![]() |
Oleh: Syahrul Mubarak, S.Pd, M.Hum, Tk. Bandaro Auliya
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh almarhum Amiruddin Tuanku Bagindo dan kawan-kawan (Qadhi Nagari Ulakan dua periode sebelum sekarang), yang berjudul Riwayat dan Perjuangan Syekh Burhanuddin pada halaman ke-38, bagian kembali pulang menjelaskan bahwa tentang sosok pengawal yang gagah berani yang dipilihkan oleh Syekh Abdurrauf untuk mengawal kepulangan Syekh Burhanuddin ke kampung halamannya. Pengawal yang dimaksud dikepalai oleh seorang yang gagah berani yang bernama Teuku Nan Basarung.
Pada saat itu terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan Minangkabau yang sudah lama terputus dan telah banyak terjadi perubahan. Daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang telah berjaya, menaikan daerah Aceh ke puncak kejayaannya berakhir tahun 1636 M. Setelah Sultan Iskandar Muda, pemerintahan digantikan oleh seorang Raja perempuan lemah yang membuat menurunnya kekuasaan dan kebesaran Aceh. Hal ini berakibat daerah-daerah di bawah pemerintahan Aceh ingin melepaskan diri dari pemerintahan Aceh, termasuk Minangkabau sehingga orang Aceh yang ada di Pesisir Barat Minangkabau diusir ke kampungnya masing-masing.
Hal ini menimbulkan perpecahan dan peperangan antara kedua wilayah, yang mengakibatkan renggangnya hubungan kedua belah pihak, sehingga setiap orang Minangkabau yang berada di daerah rantau mudik (Aceh), selalu dicurigai sebagai mata-mata Aceh. Sehingga mereka setiap saat terus waspada untuk mempertahankan daerahnya.
Setelah itu, Syekh Burhanuddin beserta pengawalnya menyisir mendekati pantai Ulakan. Mengingat buruknya hubungan Aceh dengan Minangkabau, semua anak Nagari Ulakan terus waspada dan berjaga-jaga kemungkinan datangnya musuh untuk menyerang. Ketika mereka melihat sebuah kapal yang berasal dari Aceh mendekat, mereka bersiap-siap dan berkumpul di tepi pantai Ulakan dengan membawa senjata yang siap menanti serangan yang akan datang.
Melihat situasi yang agak mencurigakan, Syekh Burhanuddin menyampaikan kepada pengiringnya, bahwa tidak mungkin perahunya mendarat pada waktu itu. Ia lebih memilih kembali ke Pulau Angso Duo sambil menunggu waktu yang aman.
Namun Teuku Nan Basarung berpendapat lain. Ia berkata karena orang sudah banyak berkumpul di tepi pantai, ada baiknya ia turun untuk mengabarkan bahwa kedatangan mereka adalah untuk beramah tamah satu sama lain, sekaligus untuk mengantar orang kampung mereka sendiri yang telah lama merantau di Aceh. Akhirnya ia mengayuh sampan menuju tepi pantai Ulakan seorang diri.
Namun walaupun tujuan Teuku Nan Basarung baik, bagi orang yang telah menanti telah siap dengan senjata di tangan mereka masing-masing. Belum sampai di tepi, dia disambut oleh penduduk dengan serangan dan pukulan yang bertubi-tubi sehingga perkelahian tidak dapat dielakkan lagi.
Teuku Nan Basarung seorang diri menghadapi serangan yang sangat banyak. Dengan semangat yang luar biasa dia maju ke tengah-tengah musuh dengan keberanian yang tertanam. Di dalam hatinya, dia melakukan tugas suci yang diberikan oleh Syekh Abdurrauf kepadanya. Di dalam serangan yang bertubi-tubi itu, akhirnya Teuku Nan Basarung gugur di tangan masyarakat dalam menjalankan tugasnya.
Mengetahui bahwa meninggalnya Teuku Nan Basarung, Syekh Burhanuddin bersama rombongan kembali ke Pulau Angso Duo. Syekh Burhanuddin berkata kepada para pengawalnya untuk kembali saja ke Aceh demi keselamatan diri mereka. Ia mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang mereka berikan dalam perjalanan pulang, juga beliau minta sampaikan salam kepada Syekh Abdurrauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya. Untuk kematian Teuku Nan Basarung, dia sendiri akan menyelamatkan jenazahnya.
Itulah riwayat kembalinya Syekh Burhanuddin dan gugurnya seorang pengawal setia sebagai pahlawan yang bernama Teuku Nan Basarung yang makamnya sekarang bernama "Tempat Basarung" yang letaknya tidak jauh dari makan Syekh Burhanuddin di Ulakan. (***)