![]() |
لِحِفْظِ كَمَالِ صَلَاتِنَا
Sebuah Kisah yang Menyisakan Pelajaran
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Tadi malam, aku kembali diamanahkan mengisi pengajian antara shalat Magrib dan Isya di sebuah masjid di Kabupaten Padang Pariaman. Seperti biasanya, setiap Senin pertama di awal bulan, aku diberikan kesempatan menyampaikan ta’lim. Malam itu, suasana terasa hangat; jamaah memenuhi saf-saf depan, sebagian wajah sudah akrab, ada juga yang baru pertama kali kulihat. Lampu-lampu masjid menyinari dengan temaram, menambah ketenangan di antara bisik-bisik zikir setelah Magrib.
Menjelang akhir majelis, sekitar lima belas menit sebelum selesai, aku membuka sesi tanya-jawab. Seorang bapak mengangkat tangan dengan raut ingin tahu yang tulus dan bertanya, “Ustadz, bagaimana kalau imam dalam shalat berjamaah membaca ayat terlalu panjang hingga makmum merasa kakinya bergetar menahan berdiri? Dan bagaimana bila imam tiba-tiba menambah satu kali lagi sujud? Apakah makmum boleh mendehem atau ada cara lain untuk memberi isyarat?”
Pertanyaan itu mengalir sederhana, tapi seketika membangkitkan kenangan lama, sekitar dua puluh enam tahun silam. Saat itu, aku berkunjung ke rumah seorang sahabat, alumni LIPIA Jakarta, almarhum Ustadz M.Y., di kota Padang. Malam itu rumah kontrakannya sederhana, tapi penuh dengan aroma ilmu dan buku-buku berderet di rak kayu. Mataku tertuju pada sebuah buku kecil berbahasa Arab berjudul Ḥikāyāt ‘an al-Ikhwān, karya Abbas As-Sisi, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak di dalamnya kata-kata Arab berdialek khas Mesir.
Aku membuka halaman demi halaman dan menemukan kisah-kisah nyata yang dialami para aktivis Ikhwan, sebagian getir, sebagian menggelitik, tapi semuanya sarat dengan hikmah iman. Salah satu yang membekas hingga hari ini adalah pengalaman Abbas As-Sisi sendiri saat melaksanakan shalat Magrib di sebuah masjid di Mesir.
Imam shalat waktu itu seorang pemuda berjubah putih. Ia tampak khusyuk, menyisir giginya dengan siwak sebelum takbiratul ihram. Namun bacaan imam malam itu sangat panjang, sujudnya pun lama. Pada sujud terakhir sebelum tasyahud akhir, imam tak kunjung bangkit. Abbas As-Sisi, yang berada tepat di belakangnya, mulai merasa cemas. Ia menduga sesuatu telah menimpa sang imam. Tanpa menunggu lama, ia bertakbir, mengambil alih posisi imam dan menyelesaikan tasyahud serta salam.
Tiba-tiba, imam asli bangkit dari sujud untuk bertasyahud, sementara jamaah saling berpandangan heran. Abbas As-Sisi berdiri dan berkata dengan tenang namun jujur, “Jamaah sekalian, shalat kita sah. Aku kira tadi imam kita wafat.”
Kisah ini memang membuat tersenyum, namun menyimpan pelajaran berharga: Islam mengajarkan bagaimana jamaah memberi isyarat kepada imam ketika ada kesalahan atau keadaan darurat, agar shalat tetap sempurna dan tidak menimbulkan kebingungan.
Petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam dalam Mengingatkan Imam
Malam itu, aku menjawab pertanyaan jamaah, “Satu jawaban untuk dua masalah ini: makmum lelaki hendaknya mengucapkan tasbih, sedangkan makmum wanita menepuk tangan.”
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ، وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ»
“Ucapan tasbih untuk kaum lelaki, dan tepukan tangan untuk kaum wanita.”
(HR. Al-Bukhari, no. 1203)
Petunjuk ini menunjukkan bahwa jika imam melakukan kesalahan atau terjadi keadaan yang membutuhkan perhatian—misalnya lupa rakaat, menambah sujud, atau berdiri terlalu lama—makmum lelaki hendaknya mengucapkan “Subḥānallāh” dengan suara jelas. Suara mereka bukan aurat, dan ucapan ini memberi tanda agar imam segera memperbaiki kesalahan.
Adapun makmum wanita cukup menepukkan punggung tangan kanan ke telapak tangan kiri, bukan bertepuk seperti dalam hiburan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kekhusyukan shalat dan menghindari fitnah jika suara wanita terdengar keras.
Seandainya adab ini diamalkan, jamaah tidak akan bingung, tidak perlu mendehem, bahkan tidak akan terjadi kejadian seperti yang dialami Abbas As-Sisi. Shalat berjamaah akan tetap terjaga kesempurnaannya sesuai tuntunan Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam.
Hikmah dan Renungan
Dari kisah ini dan sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, kita bisa memetik beberapa hikmah:
1. Syariat Islam sempurna dan menyeluruh. Bahkan cara memberi isyarat kepada imam dalam keadaan darurat pun diatur jelas oleh Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam.
2. Shalat berjamaah adalah kebersamaan yang saling menjaga. Imam membimbing, makmum mengikuti, dan bila ada kesalahan, makmum menolong dengan cara yang syar’i.
3. Ilmu menjaga ibadah dari kekacauan. Banyak kekeliruan terjadi hanya karena tidak tahu tuntunan syariat. Menuntut ilmu adalah jalan menjaga kesempurnaan ibadah.
4. Adab dalam ibadah menjaga kekhusyukan. Tanpa adab, shalat bisa berubah menjadi kebingungan, bahkan perdebatan seusai salam.
Semoga kita termasuk hamba yang menjaga shalat, menegakkannya dengan benar, dan menolong sesama jamaah agar ibadah kepada Allah subḥānahu wata‘ālā selalu terpelihara dengan baik.
Doa Penutup
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَنَا خَالِصَةً لِوَجْهِكَ، وَتَقَبَّلْهَا مِنَّا قَبُولًا حَسَنًا.
“Ya Allah, jadikanlah shalat kami ikhlas karena-Mu, dan terimalah dengan penerimaan yang baik.”
Āmīn, wahai Rabb Pemilik shalat yang ditegakkan.
Pariaman, Selasa, 10 Shafar 1447 H / 5 Agustus 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di http://mahadalmaarif.com