![]() |
صَوْتُ الْقَبْقَابِ فِي مَمَرِّ الْحَيَاةِ
“Sederhana menjalani hidup, biar orang-orang di sana berlomba menuju kemewahan.”
—Kenangan seorang anak tentang pakaian keseharian ayahnya
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Kenangan Harian di Rumah Mak Tuo
Abakku—Sutan Zakaria—wafat pada tahun 2004 dalam usia 74 tahun. Hari-hari terakhirnya ia habiskan di rumah Mak Tuo (rumah nenek kami) di kota Pariaman. Seusai shalat Shubuh, aku biasa datang mengunjungi beliau. Air hangat untuk memandikannya sudah direbus amak di tungku kayu. Aku bersama amak memandikannya karena beliau tak mampu lagi sendiri akibat sakit lumpuh (stroke).
Setelah mandi dan sarapan, aku dudukkan beliau di kursi. Lalu aku pamit kembali ke pesantren untuk mengajar santri. Demikian rutinitas kami berulang hari demi hari.
Pada malam terakhir menjelang wafatnya, amak bermimpi: Abak membawa tas berisi pakaiannya dan berkata, “Kamu aku ceraikan,” lalu pergi begitu saja. Amak sempat berkata dalam mimpi ini, “Ditinggalkan aku dan anak-anak?” namun tak digubrisnya.
Paginya amak menceritakan mimpi itu padaku. Aku pun merasakan firasat ajalnya telah dekat. Saat itu kondisi tubuhnya semakin lemah dan komunikasi hampir tak terjadi. Maka aku bacakan Al-Qur'an di sisinya dan membacakan doa-doa. Di antaranya aku membacakan Surat Yāsīn secara utuh.
Akhirnya beliau berpulang menghadap Allah subhānahu wataʿālā, ketika pamit pulang ke rumah karena suatu keperluan. “Kring,” ponsel Nokiaku berdering ketika aku memegang kitab Tafsir Al-Qurthubi yang berisi pembahasan Surat Yasin. “Om, abak telah dulu,” seorang ponakanku yang lelaki memberitahu. Padahal aku bermaksud menambah pemahaman terhadap Surat Yasin yang barusan kubacakan ke telinga Abak dari penjelasan ulama terdahulu.
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.
Allāhumma ajurnī fī muṣībatī, wa akhlif lī khayran minhā.
"Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.
Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini, dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya."
Tangkelek, Setrika Kuningan dan Sabun Cap Tombak
Aku adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Aku tahu betul bagaimana hidup keseharian abak. Jika tidak keluar rumah untuk acara atau undangan, beliau hanya memakai tangkelek—sandal kayu bertali ban bekas.
Tèk! Tèk! suara tangkelek itu memantul di lorong rumah—bunyi sederhana yang menandai hadirnya lelaki bersahaja yang tak pernah hidup untuk kaya, hanya untuk bekerja. Di atas tangkelek itu, beliau memakai celana galembong (longgar dan cingkrang) dari kain kasar. Baju yang beliau kenakan sering kali hanya boksen (baju kaos tipis tanpa lengan) bermerek Swan Brand, kadang ditambah kemeja lengan pendek.
Tangan kanannya biasa menggenggam setrika kuningan—dipanaskan dengan bara tempurung. Dengan itu, ia menyetrika pakaian demi upah yang tidak seberapa, melengkapi usaha amak yang berjualan gorengan, lontong, dan kopi.
Seingatku kala itu, Abak tidak pernah memakai sisir atau minyak rambut, karena rambutnya selalu pendek. Bila mulai panjang, beliau akan pergi ke tukang pangkas.
Sampai hari ini, aku juga masih seperti itu. Sejak mencukur tahallul pertama di Makkah dua puluh satu tahun silam, aku tak pernah memakai minyak rambut dan sisir.
Pada hari-hari aku belum cakap mandi sendiri, aku biasanya dimandikan oleh amak atau abak tanpa sabun mandi beraroma wangi. Hanya sabun cuci pakaian Cap Tombak atau Cap Telepon yang berbau hambar, yang digunakan untuk mandi sekaligus mencuci baju.
Warisan tanpa Sertifikat, tapi Penuh Nilai
Ketika ajal menjemputnya, setahuku harta yang beliau miliki hanyalah: sebilah pisau belati, sebuah arloji tangan dan sebuah arloji rantai, satu peti kayu berisi perkakas tukang bangunan, satu peti brankas besi usang berisi surat-surat penting, setrika kuningan dan sebuah sepeda tua. Tak ada uang berbilang dan emas berbungkah.
Adapun rumah-rumah yang kami tempati di Padang dan Pariaman, dibangun dari rupiah demi rupiah yang dikumpulkan amak dari hasil jualan sala bulek dan usaha lainnya. Sementara abak menyumbangkan tenaga dan memimpin tukang-tukang yang diupah.
Meneladani Sunnah dan Nilai Islam
a. Bakti pada Orang Tua
{وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا (25)} [الإسراء: 23 - 25]
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada mereka perkataan “ah”, dan janganlah engkau membentak mereka, tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: “Wahai Rabb-ku, sayangilah mereka keduanya sebagaimana mereka telah menyayangiku ketika aku kecil.” Rabb kalian lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kalian. Jika kalian orang-orang yang saleh, maka sungguh Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Al-Isrā’: 23-25)
b. Sederhana Lebih Terjaga
Abu Hurayrah radhiyallāhu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian melihat orang yang dilebihkan atasnya dalam harta dan rupa (fisik), maka hendaklah ia melihat kepada orang yang berada di bawahnya, yang tidak mendapatkan kelebihan seperti itu.” (HR. Muslim, no. 2963)
Dan Sahl bin Sa’ad As-Sā’idi radhiyallāhu ‘anhu mengabarkan, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku mengerjakannya, Allah akan mencintaiku dan manusia pun akan mencintaiku?"
Maka Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
"Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia pun akan mencintaimu." (HR.Ibnu Majah, no. 4102)
c. Bekerja dengan Tangan Sendiri
‘Aisyah radhiyallāhu ‘anha mengabarkan:
" كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْصِفُ نَعْلَهُ، وَيَخِيطُ ثَوْبَهُ، وَيَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ "
“Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam biasa menjahit sandal beliau, menjahit pakaiannya, dan bekerja di rumah sebagaimana salah seorang dari kalian bekerja di rumahnya.” (HR. Aḥmad 6/167)
d. Warisan Doa Anak Shalih
Abu Hurayrah radhiyallāhu ‘anhu juga mengabarkan bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, no. 1631)
Maka selalu akan berusaha—insya Allāh—menjadikan diriku tetap di atas keshalehan dan ketaqwaan agar terasa kebaikanku bagi Abak dan Amak yang telah di dalam barzakh.
Abak dan Dunia yang Tak Butuh Pujian
Kesederhanaan tidak hina. Justru ia menjaga hati dari riya’ dan cinta dunia. Abak tak mewariskan harta bertumpuk, tapi mewariskan teladan hidup lurus: qana'ah, kerja halal, dan khidmat.
Tangkeleknya masih terngiang di telingaku. Suara tèk! tèk! itu bukan sekadar bunyi sandal, melainkan pelajaran keras hidup bersahaja yang tak menyerah kepada lelah.
Kami tak pernah dinasihati panjang lebar oleh Abak tentang hidup bersahaja dan apa adanya, tapi setiap bunyi tangkelek dan peluhnya di setrika kuningan itu telah lebih dahulu mendidik kami tentang harga diri dan kerja halal.
Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang pemimpin negara adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Maka setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhāri, no. 5200)
Sebuah Do’a Untuk Abak:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ، وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ،
وَجَازِهِ بِالْحَسَنَاتِ إِحْسَانًا، وَبِالسَّيِّئَاتِ عَفْوًا وَغُفْرَانًا،
وَاجْعَلْ صَوْتَ الْقَبْقَابِ ذٰلِكَ شَاهِدًا عَلَى صِدْقِهِ فِي مَمَرِّ الْحَيَاةِ،
وَاغْفِرْ لَهُ مَا قَدَّمَ وَمَا أَخَّرَ، وَمَا أَسَرَّ وَمَا أَعْلَنَ،
وَأَسْكِنْهُ الْفِرْدَوْسَ الْأَعْلَى مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ.
Allāhumma aghfir lahū warḥamhu, wa‘fu ‘anhu wa ‘āfih,
wa jāzihi bil-ḥasanāti iḥsānan, wa bis-sayyi’āti ‘afwan wa ghufrānan,
waj‘al shawta al-qabqābi dhālika shāhidan ‘alā shidqihi fī mamarril-ḥayāh,
wa aghfir lahū mā qaddama wa mā akhkhar, wa mā asarra wa mā a‘lan,
wa askinhū al-Firdaws al-A‘lā ma‘a an-nabiyyīna wa ash-shiddīqīna wa ash-shuhadā’i wa ash-shāliḥīn.
“Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkanlah dia, dan berilah keselamatan baginya.
Balaslah segala kebaikannya dengan sebaik-baik balasan, dan ampuni dosa-dosanya dengan pengampunan dan pemaafan dari-Mu.
Jadikanlah suara tangkeleknya itu sebagai saksi atas kejujurannya di lorong kehidupan.
Ampunilah segala dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi maupun yang tampak.
Dan tempatkanlah dia di Surga Firdaus yang paling tinggi, bersama para nabi, para shiddiq, para syuhada, dan orang-orang yang shaleh.”
Amīn, wahai Rabb Pemilik dunia dan akhirat.
Pariaman, Senin, 4 Muharram 1447 H / 30 Juni 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di http://mahadalmaarif.com