![]() |
لَا نُفَارِقُ مَا يُحِبُّنَا إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ
Subjudul:
Pelajaran Kesetiaan, Kesabaran, dan Adab dari Sepasang Sandal yang Kembali
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Ternyata sandal ini masih setia melindungi kedua telapak kakiku. Padahal, beberapa saat sebelumnya aku sudah siap merelakannya, sekiranya Allah tak menghendaki aku bertemu kembali dengannya.
Menjelang zhuhur, Rabu 12 Shafar 1447 H, aku berdiri dalam antrian berwudhuk di salah satu kamar mandi dekat dapur umum pesantren. Fulan, petugas kebersihan pondok yang rajin itu, sedang mandi seperti rutinitasnya setiap kali waktu shalat tiba. Dari lorong sempit yang mengarah ke kamar mandi itu, mataku terarah pada hamparan sawah yang luas terbentang. Airnya mengalir jernih di bandar kecil pinggir tanah pondok, dihuni ikan-ikan mungil yang berenang melawan arus, bersanding dengan sampah-sampah yang hanyut tak berdaya mengikuti arus. Sungguh pemandangan yang mengajarkan dua hal sekaligus: keteguhan bagi yang berjuang melawan arus, dan kelemahan bagi yang pasrah kepada arus dunia yang menenggelamkan.
Seorang santri menawariku kamar mandi mereka, namun aku menolak dengan lembut agar mereka tidak terlambat ke surau. Sepuluh menit berlalu, pintu kamar mandi terbuka. Fulan keluar dengan tubuh bersih dan segar, siap shalat berjemaah. Aku senang melihat kebiasaannya berbersih rapi setiap akan tiba waktu shalat. Karena itu, tak jarang aku mengajaknya makan siang atau menyuruhnya mencuci motor, lalu kuberikan sejumlah uang saku.
Aku masuk kamar mandi, meninggalkan sandal hitam itu di luar. Kayu arak kugunakan untuk bersiwak membersihkan gigi, sementara baju, peci, arloji, dan kunci pustaka kutaruh di kursi plastik. Usai berwudhuk, aku keluar, hanya mendapati sandal sebelah kanan saja. Aku terdiam sejenak, mengira anak-anak TK yang berdiri di depan lorong dapur barusan telah mengusilinya. Dalam hati bergumam: inikah perpisahan dengan sandal setia ini?
Sandal sederhana ini kubeli dari seorang anak Afrika di pinggir jalan Makkah pada malam 1 Syawal 1447 H, hanya sepuluh riyal. Hampir tak jadi kubeli karena penjual buru-buru menggulung dagangannya saat polisi razia. Dengan cepat aku menyerahkan uang itu, lalu menerima sandal buatan Turki ini yang kemudian menemaniku menapak di tanah haram. Aku memakainya pertama kali untuk shalat Subuh dan shalat Idul Fitri di Makkah, kala itu aku shalat di depan Masjid Bilal karena jalan menuju Masjid al-Haram telah diblokir petugas.
Sejak hari itu, sandal ini setia menemaniku pergi shalat ke masjid, mengajar di pesantren, dan melangkah di bawah hujan maupun panas terik matahari. Ia tak pernah protes, tak pernah menolak, meski seringkali basah kuyup atau mengering di bawah terik matahari.
Namun Rasulullāh shallallāhu 'alaihi wasallam memerintahkan agar tidak berjalan hanya dengan satu sandal. Maka aku memilih meninggalkannya di depan pintu, pasrah jika harus membeli sandal baru selepas shalat. Beberapa santri melihatku tanpa alas kaki dan berusaha mencari pasangannya. Salah seorang ustadz meminjamkan sandal jepitnya sementara.
Beberapa saat kemudian, seorang santri datang membawa sandal Turki itu lengkap sepasang dan meletakkannya di depan mushalla. Aku tersenyum melihatnya, seperti pada foto ini: sandal yang sempat hilang kini kembali, setia menunggu pemiliknya. Aku bergumam dalam hati, ternyata kita belum berpisah…
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«لاَ يَمْشِي أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، لِيُحْفِهِمَا جَمِيعًا، أَوْ لِيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا»
“Janganlah salah seorang dari kalian berjalan hanya dengan satu sandal. Hendaklah ia menjadikan kedua kakinya tanpa sandal (jika harus), atau mengenakan keduanya sekaligus.”
(HR. Al-Bukhārī, no. 5756)
Ibnu Hajar al-‘Asqalanī rahimahullah (wafat th. 852 H) menjelaskan:
“Ucapan beliau (al-Bukhari) dalam judul bab: “Bab larangan berjalan dengan satu sandal”. Di dalamnya beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah melalui riwayat al-A‘raj darinya.
Al-Khaththabi berkata: “Hikmah dari larangan ini adalah karena sandal itu disyariatkan untuk melindungi kaki dari apa yang ada di tanah, seperti duri dan semisalnya. Maka, jika hanya satu kaki yang memakai sandal, orang yang berjalan akan membutuhkan kehati-hatian yang lebih pada kaki yang tidak memakai sandal dibandingkan kaki yang memakai sandal. Hal itu menyebabkan dia keluar dari kebiasaan alami dalam berjalan dan tidak aman dari kemungkinan tersandung.”
Ada pula yang mengatakan: “Sebabnya adalah karena ia tidak bersikap adil terhadap anggota tubuhnya, dan mungkin orang yang melakukannya dianggap memiliki gangguan atau kelemahan akal.”
Ibnu al-‘Arabi berkata: “Dikatakan bahwa sebabnya adalah karena itu merupakan cara berjalan setan.” Ada pula yang mengatakan: “Karena hal itu keluar dari kebiasaan yang seimbang.”
Al-Baihaqi berkata: “Larangan ini karena hal itu dapat menjadi penyebab seseorang menjadi pusat perhatian, sehingga pandangan orang-orang tertuju kepadanya. Padahal telah datang larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari ketenaran dalam berpakaian. Maka, segala sesuatu yang menjadikan pemakainya terkenal (mencolok) hendaknya dihindari.”
Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim melalui jalur Abu Razin dari Abu Hurairah dengan lafadz: “Apabila tali sandal salah seorang di antara kalian putus, maka janganlah berjalan dengan satu sandal hingga ia memperbaikinya.”
Dan riwayat yang datang dari Jabir: “…hingga ia memperbaiki sandalnya.”
Dan riwayat yang ada pada Ahmad melalui jalur Hammam dari Abu Hurairah: “Apabila tali atau ikatan sandal salah seorang di antara kalian putus, maka janganlah berjalan dengan satu sandal sedangkan yang lainnya tidak bersandal. Hendaklah ia membuat keduanya sama-sama tanpa alas atau sama-sama memakai sandal.”
(Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhārī, Beirut, Dar al-Ma’rifah, th. 1379 H, 10/309-310)
Pelajaran hari ini sederhana namun penuh makna: ada kesetiaan bahkan pada benda kecil yang tak bersuara, ada adab yang Rasulullāh ajarkan hingga pada urusan sandal, dan ada hikmah tentang pasrah—bahwa sesuatu tak akan benar-benar pergi, kecuali dengan izin Allah. Bahkan sandal sederhana pun tahu jalan pulang jika Allah menghendakinya.
Pariaman, Rabu, 12 Shafar 1447 H / 6 Agustus 2025 M
Tulisan ini dapat diakses di http://mahadalmaarif.com