![]() |
بَيْنَ ثَمَانِي دَقَائِقَ مِنَ الْفَجْرِ: سَبَبُ اخْتِلَافِ أَذَانِ الصُّبْحِ فِي إِنْدُونِيسِيَا
Bismillāhir Rahmānir Rahīm
Fajar adalah tanda besar dari ayat-ayat Allah; ia muncul perlahan, mendatar, dan pasti. Namun dalam penentuan waktunya, manusia kadang berbeda membaca langit. Di Indonesia, perbedaan waktu adzan Subuh antara standar Kementerian Agama (20°) dan kalender Muhammadiyah (18°) menghasilkan selisih sekitar delapan menit. Angka kecil ini tampak sederhana, tetapi dalam fikih waktu, delapan menit dapat memisahkan antara ibadah yang sah dan ibadah yang terlanjur mendahului waktunya.
Allah Subhanahu wata‘ala berfirman:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)} [البقرة: 187]
“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa untuk bercampur dengan istri-istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kalian dahulu mengkhianati diri kalian sendiri, maka Dia menerima tobat kalian dan memaafkan kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagi kalian. Dan makan serta minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu (terangnya) fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. Dan janganlah kalian mencampuri mereka sementara kalian ber-i‘tikaf di masjid-masjid. Itulah batas-batas (hukum) Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 187)
Para ulama tafsir menegaskan bahwa al-khayth al-abyadh adalah cahaya horizontal yang menjalar di ufuk timur: fajar shādiq. Cahaya inilah yang menjadi sebab syar‘i masuknya waktu Subuh.
Imam An-Nawawī rahimahullāh menuturkan:
وبيان صفة الفجر الذي تتعلق به الأحكام- من الدخول في الصوم ودخول وقت صلاة الصبح وغير ذلك وهو الفجر الثاني ويسمى الصادق والمستطير وأنه لا أثر للفجر الأول في الأحكام وهو الفجر الكاذب المستطيل باللام كذنب السرحان وهو الذئب.
“Dan penjelasan sifat fajar yang berkaitan dengan hukum-hukum”, yaitu masuknya (waktu) puasa, masuknya waktu shalat Subuh, dan selain keduanya. Yang dimaksud adalah fajar kedua, “yang disebut fajar shadiq dan (cahayanya) menyebar melintang (al-mustathir)”
Dan bahwa fajar pertama tidak memiliki pengaruh dalam hukum-hukum (syariat). Fajar pertama itu fajar kadzib, “(cahayanya) memanjang ke atas (al-mustathil), dengan huruf lam, seperti ekor serigala (dzanab as-sarhan), yakni serigala.”
(Syarḥ Shahīḥ Muslim, terbitan Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabī Beirut, th. 1392 H, 7/200)
Di Manakah Fajar Indonesia Terbit Menurut Penelitian?
Kementerian Agama menetapkan kriteria waktu Subuh berdasarkan posisi matahari pada 20° di bawah ufuk timur. Namun penelitian astronomi Kemenag tahun 2021–2023 menunjukkan bahwa fajar empiris di Indonesia umumnya muncul pada kisaran 18.5°– 20° tidak tepat 20°.
Artinya:
Sudut 20° berada lebih awal dari kemunculan fajar hakiki.
Sudut 18° berada lebih dekat kepada cahaya fajar yang sebenarnya.
Secara astronomi, selisih depresi matahari 2° biasanya menghasilkan perbedaan waktu 6–10 menit, sedangkan data lapangan rata-rata menunjukkan sekitar delapan menit.
Pengamatan Empiris Lapangan: Bersama Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat
Selain teori, Penulis bersama beberapa anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat, didampingi seorang ahli falak Muhammadiyah, pernah melakukan pengamatan fajar secara langsung pada bulan Maret 2022. Pengamatan dilakukan di sebuah dataran tinggi dan area terbuka di salah satu kabupaten di Sumatera Barat.
Dalam pengamatan tersebut, kami menggunakan:
Sky Quality Meter (SQM-L), alat modern yang mengukur tingkat kecerahan langit dengan sensitivitas tinggi terhadap cahaya rendah.
Pada saat pengamatan berlangsung, langit masih gelap tanpa tampak cahaya fajar shādiq. Nilai bacaan SQM-L juga menunjukkan kondisi gelap malam.
Namun pada waktu tersebut, tiba-tiba terdengar adzan Subuh dari sebuah masjid di dekat lokasi. Padahal, secara observasi mata dan alat, belum terdapat cahaya horizontal di ufuk timur.
Baru sekitar sepuluh menit kemudian, nilai SQM-L menunjukkan kenaikan intensitas cahaya seiring tampaknya cahaya mendatar pertama, inilah fajar shādiq. Kemunculan cahaya ini sesuai dengan posisi matahari sekitar 18°–18.5° di bawah ufuk, bukan 20°.
Pengamatan ini memperkuat bahwa jadwal Subuh berdasarkan 20° seringkali lebih cepat daripada kemunculan fajar hakiki.
Akurasi Tambahan: Pengalaman Penulis Menggunakan Arloji Casio World Time
Arloji Casio World Time yang Penulis gunakan, dengan fitur jadwal shalat berbasis koordinat, menunjukkan waktu Subuh hari ini, 7 Desember 2025:
04.52 di Pariaman,
Kalender Muhammadiyah: 04.52:56 (untuk kota Padang 04.52 dan untuk kota Pariaman mengalami koreksi waktu dengan ditambah 56 detik)
Jadwal Kemenag: sekitar 04.44–04.45.
Selisih antara arloji dan kalender Muhammadiyah hanya 56 detik, sedangkan selisih dengan jadwal Kemenag mencapai ±8 menit.
Ketika Penulis menunaikan umrah dan mengatur koordinat arloji pada titik Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi, seluruh waktu shalatnya, terutama Subuh — 100% sesuai dengan adzan resmi kedua masjid suci.
Ini menunjukkan bahwa algoritma jam tersebut menggunakan sudut 18°–18.5°, standar global yang konsisten dengan fajar hakiki.
Kaidah Fikih: Antara Yakin dan Ragu
Ibn Qudāmah rahimahullāh menegaskan:
مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَإِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ الثَّانِي وَجَبَتْ صَلَاةُ الصُّبْحِ وَالْوَقْتُ مُبْقًى إلَى مَا قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَمَنْ أَدْرَكَ مِنْهَا رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ فَقَدْ أَدْرَكَهَا، وَهَذَا مَعَ الضَّرُورَةِ) وَجُمْلَتُهُ أَنَّ وَقْتَ الصُّبْحِ يَدْخُلُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي إجْمَاعًا، وَقَدْ دَلَّتْ عَلَيْهِ أَخْبَارُ الْمَوَاقِيتِ، وَهُوَ الْبَيَاضُ الْمُسْتَطِيرُ الْمُنْتَشِرُ فِي الْأُفُقِ، وَيُسَمَّى الْفَجْرَ الصَّادِقَ؛ لِأَنَّهُ صَدَقَك عَنْ الصُّبْحِ وَبَيَّنَهُ لَك، وَالصُّبْحُ مَا جَمَعَ بَيَاضًا وَحُمْرَةً، وَمِنْهُ سُمِّيَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي لَوْنِهِ بَيَاضٌ وَحُمْرَةٌ أَصْبَحَ، وَأَمَّا الْفَجْرُ الْأَوَّلُ، فَهُوَ الْبَيَاضُ الْمُسْتَدَقُّ صَعِدًا مِنْ غَيْرِ اعْتِرَاضٍ، فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ، وَيُسَمَّى الْفَجْرَ الْكَاذِبَ.
Masalah:
Beliau berkata: “Apabila telah terbit fajar kedua, maka wajib shalat Subuh, dan waktunya masih terus berlangsung hingga sebelum terbit matahari. Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat itu sebelum terbit matahari, maka sungguh ia telah mendapatkan (waktu shalat Subuh). Dan hal ini dalam kondisi darurat.”
Kesimpulannya ialah bahwa waktu shalat Subuh masuk dengan terbitnya fajar kedua menurut kesepakatan ulama. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh berbagai hadis tentang waktu-waktu shalat.
Fajar kedua adalah cahaya putih yang melintang dan menyebar di ufuk, dan ia disebut fajar shadiq, karena ia memberi keterangan yang benar tentang datangnya waktu Subuh dan menjelaskannya untukmu.
Sedangkan ash-shubh (Subuh) itu adalah (waktu) yang terkumpul di dalamnya cahaya putih dan kemerahan, dan dari sanalah dinamakan seseorang yang memiliki warna kulit putih kemerahan disebut ashbah.
Adapun fajar pertama, ia adalah cahaya putih tipis yang memanjang ke atas tanpa melebar, maka tidak ada hukum syar’i yang berkaitan dengannya, dan ia disebut fajar kadzib.
(Al-Mughnī, Maktabah al-Qahirah, th. 1388 H-1968 M, 1/279)
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meletakkan timbangan emas bagi setiap keraguan:
«دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ»
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran itu membawa ketenangan, dan sesungguhnya kedustaan itu menimbulkan keraguan.”
(HR. At-Tirmidzī, no. 2518 dari Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallāhu ‘anhuma)
Jika fajar empiris Indonesia muncul pada kisaran 18.5°–19°, maka:
menghitung Subuh pada 20° berarti memasuki waktu yang belum pasti,
sedangkan menggunakan 18° lebih dekat kepada keyakinan syar‘i.
Kesimpulan: Delapan Menit yang Menyingkap Hakikat Fajar
Selisih delapan menit antara jadwal Kemenag dan Muhammadiyah mencerminkan perbedaan mendasar antara:
sudut 20° yang lebih cepat dari fajar,
dan sudut 18° yang lebih mendekati fajar shādiq.
Derajat yang lebih dekat kepada cahaya fajar hakiki lebih aman dipedomani, karena ibadah tidak boleh mendahului sebab syar‘inya.
Maka penggunaan 18°–18.5° lebih sesuai dengan cahaya fajar yang Allah tampakkan, dan lebih menenteramkan bagi hati yang ingin memulai Subuh dengan keyakinan, bukan keraguan.
Kota Pariaman, Ahad, 17 Jumadil Akhir 1447 H / 7 Desember 2025 M
Zulkifli Zakaria
