![]() |
إِذَا بَقِيَ فِي الْإِحْرَامِ: مَاذَا يَفْعَلُ مَنْ لَمْ يُتِمَّ عُمْرَتَهُ؟
Bismillahirrahmanirrahim
Sekitar dua puluh hari yang lalu, seorang teman sekampung melaksanakan umrah bersama ayahnya yang telah tua. Dalam perjalanan thawaf, tiba-tiba dia mengirimkan pesan WhatsApp kepadaku:
"Afwan Ustadz... hari ini ana thawaf bersama jamaah dan orang tua ana. Namun, saat putaran keenam, orang tua ana tidak sanggup melanjutkan hingga sa'i... Apa yang harus ana lakukan, Ustadz?"
Aku segera menelponnya dan menjelaskan bahwa thawaf harus disempurnakan. Jika sang ayah tidak mampu berjalan, doronglah dengan kursi roda agar ibadahnya tidak terputus.
Tak lama setelah itu, istrinya yang sedang di Indonesia pun mengirimkan pesan:
"Ustadz izin bertanya... Jika ketika thawaf jamaah baru berkeliling 5 ½ putaran lalu qadarullah sakit dan tidak sanggup melanjutkan, apakah bisa diulang keesokan harinya?"
Aku menjawab:
"Boleh. Tapi jika memungkinkan untuk dilanjutkan dengan bantuan kursi roda saat itu juga, itu lebih baik. Wallaahu a’lam."
Kemarin, Ahad, 9 Februari 2025, setelah ia kembali dari umrah, aku bertemu dengannya di sebuah acara dan bertanya kepadanya tentang kondisi ayahnya, yaitu yang dia tanyakan saat kejadian itu. Dengan nada berat, ia menjawab:
"Ayah marah, Ustadz. Tidak mau melanjutkan thawaf, tidak mau sa’i, bahkan tidak mau tahallul dengan memotong rambut."
Aku terkejut dan bertanya:
"Jadi hingga sekarang beliau belum memotong rambut? Itu berarti beliau masih dalam keadaan ihram!"
"Iya, Ustadz. Kata beliau, ibadah umrah itu sekadar kemampuan. Kalau tidak sanggup, ya sudah."
"Ana telah badalkan umrah yang setelah itu dengan cara ana ulang ihram ketika kami pergi ke Taif. Demikian anjuran pembimbing," katanya.
Aku menegaskan kepadanya bahwa ini masalah serius dalam fikih. Status ayahnya masih dalam keadaan ihram dan ia harus tahallul dengan mencukur atau memotong rambutnya, sekalipun ia sudah kembali ke Indonesia. Aku menyarankan agar ia membujuk ayahnya untuk mau memotong rambut, meskipun hanya sedikit. Jika tetap menolak, potonglah rambutnya secara diam-diam saat tidur, walau hanya sedikit ujungnya.
Selain itu, aku juga menjelaskan bahwa ayahnya telah melakukan pelanggaran ihram dengan tidak menyelesaikan umrahnya. Maka, sebagai konsekuensi, ia wajib membayar fidyah (tebusan) umrah tersebut, yaitu:
1. Menyembelih seekor kambing di Makkah, atau
2. Memberikan makanan mengenyangkan kepada enam orang miskin di Tanah Makkah, atau
3. Berpuasa selama tiga hari.
Aku menyarankan agar ia menghubungi seorang ustadz di Makkah untuk membantu proses penyembelihan dam atau distribusi makanan bagi fakir miskin di sana. Yang terbaik ialah membayar dam itu di konter pembayaran yang tersedia di depan Masjidil Haram.
"Baiklah, Ustadz," jawabnya dengan penuh kesadaran.
Analisis Dalil dan Hukum
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ...
"Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terhalang, maka (sembelihlah) hadyu (sembelihan) yang mudah didapat. Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum hadyu sampai di tempatnya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka wajiblah ia membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban." (QS. Al-Baqarah: 196)
Hadits tentang ini:
عن كعبِ بنِ عُجْرَةَ أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال له: "لعلَّك آذاك هوامُّك؟" قال: فقلتُ: نعم، يا رسولَ اللهِ. فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: "احلِقْ رأسَك، وصُمْ ثلاثةَ أيَّامٍ، أو أطعِمْ ستَّةَ مساكينَ، أو انسُكْ بشاةٍ."
"Dari Ka‘b bin ‘Ujrah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: 'Mungkin kutu-kutumu mengganggumu?' Ia menjawab: 'Ya, wahai Rasulullah.' Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 'Cukurlah rambutmu, lalu berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor kambing.'”
(HR. Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid, 2/233, shahih)
Dari ayat ini dan hadits ini, kita memahami beberapa kaidah hukum:
1. Ibadah haji dan umrah harus disempurnakan. Jika seseorang telah memulai ihram untuk haji atau umrah, ia tidak boleh membatalkannya dengan alasan lelah atau tidak sanggup, kecuali jika ada penghalang syar'i yang dibenarkan.
2. Jika terhalang (ihshar), harus menyembelih hadyu. Orang yang tidak dapat menyelesaikan umrahnya karena sakit atau halangan lain, maka ia tetap dalam keadaan ihram sampai ia menyembelih hadyu di Makkah atau sekitarnya.
3. Tahallul harus dilakukan dengan mencukur atau memotong rambut. Tanpa mencukur atau memotong rambut, seseorang masih terikat dengan larangan-larangan ihram.
Pelajaran yang Bisa Diambil
1. Jangan menganggap remeh ibadah umrah. Umrah bukan hanya sekadar "sesuai kemampuan" tanpa tanggung jawab. Jika seseorang telah memulai ihram, maka ia harus menyelesaikannya sesuai tuntunan syariat.
2. Mengetahui hukum sebelum beramal itu wajib. Banyak orang yang kurang memahami fikih haji dan umrah, sehingga terjerumus ke dalam kesalahan. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk belajar sebelum berangkat ke Tanah Suci.
3. Jangan menunda-nunda penyelesaian ibadah. Jika seseorang mengalami kendala dalam ibadahnya, ia harus segera mencari solusi yang benar. Jika ada kesalahan dalam pelaksanaan ibadah, maka wajib segera diperbaiki dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Kita berdoa semoga saudara kita dan ayahnya mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan ibadahnya dengan sempurna, dan semoga Allah subhanahu wata'ala menerima amal ibadah kita semua.
Pariaman, Senin, 11 Sya'ban 1446 H / 10 Februari 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di:
http://mahadalmaarif.com