![]() |
الأَصَالَةُ الْمَزِيفَةُ وَالزَّيْفُ الأَصِيلُ
“Yang tampak emas, bisa jadi loyang. Yang disebut asli, bisa jadi tiruan.”
-Renungan seorang anak tentang arloji ayahnya.
Bismillāhirrahmānirrahīm
Kenangan Arloji Titus Abak
Salah satu ungkapan yang belakangan ramai di media sosial Indonesia adalah “Asli tapi palsu, palsu tapi asli.”
Ungkapan ini membuatku teringat pada kenangan masa kecilku.
Awal tahun 1980-an, abak—ayahku—membeli sebuah arloji merek Titus di Toko Metro kota Padang. Toko ini terletak dekat Kantor Balaikota Padang, tak sampai satu kilometer dari rumah kami. Di tempat yang sama pula beliau membeli jam dinding merek Seiko di awal 1970-an. Jam dinding itu masih hidup dan berdetak hingga hari ini, seakan menyimpan napas panjang dari masa lalu.
Kami adalah keluarga kelas bawah. Maka memiliki sebuah arloji Titus adalah kebanggaan sekaligus simbol kehati-hatian. Aku ingat, ketika salah seorang kakakku mengikuti acara perpisahan sekolahnya di SMA 1 Padang tahun 1982, ia meminjam arloji itu dari abak. Arloji itu menjadi bagian dari gaya, sekaligus simbol waktu yang berharga.
Tahun 1990-an akhir, abak mencoba memperbaiki jam itu di sebuah tempat servis jam di Pariaman. Tapi ketika beliau buka kembali casing jam itu di rumah, ia kecewa. Mesin jamnya bukan lagi mesin asli merek Titus. Kuat dugaan telah diganti oleh sang tukang.
Namun anehnya, jam itu tetap beliau pakai saat bepergian. Merek Titus masih tertera jelas pada piring jam, tapi jantungnya bukan lagi Titus. Tampak asli, tapi sebenarnya palsu.
Hakikat Keaslian: Antara Nama dan Hakikat
Aku merenung.
“Asli” dalam bahasa Arab berasal dari kata أصل (ashl), yang artinya dasar atau pokok. Maka ketika kita menyebut sesuatu "asli", seharusnya itu berarti bersandar pada dasarnya.
Sementara “palsu” dalam bahasa Arab dikenal dengan kata موضوع (maudhū‘), yakni sesuatu yang dibuat-buat lalu dinisbahkan kepada sesuatu yang suci, seperti hadits palsu yang dikatakan sebagai sabda Nabi padahal bukan. Ada pula kata مصنوع (mashnū‘), artinya dibuat-buatan. Seperti gigi palsu, atau apa saja yang tampak seperti aslinya, padahal buatan.
Inilah dunia: banyak yang kelihatan seperti emas, tapi di dalamnya loyang.
Di era kini, kita menyaksikan betapa keaslian bukan hanya persoalan barang, tapi juga menyentuh perkara identitas, integritas, bahkan kredibilitas pemimpin. Publik pernah dikejutkan oleh polemik besar tentang keaslian ijazah seorang tokoh penting negeri ini—bukan karena sekadar dokumen itu palsu atau tidak, tapi karena pertanyaan yang muncul menyangkut kejujuran, transparansi, dan kepercayaan publik. Terlepas dari posisi hukum atau politiknya, polemik itu mengajarkan satu pelajaran: bahwa sesuatu yang tampak resmi pun bisa diragukan ketika proses dan keterangannya tidak memuaskan akal sehat. Dan betapa mahalnya harga kepercayaan di tengah masyarakat yang mulai lelah dengan kepalsuan yang rapi dibungkus keaslian formal.
Dalil dan Renungan dari Al-Qur’an dan Hadits
Allah subḥānahu wata‘ālā mengingatkan kita tentang bahayanya menisbatkan sesuatu yang tidak benar kepada agama:
{ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (79)} [البقرة: 79]
”Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata, 'Ini dari Allah,' untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengannya. Maka celakalah mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka usahakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Dari Abu Hurayrah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
(HR. Muslim, dalam Shahīh Muslim no. 3)
Bahaya dari menyebarkan ajaran palsu, apalagi dengan menyandarkannya kepada Rasulullah, adalah sangat besar. Ini bukan hanya dosa lisan, tapi juga termasuk dosa menyesatkan umat dari jalan kebenaran.
Betapa banyak penceramah di mimbar-mimbar masjid atau penulis di media-media yang memasukkan riwayat-riwayat palsu dalam narasinya, ketika membicarakan ajaran Islam yang memang ada dalam agama Islam.
Misal ungkapan:
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَي النِّيْرَانِ
“Barangsiapa yang bersenang hati dengan sebab masuk bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan tubuhnya terhadap api Neraka.”
Tidak ditemukan dalam kitab hadits yang mu'tabar (dijadikan rujukan utama ulama). Di antaranya dikutip dalam Durrat an-Nāshihīn, namun kitab ini tidak disandarkan sebagai sumber hadits terpercaya.
Demikian juga kisah Tsa‘labah dan 'Alqamah bisa disebut sebagai riwayat yang tidak sahih atau bahkan fiktif, sering diulang dalam mimbar, tapi dikritik keras oleh ulama hadits seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Imam Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi, dan lainnya.
Aku Merenung: Keaslian Diri dalam Dunia yang Penuh Kepalsuan
Dalam dunia yang makin penuh kemasan dan citra, keaslian bukan lagi perkara wujud, tapi perkara nilai. Banyak yang tampak asli secara penampilan, tapi niat dan isinya penuh kepalsuan. Menyandang banyak gelar akademik, tapi ketika berbicara tentang ilmu yang dimaksud, penyampaiannya keliru atau tidak ilmiah. Ada juga yang terlihat palsu dari luar—karena tidak terkenal, tidak punya nama besar—tapi keikhlasannya asli dan murni. Ketika dia berbicara, orang mendapat mutiara ilmu dan kebenaran dari lisan serta sikapnya.
Aku belajar dari arloji Titus abak. Walau mesin palsu telah menggantikan yang asli, kenangan dan nilai jam itu tak pernah lenyap. Namun dalam urusan agama, hal itu tak bisa ditoleransi. Tak ada toleransi untuk kepalsuan yang dibungkus dengan kemasan agama. Karena yang palsu dalam iman, bisa membinasakan di akhirat.
Peringatan Bagi Penyebar Ajaran Palsu
Aku takut kalau ada di antara kita yang menulis status agama, ceramah, atau mengaku dapat ilham dari langit, padahal itu hanya karangan sendiri. Menjadi penyampai Islam tapi tak memeriksa keaslian sumbernya.
Bahkan sebagian menjadikan popularitas sebagai dasar kebenaran. Padahal kata Imam Malik rahimahullāh sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm rahimahullāh:
مَنْ أَحْدَثَ فِي هٰذِهِ الْأُمَّةِ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَلَفُهَا، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3)} [المائدة: 3]
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِينًا، لَا يَكُونُ الْيَوْمَ دِينًا.
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama umat ini pada hari ini yang tidak pernah ada pada generasi salafnya, maka ia telah menuduh bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Sebab Allah Ta‘ālā berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang mati tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas—kecuali yang sempat kamu sembelih—dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa terhadap agamamu, maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu, dan Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa dalam keadaan lapar, tanpa sengaja berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Surat al-Mā’idah: 3)
Maka apa yang pada waktu itu (zaman Nabi) bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun tidak bisa dianggap sebagai bagian dari agama.” (Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām karya Ibnu Ḥazm, Beirut, Dār al-Afāq al-Jadīdah, 6/58)
Kalimat ini merupakan salah satu pernyataan pokok dari manhaj salaf dalam menolak bid‘ah, dan merupakan prinsip penting dalam memahami batasan agama yang sudah disempurnakan oleh Allah. Jika ada ajaran atau amalan baru yang tidak dikenal di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, maka tidak boleh diklaim sebagai bagian dari syariat Islam.
Penutup: Kembalilah Kepada Keaslian
Aku ingin menjadi orang yang tidak sekadar tampak Islami, tapi benar-benar hidup dalam ajaran Islam yang asli—yang bersumber dari wahyu, dari al-Qur’an, dari hadits yang shahih. Bukan dari selera publik, algoritma medsos, atau omongan yang belum diperiksa.
Semoga Allah menjauhkan kita dari sikap “asli tapi palsu” dan memberkahi kita dengan ashl—nilai dasar yang benar, jujur, dan lurus.
Karena itu, marilah kita memohon kepada Allah dengan hati yang jujur dan takut akan kesalahan:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الصَّادِقِينَ فِي أَقْوَالِنَا وَأَعْمَالِنَا، وَارْزُقْنَا الْإِخْلَاصَ فِي دِينِنَا، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ رِيَاءِ الْمُنَافِقِينَ وَزَيْفِ الْمُدَّعِينَ، وَثَبِّتْنَا عَلَى السُّنَّةِ وَالْهُدَى، وَلَا تَجْعَلْنَا مِمَّنْ يُزَيِّفُ الْحَقَّ بِثَوْبِ الْبَاطِلِ.
Terjemahan:
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang jujur dalam ucapan dan perbuatan. Anugerahkanlah keikhlasan dalam agama kami. Kami berlindung kepada-Mu dari riya’ kaum munafik dan kepalsuan para pengaku dusta. Teguhkanlah kami di atas sunnah dan petunjuk. Janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang memalsukan kebenaran dengan selimut kebatilan."
Washallāhu ‘ala Nabiyinā Muhammad, walhamdu lillāhi Rabbil ‘ālamīn.
Pariaman, Ahad, 3 Muharram 1447 H / 29 Juni 2025 M
Tulisan ini bisa diakses di http://daralmaarif.com