![]() |
الصَّلَاةُ ذِكْرٌ، وَلَكِنَّ الذِّكْرَ لَيْسَ بَدِيْلًا عَنِ الصَّلَاةِ
Bismillahirrahmanirrahim.
Antara Zikir dan Shalat
Kamis, 6 Februari 2025. Pesawat yang kami tumpangi dijadwalkan take-off pukul 17.15 waktu Madinah dari Bandar Udara Internasional Pangeran Muhammad bin Abdulaziz menuju Bandar Udara Internasional Minangkabau. Sesuai aturan, jemaah harus sudah berada di bandara empat jam sebelumnya.
Maka, aku meminta mereka agar shalat Zhuhur dan Ashar secara qashar dan jamak taqdim di kamar masing-masing. Hotel ini memang tak memiliki mushalla karena letaknya dekat dengan Masjid Nabawiy. Sekiranya kami melakukan shalat di Masjid Nabawiy, niscaya kami akan terlambat menuju bandara. Bahkan, meskipun kami masih mendapat jatah makan siang, kami memilih untuk membawa nasi kotak saja ke bandara karena pertimbangan waktu.
Tepat pukul 12.36, terdengar suara adzan berkumandang dari arah Masjid Nabawiy. Kami pun bersaf dalam kamar, menjadikan handuk bersih sebagai alas sujud di atas karpet alas lantai kamar.
Namun, seorang bapak tetap berbaring di atas kasurnya, padahal aku telah akan melakukan takbiratul ihram.
"Ambo ndak sato sumbayang, Ustadz. Ambo mangana sajo. Badan mandamam."
Artinya: "Saya tidak ikut shalat, Ustadz. Saya cukup mengingat (Allah) saja. Badan saya demam."
Sejak tadi aku sudah mengetahui kondisinya. Bahkan sebelum masuk waktu shalat, aku sudah menyuruhnya minum air panas yang dimasak dengan pemanas air yang disediakan dalam kamar. Namun, aku juga tahu bahwa kondisinya tidak sampai membuatnya tak mampu shalat.
Aku menatapnya dan berkata tegas, "Tidak boleh meninggalkan shalat, Pak. Meskipun sakit. Kita tetap wajib shalat, meskipun dengan duduk.”
Agak tinggi nada suaraku karena sikap demikian sesuatu tak kusangka sebelumnya. Bahkan kalau tak mampu duduk, kita masih diwajibkan shalat dengan berbaring. Jika tak bisa berbaring, cukup dengan isyarat mata. Selama akal masih bekerja, shalat tetap tak gugur.
Setelah shalat, kami segera check-out dan berangkat ke bandara menaiki bus bermerek dinding Osama yang di dalamnya telah ada dua sopir etnis India. Koper-koper kami telah dimasukkan petugas hotel ke dalam bagasi bus.
Agak terpengarah aku menghadapi momen sebentar ini. Shalat yang kami lakukan adalah shalat Zhuhur dan shalat Ashar.
Dari Abu Qilabah, dari Abu Malih, dia berkata: "Kami bersama Buraidah dalam sebuah peperangan pada hari yang berawan, maka dia berkata: 'Segerakanlah shalat Ashar, karena sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
'Barang siapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka telah gugur amalannya.'” (HR. Al-Bukhari no. 553)
"Kita Sedang Berzikir"
Ini bukan kali pertama aku mendengar alasan seperti ini. Ada sebagian orang yang mengira zikir bisa menggantikan shalat. Aku teringat sebuah kisah yang pernah disampaikan seorang guru tarekat.
Dahulu, seorang guru tarekat yang pernah aku menjadi pendengar dalam majelis pengajiannya, pernah mengisahkan pengalaman pribadinya. Dia pernah berzikir sepanjang malam bersama gurunya. Ketika waktu Shubuh tiba, dia berkata kepada gurunya tersebut, "Ungku, sudah masuk waktu Shubuh."
Namun, gurunya menjawab, "Kita sedang dalam keadaan zikir."
Aku terdiam mendengar cerita itu. Bagaimana mungkin seorang guru pembimbing kepada Allah mengajak muridnya meninggalkan shalat dengan alasan sedang berzikir?
Padahal, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri, manusia paling dekat dengan Allah, tidak pernah meninggalkan shalat, bahkan dalam keadaan sakit.
Aisyah radhiyallahu anha meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sakit keras, beliau tetap shalat berjamaah, hingga akhirnya shalat dengan duduk karena lemah.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاشْتَدَّ بِهِ وَجَعُهُ، اسْتَأْذَنَ أَزْوَاجَهُ فِي أَنْ يُمَرَّضَ فِي بَيْتِي، فَأَذِنَّ لَهُ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ، تَخُطُّ رِجْلاَهُ فِي الأَرْضِ، بَيْنَ عَبَّاسٍ وَرَجُلٍ آخَرَ
"Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam berat sakitnya dan rasa sakitnya semakin parah, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk dirawat di rumahku, lalu mereka mengizinkannya. Kemudian beliau keluar dengan dipapah oleh dua orang laki-laki, hingga kedua kakinya menyeret di tanah, di antara Abbas dan seseorang yang lain." (HR. Al-Bukhari no. 198)
Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tetap shalat meskipun sakit, bagaimana mungkin kita meninggalkannya hanya karena alasan "sudah berzikir"?
Dalil dan Keterangan Ulama
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
"Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku." (QS. Thaha: 14)
Dikatakan bahwa maknanya adalah: "Dan dirikanlah shalat agar kamu mengingat-Ku!"
Dan dikatakan juga bahwa maknanya adalah: "Dirikanlah shalat ketika kamu mengingat-Ku."
Yang mendukung tafsir kedua ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
إِذَا رَقَد أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
"Jika salah seorang dari kalian tertidur dari shalat, atau lalai dari shalat, hendaklah ia shalat begitu ia mengingatnya, karena Allah تعالى berfirman: {وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي} (Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku)." (HR. Ahmad no. 12321, dari Anas radhiyallahu anhu)
Zikir adalah ibadah yang luas dan dapat dilakukan kapan saja, tetapi shalat adalah ibadah yang diwajibkan pada waktu-waktu tertentu. Barang siapa meninggalkan shalat dengan alasan cukup berzikir, maka ia telah keliru dalam memahami agama.
Jalan Mana yang Kita Tempuh?
Apakah jalan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya?
Ataukah jalan yang kita buat sendiri, berdasarkan logika dan perasaan kita?
Pariaman, Sabtu, 9 Sya'ban 1446 H / 8 Februari 2025 M
Zulkifli Zakaria
📌 Tulisan ini juga bisa dibaca di:
🔗 http://mahadalmaarif.com