, Halimatus Sya’diyah, Yusuf, Muhammad, dan Fatimah.
Karya
Pengalaman Abdullah Aminuddin saat jadi Tuanku Khadi Pakandangan sangat luar biasa. Banyak pihak yang mencoba menggoyahkan pendiriannya soal khutbah Jumat, namun beliau tetap dalam pendiriannya. Dia memberikan jawaban yang diterima semua pihak. Tidak menyalahkan kelompok lain, yang berbeda cara pandang dengan dia. Abdullah Aminuddin sebagai seorang ulama, tidak anti pemerintah, dan tidak anti pembaharuan. "Buktinya, saat saya jadi santri dan salah seorang guru tuo, pernah dilakukan pembaharuan dalam proses belajar mengajar di Pesantren Madrasatul ‘Ulum ini dengan belajar dalam kelas, pakai rapor dan tentunya juga pakai kuirikulum. Dari Abdullah Aminuddin pula saya belajar banyak berorganisasi. Dia ulama organisatoris. Saya pernah mendampinginya ikut Musda Perti di Kabupaten Limapuluh Kota bersama mendiang Buya Buchari Rauf,” kata Afredison, alumni Madrasatul ‘Ulum yang kini jadi anggota DPRD Padang Pariaman dari PKB.
Bermula dari Surau Kapalo Sawah (SKS), sebuah surau milik kaum Suku Guci di Kampung Guci, Lubuk Pandan. Abdullah Aminuddin merasul di sini, setelah sebelumnya mengajar di kampungnya sendiri, Surau Jambak Pakandangan, Tarbiyah Sasak Pasaman Barat, dan Koto Laweh, Tanah Datar. Di sekitar SKS itu ada tanah milik mertuanya, dan mulailah pembangunan surau, sebagai pengembangan dari SKS. Tercatat, pada tahun 1940 M, SKS itu berubah nama menjadi Pondok Pesantren Madrasatul ‘Ulum. Zaman awal berdirinya, hanya sebuah surau. Sedangkan anak siak dari tahun ke tahun terus bertambah. Maka, seluruh surau masyarakat di Lubuk Pandan itu dihuni oleh anak siak. Anak siak dari Singgalang, Tanah Datar menunggui surau lain, sedangkan anak siak dari Solok, Sijunjung, Lasi, Kabupaten Agam, sampai ada santri dari Malaysia, Aceh dan lainnya, ditempatkan di surau milik masyarakat.
Tidak hanya anak siak yang datang mengaji ke Lubuk Pandan. Para orang tua-tua pun banyak yang datang, dan mengaji ke Lubuk Pandan ini. Lazim, orang tua-tua dari Singgalang sering menjadikan Lubuk Pandan sebagai tempat pelaksanaan “Sembahyang Empat Puluh Hari”. Sebab, di Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan Abdullah Aminuddin selalu mengamalkan ibadah wajib lima waktu sehari semalam itu dengan cara berjemaah. Terkenal shaleh, karena ibadah wajibnya tak pernah dia lakukan sendiri. Makanya, ketika dia keluar pesantren, memenuhi undangan masyarakat, selalu ada seorang anak siak yang diangkutnya, untuk menjadi makmum, bila dalam perjalanan masuk waktu shalat.
Pratek seperti demikian, hingga saat ini masih berlaku di Lubuk Pandan. Shalat berjemaah, setidaknya mampu membentuk kedisiplinan santri dan pesertanya. Shalat berjemaah ini tersebut sebagai “fatwa wajib” beliau. Wajib dan beliau sendiri yang memulai pelaksanaannya sampai akhir hayatnya. Kemudian yang juga fatwa wajibnya, adalah menghidupkan tradisi ziarah ke Ulakan, makamnya Syekh Burhanuddin setiap tanggal 13 Rajab. Dia ingin tampil beda dengan kebanyakan ulama bersanad ke Syekh Burhanuddin. Dia lebih memilih tanggal, ketimbang hari. Makanya, setiap bulan Rajab itu, “Safa Ungku Shaliah Pengka” tak pernah sama harinya.
Sejak awal berdiri Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, sekitar seribuan alumni yang dilahirkannya. Para alumni ini berkiprah di tengah masyarakat, dan ada juga yang mengajar di tempat lain, serta mendirikan pesantren. Pun darah politik dan pemerintahan, ikut mengalir di Madrasatul ‘Ulum. Buktinya, alumni pesantren ini ada yang jadi anggota dewan di kampungnya. Tentu, garis anggota dewan ini dicetuskan dulunya oleh Buya Buchari Rauf dan H. Iskandar Tuanku Mudo, dua penggerak Madrasatul ‘Ulum yang penah duduk jadi anggota dewan di Sumbar dan Padang Pariaman, dari partai yang berbeda. Belakangan, muncul dua alumni pesantren ini yang berhasil di dewan, yakni Afredison di DPRD Padang Pariaman dari PKB dan Asrizal Malin Sinaro di DPRD Agam dari PKS.
Karya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah
Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan yang masih eksis hingga saat ini dinilai sebuah lembaga pendidikan informal yang telah melahirkan banyak tokoh dan pejuang. Terutama pejuang pendidikan ala surau yang patut dicontoh dan diapresiasi oleh generasi sekarang.
Berdiri 1940, lembaga ini bernama Surau Kapalo Sawah. Surau milik masyarakat Kampuang Guci yang pertama kali ditempati mendiang Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah tatkala pindah mengajar dari Surau Jambak Pakandangan ke Lubuak Pandan.
Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah (1908 - 1996) sendiri boleh kita katakan sebagai pemilik tunggal pesantren ini awalnya. Berbekalkan tanah wakaf di dekat Surau Kapalo Sawah, bangunan milik pesantren berupa surau dilakukannya. Tentu bersama anak siak zaman itu serta masyarakat Lubuak Pandan itu sendiri.
Sampai hari ini, dan tentunya sepanjang pesantren ini ada, nama Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah tak pernah dan tak boleh hilang. Dia tokoh sentral, banyak melahirkan murid yang juga jadi ulama yang tangguh di tengah masyarakat. Contoh besar yang paling berkesan diberikannya kepada santrinya, adalah kewajiban melakukan shalat yang lima waktu secara berjamaah.
Rajin beribadah, mengutamakan mengajar ketimbang berkoar-koar di atas mimbar, lihai nahwu sharaf, santiang mengaji fiqh, pintar dalam lomba kitab kuning, adalah bagian yang tak terpisahkan dari asuhan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Kalau kita tafsirkan perjuangan yang dilakukannya sejak zaman dulu dalam membangun pendidikan surau, terlihat betapa dia ingin anak asuhannya mampu menjawab tantangan yang kian hebat di masa mendatang. Terakhir dia sekolah di MTI Jaho Padang Panjang, tapi dia mendirikan pesantren ala surau di Kampuang Guci. Namun, anak siak yang tamat atau menyelesaikan pendidikan akhir di suraunya di kasih ijazah.
Kenapa tak sekolah tarbiyah yang dia dirikan di Padang Pariaman? Sama seperti sekolah di Jaho bersama Syekh Muhammad Djamil Jaho, sang pemilik tarbiyah dan sekaligus salah seorang ulama pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau.
Karena di Piaman tak lazim sekolah Tarbiyah. Piaman punya banyak surau. Bahkan saking banyaknya surau di daerah ini, ada sebuah kampung di Kecamatan VII Koto Sungai Sariak yang bernama Kampuang Surau. Nah, melalui surau itulah Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah menggelar pendidikan. Pendidikannya tak beda dengan apa yang diajarkan di Tarbiyah yang memang banyak tumbuh dan berkembang di darek.
Artinya, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah tahu betul apa yang menjadi kebutuhan dan kultur masyarakat Piaman itu sendiri. Rentang waktu yang panjang, tak sedikit pula yang dihasilkan Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan.
Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah dalam mengajar di dampingi seorang pimpinan. Buya Iskandar Tuanku Mudo namanya. Seorang ulama lulusan Surau Kubu, Sungai Durian yang asli orang Lubuak Pandan. Buya Iskandar Tuanku Mudo sempat diamanahi untuk jadi khalifah di Lubuak Pandan. Namun, dia lebih duluan wafatnya. Secara otomatis kekhalifahan putus dengan sendirinya.
Dalam memimpin pesantren, Buya Iskandar Tuanku Mudo yang pensiunan Departemen Agama ini sempat jadi anggota DPRD Padang Pariaman dari Partai Golkar hasil Pemilu 1992. Tak sempat lima tahun di wakil rakyat, akhirnya Buya Iskandar Tuanku Mudo wafat tahun 1994, saat separoh tugas dan kewajibannya dijalankan selaku wakil masyarakat.
Duet Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah dan Buya Iskandar Tuanku Mudo mengendalikan pesantren itu, tak sedikit kemajuan. Banyak dinamika yang berkembang, terjadi berbagai lompatan yang amat luar biasa. Santri banyak berdatangan dari berbagai daerah di Sumatera Barat, bahkan ada yang datang dari luar Sumbar, semisal dari Aceh.
Pasca wafatnya Buya Iskandar Tuanku Mudo, dan rentang dua tahun sebelum meninggalnya Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, dua tokoh; Buya Buchari Rauf dan Buya M. Zen Tuanku Bagindo sering datang dan berkiprah di pesantren itu. Khusus Buya Buchari Rauf, seorang alumni hebat di zamannya, adalah anak siak yang mumpuni. Dia lihai mengaji mantiq, tak ada dosen yang menyainginya di IAIN Imam Bonjol Padang dalam soal ilmu tersebut.
Hadirnya pembangunan surau utama milik pesantren, tak bisa dilepaskan dari peran besar Buya Buchari Rauf. Bahkan soal pembangunan, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah lebih mempercayakan pada Buya Buchari Rauf ketimbang Buya Iskandar Tuanku Mudo yang memimpin pondok.
Buya Buchari Rauf terkenal sebagai anggota dewan vokalis. Dia garang bicara berbagai hal ketika menjalankan tugasnya selaku wakil masyarakat di DPRD Padang Pariaman dan DPRD Sumatera Barat. Mengawali jadi santri, Buya Buchari Rauf memang besar dan lama di Lubuak Pandan dulunya.
Dia layak kita sebut sebagai "Bapak Pejuang dan Pembangunan Madrasatul 'Ulum". Perhartiannya yang besar pada pesantren ini, sangat patut kita hargai dan apresiasi. Tanpa peran dia, barangkali bangunan milik pesantren tidak akan ada.
Berkecimpungnya Buya Buchari Rauf di partai politik, tak membuat Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah berang. Dia komit dengan idealisnya lewat PPP dan Perti. Oleh Buya Buchari Rauf, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah diajuang tinggi diamba gadang dalam Perti. Dia sering dan acap membawa Buya Abndullah Aminuddin Tuanku Shaliah dalam kegiatan Perti di daerah dan nasional.
Lalu, Buya M. Zen Tuanku Bagindo, seorang ulama yang sama-sama terpilih jadi anggota dewan dengan Buya Iskandar Tuanku Mudo, tapi beda partai. Namun, keduanya adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Padang Pariaman. Buya M. Zen Tuanku Bagindo yang orang Sicincin rajin berulang ke Lubuak Pandan, terutama saat Buya Iskandar Tuanku Mudo, kawannya sudah tidak ada lagi.
Baik Buya Iskandar Tuanku Mudo maupun Buya M. Zen Tuanku Bagindo adalah ulama hasil didikan Surau Kubu atau Pesantren Dinul Ma'ruf Sungai Durian, Kecamatan Patamuan. Gurunya Tuanku Panjang, seorang ulama besar yang wafat di Makkah, tetapi bisa mengabdi di Lubuak Pandan berkat pergaulannya dengan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa Jadi Khalifah
Tak berselang lama setelah Buya Iskandar Tuanku Mudo wafat yang membuat kepemimpinan dipegang tunggal oleh Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Datanglah Latiful Khabir Tuanku Kaciak, seorang alumni asal Lantak Mingkudu bersama sejumlah alumni ke Lubuak Pandan.
Dia datang langsung menghadap dan menemui Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang membicarakan soal kelangsungan pondok. Kelangsungan masa depan belajar mengajar, mengingat Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang terus menanjak usia lanjut.
Tak berapa hari setelah pembicaraan itu, datanglah Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa, seorang alumni hebat di zamannya. Orang Singgalang yang tinggal di Panyalaian, lama dulunya mengaji di Lubuak Pandan, dan sempat kuliah di Padang Panjang.
Secara surau, Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa saat datang kembali ke Lubuak Pandan atas permintaan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, guru tuo dan alumni, tentu langsung mengajar dan beradaptasi dengan kehidupan baru di pesantren itu.
Barulah beberapa bulan setelah itu, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah dihadapan banyak santri dan guru tuo menyatakan kekhalifahannya ke Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa.
Masa kepemimpinan Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa setelah kepulangan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah berjalan sendirian. Dia mengajar, memimpin jalan dinamika pembangunan di pondok. Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa tak ada didampingi, selain guru tuo, dan sesekali alumni.
Tak seperti usia lanjut Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang lama didampingi Buya Iskandar Tuanku Mudo, yang kala itu ada istilah yang paling populer, adalah sebutan Guru Besar dan Pimpinan. Guru Besar disematkan ke Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sedangkan Pimpinan dilekatkan ke Buya Iskandar Tuanku Mudo.
Namun, Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa bersama guru tuo, kala itu ada Tuanku Afredison, Mansuir, Amiruddin, Ardindas, Asrizal, Nafa'i, Nazwir, Damanhuri dan lainnya sering bertandang ke rumah Buya Buchari Rauf di Ringan-Ringan, berdiskusi, membicarakan langkah-langkah tepat untuk kemajuan pesantren.
Saat baru-baru di Lubuak Pandan, Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa sempat juga berulang mengajar di Pesantren Ainul Yaqin, Batagak, Kabupaten Agam, yang juga sebuah pesantren yang didirikan oleh alumni Lubuak Pandan, Ustadz Nazwar namanya.
Rentang waktu 1994 - 2020 Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa di Lubuak Pandan, memimpin jalannya pendidikan dan pembangunan fisik pesantren, cukup banyak perkembangan yang dirasakan banyak santri. Yang paling nyata, adalah semua bangunan pondok yang lama saat ini telah berganti dengan yang baru.
Gedung utama berlantai dua, yang merupakan ganti dari Surau Tangah tampak megah, tak terlepas dari kepemimpinan Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa. Kemudian, santri yang tamat kelas tujuh atau Marapulai Tafsir, lebih memilih melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.
Bahkan, ada seorang alumni yang merupakan buah didikan langsung Buya Marzuki Tuanku Nan Basa yang berkiprah di IAIN Bukittinggi. Hanton, seorang doktor kandidat, yang sebentar lagi akan menyelesaikan studi S-3 di UMSB Padang.
Kemudian, Ustadz Nazwir, seorang alumni asal Batagak yang lolos sebagai PNS, mengajar di MTsN Balingka, sekarang telah menyelesaikan studi S-2. Hebat dia. Nazwir juga salah seorang guru tuo, tatkala Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa tiba di Lubuak Pandan.
Kemudian, dua orang guru tuo yang didapati oleh Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa saat pertama di Lubuak Pandan, pada Pemilu 2019 berhasil jadi anggota dewan di daerahnya masing-masing. Dialah Tuanku Afredison, yang terpilih jadi wakil rakyat lewat partai PKB di DPRD Padang Pariaman, dan Asrizal Malin Sinaro yang terpilih jadi anggota dewan Kabupaten Agam lewat PKS.
Pejuang Pesantren
Sebagai sebuah lembaga pendidikan informal yang berbasis di surau, hasil didikan Madrasatul 'Ulum juga ada yang berkiprah di pesantren. Memang tak sebanyak Nurul Yaqin Ringan-Ringan. Tokoh Lubuak Pandan yang berkiprah di pesantren, adalah Zainuddin Tuanku Bagindo Basa. Dia alumni yang memulai mengajar sekaligus mendirikan cabang Lubuak Pandan di Lubuak Pua, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak bersama ulama kampung itu yang juga alumni Lubuak Pandan, Ahmad Yusuf Tuanku Sidi.
Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua memperlihatkan perkembangannya yang cukup lumayan. Pola seorang pimpinan dan pengasuh yang dikembangkan di Surau Pekuburan yang terletak di pinggir Sungai Batang Mangoi itu, mampu menghadirkan langkah-langkah tepat untuk masa depan Madrasatul 'Ulum secara umum.
Lubuak Pua selangkah lebih memilih kemajuan ketimbang Lubuak Pandan. Sekarang di Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua sudah berjalan setahun badan hukumnya. Pesantrennya dinaungi dengan lembaga Yayasan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum, yang didirikan langsung oleh Ahmad Yusuf Tuanku Sidi, Zainuddin Tuanku Bagindo Basa dan Heri Firmansyah Tuanku Khalifah.
Sementara, Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan baru saja menghadirkan badan hukum yang sah bernama; Yayasan Syekh H Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, yang dibina langsung oleh Amiruddin Saleh, Buya Marulis Tuanku Mudo, dan Mothia Aziz Datuak Nan Basa.
Yang juga pejuang pendidikan pesantren, adalah Ja'far Tuanku Imam Mudo. Alumni Lubuak Pandan asal Aripan, Kabupaten Solok. Setelah lama mengajar dan sebelumnya belajar di Lubuak Pandan, dia diminta mengembangkan pendidikan di Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek, Kabupaten Tanah Datar.
Baik Zainuddin Tuanku Bagindo Basa maupun Ja'far Tuanku Imam Mudo adalah alumni yang sulit mencari tandingannya. Kedua alumni Lubuak Pandan ini sama-sama dituruti banyak santri. Mereka berdua punya kharisma yang tak dipunyai alumni lain. Khusus soal mengajar ini, mereka yang paling top, dan paling banyak didatangi santri.