![]() |
سَفَرُ الزَّمَانِ وَرَحِيلُ الْإِنسَانِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Dalam sejarah panjang umat manusia, tak ada yang lebih setia menemani perjalanan hidup selain waktu. Ia berjalan bersama lahir dan wafatnya makhluk, bersama datang dan perginya siang dan malam. Namun, waktu sendiri bukanlah kekuatan abadi yang berdiri di luar ciptaan. Ia bukan zat yang mengatur, melainkan makhluk yang tunduk kepada perintah Penciptanya.
Inilah renungan awal yang dibuka oleh al-Imām Ibnu Jarīr-Thabarī dalam Kitāb Tārīkh ar-Rusul wa al-Mulūk sebelum beliau memulai catatan sejarah umat manusia.
“Apabila malam dan siang hanyalah potongan dari perjalanan matahari dan bulan pada derajat-derajat orbitnya, maka jelaslah bahwa keduanya adalah makhluk yang diciptakan, dan setiap yang diciptakan pasti ada Penciptanya.”
(Tārīkh ar-Rusul wa al-Mulūk, 1/20)
Dengan logika tauhid yang jernih, Ath-Thabarī menegaskan bahwa pergantian malam dan siang adalah bukti nyata keteraturan ciptaan Allah subḥānahu wata‘ālā, dan sekaligus tanda bahwa waktu sendiri memiliki permulaan.
Setiap peredaran matahari dan bulan adalah ayat tentang kehendak Ilahi yang tak pernah berhenti mengatur alam semesta. Tidak ada satu detik pun yang berlalu tanpa izin-Nya, sebagaimana tidak ada satu fajar pun yang terbit kecuali dengan ilmu dan hikmah-Nya.
Waktu: Bayangan dari Kehendak Ilahi
Ath-Thabarī mengajak kita merenung lebih dalam. Bila malam dan siang tidak mungkin hadir bersamaan, berarti salah satunya pasti mendahului yang lain. Dari sini lahirlah kesimpulan rasional sekaligus teologis: segala sesuatu yang berganti dan berawal pasti diciptakan. Dan di balik penciptaan itu, pasti ada kehendak Dia yang tidak berawal dan tidak berakhir — Dia-lah Allah Al-Mubdi’, Sang Pemula Segala Sesuatu.
}وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ{
“Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan; masing-masing beredar pada garis edarnya.”
(QS. al-Anbiyā’: 33)
Setiap detik yang berjalan bukanlah waktu yang kosong, melainkan catatan amal yang ditulis oleh para malaikat atas perintah Allah. Ia akan menjadi saksi — apakah kita memanfaatkannya dalam ketaatan, atau menyia-nyiakannya dalam kelalaian.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dengan tegas:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya — untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya — apa yang telah ia amalkan dengannya, tentang hartanya — dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang tubuhnya — untuk apa ia gunakan hingga lelah (rusak).”
(HR. At-Tirmidzī, no. 2417)
Waktu bukan sekadar angka di kalender atau bunyi jarum jam, tetapi amanah yang kelak akan bersuara di hadapan Rabbul-‘Ālamīn.
Lintas Zaman, Lintas Renungan
Berabad-abad telah berlalu sejak aṭ-Thabarī menulis risalah itu di Baghdad. Namun kata-katanya tetap hidup, menembus batas zaman dan ruang. Manusia berubah, teknologi berkembang, peradaban berganti rupa, tetapi hakikat waktu tetap sama: ia terus berjalan menuju ketentuan Allah.
Kita hidup di zaman yang bising dan terburu-buru. Kita menilai kehidupan dari kecepatan, bukan kedalaman; dari hasil, bukan keberkahan. Padahal waktu yang kita kejar hanyalah makhluk yang fana — ia sendiri berjalan menuju ajalnya. Setiap hari yang berlalu berarti satu bagian dari diri kita hilang.
Abū ad-Dardā’ raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
ابْنَ آدَمَ طَأِ الْأَرْضَ بِقَدَمِكَ، فَإِنَّهَا عَنْ قَلِيلٍ تَكُونُ قَبْرَكَ، ابْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، فَكُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ، ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَمْ تَزَلْ فِي هَرَمِ عُمُرِكَ مُنْذُ يَوْمَ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
“Wahai anak Adam, langkahkan kakimu di atas bumi — sesungguhnya tak lama lagi bumi itu akan menjadi kuburanmu. Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari; setiap kali satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu telah pergi. Wahai anak Adam, engkau terus menua sejak hari ibumu melahirkanmu.”
(Riwayat al-Baihaqī, Syu‘ab al-Īmān, 13/198)
Kita berlari mengejar waktu, tetapi sesungguhnya waktu sedang berlari meninggalkan kita. Dan ketika napas terakhir tiba, waktu berhenti di pusara kita sendiri — di mana amal menjadi satu-satunya yang masih hidup.
Hikmah di Antara Malam dan Siang
Alam ciptaan Allah tidak pernah diam. Segalanya bergerak dalam keseimbangan: antara malam dan siang, diam dan gerak, ketenangan dan perjuangan. Malam diciptakan agar manusia beristirahat dan menenangkan jiwa; siang diciptakan agar manusia berusaha dan menunaikan amanahnya.
} وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) {
“Kami jadikan malam sebagai pakaian (penutup), dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.”
(QS. an-Naba’: 10–11)
Jika malam terasa panjang dan sunyi, itu bukan sekadar kelelahan. Itu adalah ruang bagi hati untuk bermunajat. Dan bila siang terasa berat dengan beban pekerjaan, di situlah Allah menguji kesabaran dan keikhlasan.
Malam dan siang bukan sekadar fenomena alam; keduanya adalah madrasah ruhani tempat Allah mendidik manusia agar tidak tenggelam dalam dunia, tetapi juga tidak lari dari tanggung jawabnya di bumi.
Waktu dan Kehidupan Ruhani
Dalam pandangan para ulama, waktu adalah roh kehidupan. Bila waktu digunakan dalam ketaatan, hidup itu bercahaya; bila disia-siakan, hidup itu padam.
Ibn al-Qayyim rahimahullāh berkata dalam al-Fawā’id:
إِضَاعَةُ الْوَقْتِ أَشَدُّ مِنَ الْمَوْتِ، لِأَنَّ إِضَاعَةَ الْوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَالْمَوْتُ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا
Menyia-nyiakan waktu itu lebih berat daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari Allah dan dari negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan para penghuninya.
(al-Fawā’id, hlm. 31)
Kata-kata ini mengguncang kesadaran. Betapa banyak orang berjalan, tetapi hatinya mati; bekerja keras, tetapi tanpa makna; hidup lama, namun sedikit manfaatnya.
Ibn al-Qayyim juga menulis dalam al-Wābil ash-Shayyib:
أَنَّ الذِّكْرَ شِفَاءُ الْقَلْبِ وَدَوَاؤُهُ، وَالْغَفْلَةُ مَرَضُهُ، فَالْقُلُوبُ مَرِيضَةٌ، وَشِفَاؤُهَا وَدَوَاؤُهَا فِي ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
“Sesungguhnya zikir itu adalah penyembuh dan obat bagi hati, sedangkan kelalaian adalah penyakitnya. Maka hati-hati itu sakit, dan kesembuhan serta obatnya ada pada zikir kepada Allah subḥānahu wata‘ālā.”
(al-Wābil ash-Shayyib, hlm. 71)
Dari sini kita memahami: umur seorang mukmin tidak diukur dengan panjangnya tahun, tetapi dengan seberapa lama ia hidup dalam kesadaran kepada Allah. Setiap hari yang dipenuhi zikir, doa, dan amal shalih adalah umur sejati; sedangkan hari yang berlalu tanpa makna hanyalah kematian yang tertunda.
Penutup: Antara Awal dan Akhir
Ath-Thabarī menegaskan, sesuatu yang memiliki awal pasti ada yang memulai. Maka waktu, sebagaimana kehidupan, adalah tanda kehadiran Sang Pemula Segala Sesuatu — Al-Mubdi’. Dan setiap yang bermula pasti akan berakhir, kembali kepada-Nya — Al-Mu‘īd.
Kita lahir di bawah cahaya siang, dan kelak beristirahat dalam kediaman kegelapan di perut bumi. Namun di antara dua batas itu, Allah memberi kita kesempatan untuk mengisi waktu dengan makna. Setiap fajar yang terbit adalah peringatan halus dari Allah bahwa umur kita telah berkurang satu hari, dan kesempatan untuk berbuat baik semakin sedikit.
Waktu yang berlalu tidak akan kembali, tetapi bisa diabadikan dengan amal. Sebab hidup yang sejati bukanlah panjangnya umur, melainkan apa yang tersisa setelah waktu kita berhenti.
“Ya Allah, berkahilah sisa waktu kami untuk ketaatan.
Jadikan setiap pergantian malam dan siang sebagai saksi atas dzikir kami kepada-Mu.
Teguhkan langkah kami di jalan amal yang Engkau ridai.
Dan jangan biarkan kami meninggalkan dunia ini kecuali dalam ampunan dan husnul khatimah.”
Āmīn, wahai Pemilik waktu.
Rujukan:
• Al-Imām Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr Ath-Thabarī, Tārīkh ar-Rusul wa al-Mulūk, cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1/20.
• Ibn Al-Qayyim al-Jawziyyah, al-Fawā’id (Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hlm. 31) dan al-Wābil ash-Shayyib (Dār al-Ḥadīts, Kairo, hlm. 71).
• Al-Baihaqī, Syu‘ab al-Īmān, cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, jil. 13, hlm. 198.
Ditulis oleh:
Zulkifli Zakaria
Pariaman, Selasa 15 Rabi‘ul Ākhir 1447 H / 7 Oktober 2025 M
